Shalat ghaib bagi yang tidak dikenal akhir hayatnya
Oleh: Fikri Noor Al Mubarok
A. Keputusan Majlis Tarjih PP Muhammadiyah
Tanya: “Ada seorang wanita non-Muslim yang nikah dengan seorang Muslim
dan hidupnya dalam suasana Muslim, karena wanita itu melakukan shalat juga.
Setelah orang itu sakit dan meninggal dunia, ia dibawa keluarganya keluar
daerah dan diupacarai menurut agama keluarganya. Kami tidak tahu persis apakah
kala akhir hidupnya keluar dari Islam kemudian kembali menjadi non-Muslim atau
tetap menganut agama Islam. Bagaimana kedudukan orang tersebut, apakah orang
itu kita hukumi non-Muslim atau kita hukumi Muslim (Muslimah)? Dan apakah boleh
dishalatkan ghaib oleh masyarakat ditempat suaminya, dimana dulu ia telah masuk
Islam?”
Jawab: Kalau jelas wanita itu masuk Islam, apalagi selalu
mengerjakan shalat, jelas ia adalah seorang Muslimah. Kalau orang tua kemudian
berada diluar daerah, karena kita tidak tahu perubahan status agamanya, maka
dihukumi tetap Muslimah. Hal ini didasarkan pada hukum istishhab, yakni
penetapan berdasarkan pada hukum yang berdekatan dan yang menyakinkan. Pada
waktu pergi wanita itu dalam keadaan Muslimah dan tidak tahu perubahan status
agamanya, maka ditetapkan sebagai Muslimah. Dasar penetapan ini adalah Hadist
Nabi SAW yang berbunyi:
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
Hadist tersebut banyak yang meriwayatkan, seperti An-Nasa’i dari
Al-Hasan bin Ali dan Ath-Thabarany dari Wabishah bin Ma’bad dan Al-Khatib dari
Ibnu Umar dengan nilai shahih.
Kalau ketentuan hukumnya tetap Muslimah tentu masyarakat dimana
dahulunya tinggal, tidak ada halangan untuk melakukan shalat ghaib terhadap
wanita itu.
B. Pembahasan
Hadist tersebut, Syaikh Albani berkata dalam kitabnya Irwa’
Al-Ghalil fi Takhriij Ahadiisti Manaar As-Sabiil(2074): Hadist ini Shahih. Dan
hadist ini diriwayatkan oleh الطيالسى (1178) dengan sanad
حدثنا شعبة قال: أخبرنى بريد بن أبى مريم قال:
سمعت أبا الحوراء قال: قلت للحسن بن على ما تذكر من النبى صلى الله عليه وسلم ؟
قال: فذكره
Dan seperti ini pula yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i(2/334),
At-Tirmidzi(2/13,4/99), dan Ahmad(1/200). Imam Al-Hakim berkata: “Hadist ini
shahih sanadnya.” Dan pendapat ini sesuai dengan Adz-Dzahaby.
Dari hadist ini menujukkan perintah bahwa tinggalkanlah yang
meragukan menuju kepada yang tidak meragukan. Yaitu bahwa wanita tersebut
kembali kepada agama sebelumnya. Ini sesuai dengan kaidah ushul fiqih الاصل بقاء ما كان
على ما كان yang artinya
wanita tersebut tetaplah seorang Muslimah bukan non-Muslimah. Dan mengenai
shalat yang dilakukan dirumah suaminya, tidak ada ketentuan didalam
melaksanakan shalat ghaib harus dikhususkan pada satu tempat. Jadi shalat ghaib
dirumah sang suami boleh-boleh saja.
C. Kesimpulan
1. 1. Wanita tersebut tetap dianggap sebagai seorang Muslimah.
2. Shalat
ghaib yang dilakukan dirumah sang suami tidak dilarang.
0 comments
Post a Comment