TRADISI PEMBACAAN AL-QUR’AN DI
PEMAKAMAN
Studi Kasus Masyarakat Kp.
Kalahang Masjid Kab. Pandeglang BANTEN
Sejak
masa penurunannya hingga kini, al-Qur’an ternyata telah menjadi sebuah kitab
yang lebih dari sekedar himpunan pedoman dan ajaran agama. Al-qur’an dianggap
sebagai ‘benda hidup’ dengan segala keistimewaannya. Selain itu secara langsung
al-Qur’an juga memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu sentrifugal dan gerak
sentripetal. Sentrifugal berarti daya dorong al-Qur’an bagi umat Islam untuk
melakukan penafsiran dan pengembangan makna atas ayat-ayatnya. Sedangkan
sentripetal adalah doronganuntuk merujukkan problematika hidup yang dijumpai
umat Islam kepada al-Qur’an.
Kedua
gerak yang dalam praksisnya tidak mungkin diurai secara terpisah tersebut
menandakan adanya perbedaan atau pluralitas makna yang dikandung al-Qur’an
termasuk variabel cara memperlakukannya dalam kehidupan masyarakat.
Kehidupan
tidak akan pernah terlepas dengan adanya suatu komunitas. Sebab manusia,
makhluk berakal, tidak mungkin bisa hidup tanpa berhubungan dengan makhluk
sejenisnya (bermasyarakat) sebab ia berada di tengah-tengah masyarakat itu
sendiri. Ia adalah bagian dari masyarakat di mana ia hidup. Maka ketika ia
hidup dalam suatu komunitas, ia akan bergaul, bergumul, berselisih dan
sebagainya dengan manusia lainnya.
B.
Deskripsi
Kegiatan
Tidak
diketahui secara pasti tradisi membaca al-Qur’an pada makam baru ini dinamai
dengan apa. Hal ini peneliti temui dalam beberapa wawancara yang penulis
lakukan terhadap beberapa sumber. Namun demikian, tradisi ini dipraktekkan
secara massive dibeberapa daerah sehingga dapat dipastikan kegiatan ini
akan digelar setelah penguburan mayit di pemakaman.
1.
Asal-usul
Kegiatan
Seperti namanya yang tidak diketahui secara
pasti, asal-usul mengenai kemunculannya pun tidak diketahui secara pasti sejak
kapan tepatnya kegiatan ini diadakan. Namun dari hasil wawancara dengan K.H.
Muhammad, beliau menjelaskan bahwa tradisi ini memang sudah ada sejak dulu,
berawal dari tradisi Hindu yang lebih dahulu masuk dan dianut oleh penduduk
Nusantara. Kaitannya dengan tradisi Hindu tersebut, dikisahkan bahwa pada masa
tersebut sudah menjadi tradisi setelah mayit dimakamkan maka orang-orang
terdekat akan menggelar hal yang disukai mayit selama hidup. Jika si mayit
senang berbuat judi, maka pada malam itu juga rekan-rekan dan sanak keluarganya
akan mengadakan permainan judi di makam tersebut, apabila kegemaran si mayit
semasa hidup menegak minuman keras maka kegiatan yang akan diselenggarakan
adalah meminum minuman keras, begitu
juga dengan kegemaran-kegemaran lain yang sering dilakukan si mayit selama
hidupnya.
Ketika Islam mulai masuk ke Nusantara, tradisi
tersebut tidak berubah. Namun kemudian para da’i yang datang berusaha mengubah
hal tersebut, bukan dengan kekerasan tetapi dengan kelembutan dan penuh
penghormatan terhadap tradisi yang sudah lebih dulu berkembang. Dan jalan yang
ditempuh pada waktu itu, adalah dengan mempertahankan tradisi yang ada, akan
tetapi dengan menyisipkan muatan-muatan Islami sehingga para pelaku dan
penganut sebelumnya tidak terlalu kaget dengan perubahan yang sedang diupayakan
berlangsung terus, dan ibadah yang tepat dimasukkan dalam tradisi tersebut
adalah al-Qur’an sehingga kegiatan-kegiatan yang tadinya diisi dengan
kegiatan-kegiatan tersebut sedikit demi sedikit dirubah dengan tanpa
menghilangkan bentuk asalnya agar masyarakat tidak kaget dengan perubahan yang
terlalu drastis.[1]
Stategi dakwah kultural ini ternyata dapat
diterima masyarakat karena perubahan yang dilakukan secara halus ini ternyata
justru mampu menarik simpati masyarakat sehingga mempermudah proses penyebaran
Islam.
2.
Pelaksanaan
Kegiatan
Tradisi pembacaan al-Qur’an ini biasa dimulai
pada malam setelah pemakaman mayit selesai dilaksanakan. Umumnya keluarga yang
ditinggalkan langsung mendirikan tenda yang nantinya akan digunakan oleh orang
yang akan menbacakan al-Qur’an, kemudian acara pembacaan diselenggarakan selama
empat puluh hari kedepan secara berturut-turut. Pembaca yang ditunjuk pun pada
dasarnya tidak ditentukan harus berasal dari golongan tertentu akan tetapi
dapat dipastikan memiliki kemampuan cukup baik dalam membaca al-Qur’an, dan
biasanya yang ditunjuk adalah para santri.
Prosesi pembacaan pun tidak diorientasikan
untuk memperoleh capaian jumlah tertentu dalam mengkhatamkan al-Qur’an
sehingga pelaksanaan dapat dilakukan tanpa tekanan. Pembaca yang ditunjuk pun
biasanya berjumlah lebih dari enam sehingga pembacaan al-Qur’an dapat dilakukan
secara bergantian. Adapun pihak keluarga yang menyelenggarakan hanya memberikan
makanan dan minuman sekedarnya selama prosesi pembacaan berlangsung, dan terkait
masalah etika, para pembaca tidak diperkenankan meminta imbalan.[2]
3.
Dasar
Pelaksanaan
Mengenai hal ini, memang tidak ada perintah
khusus yang berbicara mengenai hal pembacaan al-Qur’an pada makam. Akan tetapi
sebenarnya permasalahan pokok yang seringkali menjadi perdebatan dalam hal ini
adalah sampai-tidaknya pahala yang dihadiahkan kepada mayit. Dan jika dicermati
sebenarnya ada beberapa amal yang dinilai mamiliki manfaat terhadap mayit,
seperti; do’a dan istigfa>r untuk
mayit, sedekah, puasa, haji, shalat, dan membaca al-Qur’an. Lima hal pertama
memang disepakati oleh mayoritas ulama kaerna memang ada nas}s} yang
berbicara mengenai hal tersebut, dan untuk amal ke enam di sini mulai terjadi
perbedaan pendapat namun mayoriatas tetap menganggapnya sampai kepada mayit
dengan catatan setelah membaca kemudian menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an
tersebut kepada mayit (misalnya dengan membaca Alla>humma
aus}il s\awa>ba ma>
qara’tuhu ila> fula>n).
Sehingga diharapkan dengan pembacaan tersebut, derita yang ditanggung mayit
akan berkurang.
قراءة
القرآن عند القبر :
اختلف الفقهاء في حكم
قراءة القرآن عند القبر، فذهب إلى استحبابها الشافعي ومحمد بن الحسن لتحصيل للميت
بركة المجاورة، ووافقهما القاضي عياض والقرافي من المالكية، ويرى أحمد: أنه لا بأس
بها. وكرهها مالك وأبو حنيفة لانها لم ترد بها السنة.[3]
قراءة القرآن: وهذا
رأي الجمهور من أهل السنة. قال النووي: المشهور من مذهب الشافعي: أنه
لا يصل. وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من أصحاب الشافعي
إلى أنه يصل. فالاختيار أن يقول القارئ بعد فراغه: اللهم
أوصل مثل ثواب ما قرأته إلى فلان. وفي المغني لابن قدامة: قال أحمد بن حنبل،
الميت يصل إليه كل شئ من الخير، للنصوص الواردة فيه، ولان المسلمين يجتمعون في كل
مصر ويقرءون ويهدون لموتاهم من غير نكير، فكان إجماعا.
والقائلون بوصول ثواب
القراءة إلى الميت، يشترطون أن لا يأخذ القارئ على قراءته أجرا. فإن أخذ القارئ أجرا على قراءته حرم على المعطي والاخذ ولا ثواب له على
قراءته، لما رواه أحمد والطبراني والبيهقي عن عبد الرحمن[4]
C.
Analisis
Dari
deskripsi singkat di atas, pada dasarnya apa yang dilakukan oleh masyarakat
dibangun atas kesadaran untuk memberikan bantuan kepada mayit dan keluarga yang
ditinggalkan. Atas kesadaran tersebut, keluarga yang ditinggalkan justru akan
merasa sedih jika sampai tidak ada yang membantu mereka. Namun dalam
perjalanannya, tradisi ini sedikit demi mulai mengalami perubahan seiring
dengan berjalannya waktu.
Dalam
pelaksanaannya harus diakui, masyarakat nampaknya tidak menyadari betul
dasar-dasar yang digunakan dalam pelaksanaan tradisi ini. Masyarakat hanya
memiliki keyakinan bahwa segala hal yang baik jika diperuntukkan kepada orang
yang sudah meninggal maka hal tersebut akan membantu meringankan siksa yang
ditanggung mayit dalam kubur. Adapun seputar pelaksanaan tradisi membaca
al-Qur’an di pemakaman masyarakat hanya termotifasi dengan anggapan bahwa hal
tersebut lebih mantap, marem.
Pandangan
tersebut dalam kenyataannya masih dipegang oleh sebagian masyarakat, namun
sebagian lain tampaknya mulai meninggalkan tradisi tersebut dengan cukup
menggelar acara tahlil pada malam hari, beberapa di antaranya tetap menggelar
acara pembacaan al-Qur’an tetapi tidak dilaksanakan di pemakaman melainkan di
rumah saja dengan tata cara yang sama.
Pada
gilirannya, penyelenggaraan tradisi membaca al-Qur’an di pemakaman ini ternyata
turut berpengaruh terhadap status sosial keluarga mayit. Mereka yang
melaksanakan seringkali dianggap sebagai orang yang memiliki status sosial
lebih dan tentunya dan yang lebih pula. Akan tetapi pandangan semacam ini
ternyata menjadi boomerang karena dengan munculnya stigma semacam ini
orang-orang kemudian menjadi sungkan untuk menggelar tradisi ini, ada
kekhawatiran pelaksanaan tradisi tersebut malah tersusupi dengan sikap riya>’
sehingga hal tersebut malah tidak berfaidah apa-apa bagi mayit sehingga dari
hal ini mulai terjadi peralihan tata cara pelaksanaan dari tradisi yang semula
dilaksanakan di makam menjadi di rumah namun tetap dengan kegiatan yang sama.
Selain itu ada faktor lain yang muncul adalah adanya “mad}ara>t” yang
dikhawatirkan terjadi jika pelaksanaan dilakukan di pemakaman.
Adapun
konflik antar masyarakat seputar tradisi ini dapat dikatakan tidak ada.
Masyarakat lebih cenderung bersikap netral, sehingga jika memang mereka merasa
perlu untuk melaksanakan maka mereka akan melaksanakan, akan tetapi jika tidak
maka mereka akan mencukupkan dengan tradisi tahlil yang dilaksanakan setiap
malam selama empat puluh hari. Konflik justru terjadi di kalangan ulama yang
memang tahu perbedaan pendapat seputar penbacaan al-Qur’an yang dihadiahkan
kepada mayit.
D.
Kesimpulan
dan Penutup
Tradisi pembacaan
al-Qur’an pada masyarakat Kp. Kalahang di Kab. Pandeglang sebenarnya sudah
berlangsung lama. Meski tidak diketahui secara pasti mengenai asal-usulnya
namun tradisi ini dianggap sebagai hasil peranakan antara tradisi hindu dengan
tradisi Islam yang datang kemudian.
Dalam pelaksanaannya,
terdapat beberapa motif yang mendorong masyarakat untuk melakukan hal tersebut
di antaranya adalah perasaan puas dan tentunya untuk meringankan siksa mayit
dalam kubur. Tata cara pelaksanaan yang seyogyanya dilangsungkan di pemakaman
pun mulai berubah meski secara substansi sama saja, mereka cenderung
melaksanakannya di rumah atau cukup dengan acara tahlilan yang biasanya dilakukan
selama empat puluh hari.
Kiranya demikian
laporan yang dapat disampaikan, tentu tak lepas dari kerbagai kekurangan dan
kealpaan, karenanya kritik dan saran konstruktif pembaca sangat diharapkan
untuk perbaikan ke depan. Terima kasih.
0 comments
Post a Comment