Pemikiran Amina Wadud Muhsin dan Fatima Mernissi tentang al-Quran, Tafsir, dan Takwil
Oleh: Fikri Noor Al Mubarok
Pemikiran
Amina Wadun Muhsin dan Fetima Mernissi memiliki beberapa persamaan.
Pertama, keduanya sama-sama menafsirkan dan menakwilkan al-Quran dengan
sudut pandang gender. Keduanya menafsirkan dan menakwilkan al-Quran untuk
memperjuangkan hak-hak perempuan yang menurut mereka selama ini tertindas. Kedua,
mereka sama-sama hanya menafsirkan dan menakwilkan ayat-ayat al-Quran yang
berhubungan dengan gender saja. Mereka tidak membahas secara keseluruhan
ayat-ayat yang terdapat dalam al-Quran. Ketiga, mereka sama-sama menyatakan
bahwa al-Quran harus terus-menerus di tafsir ulang untuk memelihara reelvansi kandungan al-Quran
dengan kehidupan manusia. Menurut mereka tafsir yang ada selama ini adalah
tafsir yang patriarki sehingga mereka tidak menggunakan tafsir-tafsir yang telah
ada sebelumnya. Keempat, mereka sama-sama menggunakan metode tafsir
hermeneutik dalam menafsirkan al-Quran.
Pemikiran Amina Wadun Muhsin dan Fetima Mernissi juga
memiliki beberapa perbedaan. Pertama, Fatima Mernissi
cenderung lebih mendalami hadis-hadis mesogenis daripada ayat-ayat
misogenis, sedangkan Amina Wadud Muhsin cenderung mendalami ayat-ayat
misogenis daripada hadis-hadis misogenis. Kedua, Amina Wadud menafsirkan
al-Quran tanpa merujuk pada kitab-kitab tafsir yang ada sebelumnya sedangkan Fatima
mernissi cenderung masih mengutip beberapa pendapat ulama.
Komentar:
Kedua tokoh diatas sebenarnya memilki tujuan baik dan mulia yaitu
untuk meningkatkan derajat perempuan yang selama ini-menurut pengalaman hidup
mereka-tertindas. Kedua tokoh diatas memiliki background hidup yang
lingkungannya membatasi perempuan secara berlebihan. Seperti Fatima Mernissi
yang menentang adanya hijab bagi perempuan dimana perempuan harus
ditempatkan di sebuah penjara yang bernama harem dan Amina wadud yang
sering mendapatkan keluhan perihal gender di organisasi yang ikuti di Amerika
dimana perempuan disana kurang mendapatkan perlakuan yang adil bahkan cenderung
dilecehkan. Namun, tujuan yang baik dan mulia tersebut menjadi tidak baik atau
buruk dan bahkan cenderung sesat karena metodologi yang mereka pakai membuat
buah pemikiran mereka terlalu berlebihan dalam meningkatkaan derajat perempuan.
seperti Amina wadud yang membuahkan hasil pemikiran dengan menyatakan
bahwa Imam itu bisa dari pihak laki-laki dan perempuan dan makmum laki-laki dan
perempuan bisa berjajar dalam satu shaf dan saling bercampur,tidak harus
laki-laki di shaf depan dan perempuan di shaf belakang. Hasil pemikiran yang
seperti ini sangatlah bertentangan dengan islam dan cenderung sesat. Mungkin
kita bisa mengambil sebuah pelajaran berharga dari kedua tokoh diatas bahwa
ternyata tujuan yang baik dan mulia akan menjadi bomerang ketika tujuan
tersebut dilakukan dengan cara yang salah.
Yogyakarta, 7 januari 2013
(Bagi para pengunjung yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai rujukan silakan sertakan nama penulis pada tulisan anda).
0 comments
Post a Comment