Menyemir Rambut
Oleh: Fikri Noor Al Mubarok
A.
Keputusan Majlis Tarjih PP Muhammadiyah
Rasulullah SAW bersabda:
إن اليهود و النصارى لا يصبغون
فخالفوهم
Berdasarkan hadist ini, ulama’ yang berpendapat bahwa menyemir
rambut adalah sunnah atau mustahab. Mereka juga mengatakan bahwa
menyemir rambut itu juga mempunyai dua maksud atau manfaat, yaitu: pertama
untuk membersihkan dan memperindah rambut itu sendiri, dan yang kedua
untuk merealisasikan adanya perbedaan lahiriyah atau ciri khas yang membedakan
antara jamaah muslim dengan yang lainnya. Pendapat ulama’ ini secara jelas
merupakan hasil pemahaman terhadap hadist diatas yang secara tersurat
mengatakan bahwa orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir rambutnya,
sedangkan orang-orang Islam menurut arti lahiriyah dari hadist itu haruslah
berbeda dengan mereka, artinya dianjurkan untuk menyemir rambut. Dari hadist
itu pula mereka memahami bahwa orang-orang Yahudi dan Nashrani menyemir
rambutnya sedang orang Islam hendaknya mempunyai identitas sendiri. Islam
menghendaki adanya identitas ummat Islam yang berbeda dengan identitas ummat
lainnya yang tampak dalam kepribadiannya yang lahiriyah sebagai akibat dari
adanya perbedaan ajaran islam dengan ajaran lainnya.
Rasulullah SAW sangat memperhatikan identitas lahiriyah bagi umat
islam agar nampak berbeda dengan ummat yang lain, dan diharapkan dengan
memperhatikan identitas lahiriyah mereka dapat mempertahankan identitas
bathiniyahnya sehingga akidah mereka tidak terpengaruh. Demikian pula akhlaq
dan adat istiadat mereka; persamaan dalam hal-hal yang bersifat bathiniyah.
Dari segi lain, ialah bahwa persamaan lahiriyah akan membawa pada
pendekatan dan kecenderungan serta menimbulkan rasa kasih sayang. Dan kalau
orang yang sebangsa bertemu di negeri asing akan lebih erat dan akrab
hubungannya meskipun sewaktu mereka dinegerinya sendiri tidak demikian.
Pendekatan inipun akan terjadi pula antara dua orang kalau terjadi persamaan,
meskipun hanya pada tutup kepala, pakaian atau sepotong rambut, dengan demikian
orang-orang timur yang masih mempertahankan pakaian kebangsaannya akan mudah
diketahui dan dikenal bila mereka itu berada di negeri yang berbeda pakaiannya
dengan mereka.
Dari itulah maka Rasulullah SAW- semasa beliau hidup selalu
melakukan pembinaan ummat dan pembinaan adat istiadat yang dapat diterima dan
diakui- telah memerintahkan kepada para sahabatnya supaya ada perbedaan antara
mereka dan ummat-ummatnya yang lain dalam masalah-masalah lahiriyah untuk
menjaga kepribadian yang banyak sangkut-pautnya dengan hukum, seperti
memelihara jenggot, menggunting kumis, dan lain-lain tindakan yang semuanya itu
disebabkan perintah Rasulullah SAW yang berbunyi "khalifuuhum"
seperti dalam hadist diatas.
Perbedaan identitas lahiriyah tersebut sudah tentu bukan hanya
sekadar berbeda tetapi juga harus mempunyai motif dan tujuan untuk memurnikan
pengamalan ajaran islam dari nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran islam.
Kalau hadist tersebut diatas dihubungkan dengan hadist Nabi SAW
yang berbunyi:
من تشبه بقوم فهو منه
Maka akan nampaklah bahwa Nabi SAW melarang umat islam bertingkah
laku atau menyerupai mereka. Yang dimaksud dengan menyerupai mereka disini
adalah menyerupai perilaku dan penampilan mereka yang berkaitan dengan atau
yang dapat mempengaruhi sendi-sendi agama. Apabila umat islam melakukan hal-hal
serupa dengan yang merekan lakukan mengenai hal-hal yang bukan masalah agama,
misalnya adat istiadat, kesenian, kebudayaan, maka islam tidak melarang
sepanjang hal itu tidak mengganggu atau tidak menghilangkan nilai-nilai ajaran
islam.
Ulama yang berpendapat bahwa menyemir rambut itu adalah sunnat,
berbeda pendapat dengan hukum menyemir rambut dengan warna hitam. Ada yang
membolehkan warna hitam, ada yang menganggap makruh disemir dengan warna hitam,
bahkan adapula yang mengharamkan warna hitam untuk dipakai menyemir rambut, dengan
alasan ayahanda Abu Bakar bernama Abu Quhafah yang rambut kepala dan jenggotnya
sudah sangat putih warnanya, lalu Nabi SAW memerintahkan
غيروهما وجنبوه السواد
Namun kebanyakan fuqaha' membolehkan penyemiran rambut dengan waran
hitam. Mereka memahami perintah hadist itu sebagai perintah khusus bagi Abu
Quhafah yang karena sangat tuanya dan karena rambutnya sudah sangat putih.
Demikian pendapat sebagian ulama mengenai hukum menyemir rambut.
Disamping itu ada juga yang mengatakan bahwa menyemir rambut, memelihara
jenggot , mencukur kumis sebagaimana dinyatakan didalam hadist-hadist Nabi SAW
bukanlah merupakan kewajiban tetapi hanya merupakan kebolehan saja. Hal ini
dapat dilihat dengan adanya illat agar tidak sama dengan orang Yahudi dan
Nashrani. Dengan demikan menyemir rambut itu bukanlah ketentuan hukum yang
harus dilakukan, akan tetapi hanya merupakan adat atau tradisi untuk membedakan
antara jamaah umat islam dengan ummat yang lain.
Seperti tersebut didalam hadist diatas, nabi saw menegaskan bahwa
ummat islam hendaknya berbeda dengan ummat Yahudi dan Nashrani. Dalam hadist
ini dicontohkan bahwa ummat Yahudi dan Nashrani tidak menyemir rambutnya, dan
hendaknya ummat islam berbeda dengan mereka. Ungkapan "hendaknya berbeda
dengan mereka" tidak secara otomatis ummat islam harus menyemir rambutnya,
tetapi yang dimaksud adalah berbeda dengan mereka secara lahiriyah untuk
menunjukkan adanya perbedaan yang sifatnya bathiniyah. Islam mengharuskan dan
tidak pula melarang orang islam menyemir rambutnya. Demikian pula islam tidak
menentukan atau menyarankan warna seminya. Islam memberi kebebasan kepada ummat
islam mengenai masalah ini, terserah kepada masing-masing sesuai dengan usia,
motifnya, dan situasi kondisi yang dihadapi masing-masing.
Menurut Mahmud syaiful, perintah-perintah Nabi mengenai hal-hal
seperti memelihara jenggot dan menyemir rambut jika sudah beruban, tidak tentu
merupakan perintah wajib atau sunnah. Tetapi ada pula yang sekedar menunjukkan
kepada ummat, suatu tradisi yang dipandang baik atau lebih baik diikuti oleh
ummat islam untuk memperlihatkan penampilan yang simpatik, tampan, dan
berwibawa.
Perlu ditegaskan disini bahwa menyemir rambut atau memperindah
lahiriyah jasmaniyah janganlah menimbulkan dampak negative atau dimaksudkan
untuk menyombongkan diri atau dengan niat mengelabuhi dan lain sebagainya yang
dilarang oleh ajaran islam. Tindakan memperindah atau memperbagus unsur
lahiriyah jasmaniyah dengan cara yang tidak dibenarkan oleh agama atau dengan
maksud untuk menyombongkan diri, yang demikian
itu sudah tentu tidak diperbolehkan.
B.
Pembahasan
Setidaknya ada 3 hadist yang serupa menyangkut masalah ini yaitu:
1.
" غيروا الشيب و لا تشبهوا باليهود و
النصارى "
Syaikh Albani mengomentari hadist ini dalam kitabnya As-Silsilah
As-Shahihah (2/512): Hadist ini telah diriwayatkan oleh Imam
Ahmad (2/261,499) dan Ibnu Sa’ad(1/439) dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah
dari Abu Hurairah. Dan hadist ini diriwayatkan secara marfu’, dengan
derajat sanad yang hasan.
Ada juga hadist sama, tapi dengan tanpa lafal An-Nashara. Dan
hadist ini telah di takhrij oleh At-Tirmidzi(1/325) dengan derajat hasan
shohih. Begitu pula An-Nasa’i(2/278), Ahmad(1/165), Ibnu ‘Asaakir(11/68/2)
meriwayatkan dengan tanpa lafal An-Nashara, dengan sanad sebagai berikut
حدثنا
محمد بن كناسة الأسدي أخبرنا هشام بن
عروة عن عثمان بن عروة عن أبيه عن الزبير
Sanad rijal
hadist pada hadist ini semuanya adalah tsiqat kecuali Ibnu Kunayah dia
berderajat shuduq. Tapi ‘Isa bin Yunus berbeda dalam penyebutan
sanadnya,
عن هشام بن عروة
عن أبيه عن ابن عمر
Lalu ‘Isa
mengatakan bahwa ini adalah marfu’. Dan sanad ini telah ditakhrij oleh
An-Nasa’i. lalu mengatakan bahwa keduanya Ghoiru Mahfudhoh.
2.
" كان يأمر بتغيير الشيب مخالفة للأعاجم "
Syaikh Albani mengomentari hadist ini dalam kitabnya As-Silsilah
As-Shahihah(5/150): Hadist ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan
‘Abdul Ghani Al-Muqaddasy dengan sanad
عن
الأحوص بن حكيم عن أبيه عن عبد الله
بن غابر عن عتبة بن عبد رفع
Tapi sanad pada
hadist ini dho’if (lemah). Karena
Al-Ahwash adalah orang yang lemah hafalannya. Dan ayahnya (Hakim bin ‘Umair
adalah berderajat shuduq. Tapi hadist ini mendapat penguat dari hadist Abu
Hurairah secara marfu’ yang ditakhrij oleh Ibnu ‘Asaakir (1/353/2)
dengan sanad
عن بشر بن عمارة
عن الأحوص بن حكيم عن راشد بن سعد و
أبي عون عن أبي هريرة
hadist ini juga
dho’if (lemah). Karena porosnya adalah Al-Ahwash yang berderajat lemah
hafalannya. Begitu pula Basyar bin ‘Amarah yang juga lemah. Bahkan Imam
Ad-Daruqutny mengatakan bahwa hadist ini adalah matruk.
3.
" إن اليهود و النصارى لا يصبغون ،
فخالفوهم "
Hadist ini
diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad(9/191) dengan sanad
عن ابن جريج عن
عثمان بن أبي سليمان عن نافع بن جبير
بن مطعم
Hadist ini menunjukkan disyariatkannya mewarnai. Dan adapun yang
dimaksud mewarnai disini adalah mewarnai uban jenggot dan rambut. Hal ini tentu
tidak bertentangan dengan larangan menghilangkan uban. Karena mewarnai itu
tidak menghilangkan. Kemudian didalam mewarnai ini yang diperbolahkan adalah
yang berwarna selain hitam. Karena terdapat hadist yang telah di takhrij oleh
Muslim dari hadistnya Jabir
أنه صلى الله عليه و سلم قال غيروه وجنبوه السواد
dan Dawud yang telah di
shahihkan oleh Ibnu Hibban dari Ibnu Abbas (marfu’)
يكون قوم في آخر الزمان يخضبون كحواصل الحمام لا يجدون ريح الجنة
Dan adapun isnad pada hadist itu adalah kuat. Walaupun
diperselisihkan kemarfu’an dan kemauqufannya. Dan setelah ditarjih ternyata
hadist ini memiliki hukum marfu’. Oleh karena itu, Imam An-Nawawi berikhtiyar bahwa mewarnai dengan
warna hitam merupakan perbuatan makruh yang mendekati haram. Dan menurut Imam
Al-Hulaimi bahwa kemakruhan ini hanya dikhususkan untuk laki-laki saja bukan
untuk perempuan.sehingga boleh bagi perempuan untuk mewarani rambutnya untuk
suaminya.
Dan dari hadist ini menunjukkan bahwa illat disyariatkannya
mewarnai adalah supaya berbeda dengan orang Yahudi dan Nashrani. Karena sungguh
Rasulullah SAW sangat keras didalam menyelisihi para Ahli Kitab dan beliau
sendiri memerintahkannya.
Imam Ibnu Al-Jauzi mengatakan: "Sekelompok dari golongan
sahabat dan tabiin ada yang mewarnai rambut dan jenggotnya." Imam Ahmad
bin Hambal berkata: "Sungguh aku pernah melihat seorang laki-laki dengan
jenggot yang diwarnai." Imam An-Nawawi berpendapat bahwa dianjurkan bagi
laki-laki dan wanita untuk mewarnai ubannya, baik itu dengan waran kuning
ataupun merah. Karena diharamkan mewarnai dengan warna hitam. Kemudian Imam
An-Nawawi mengatakan: "Didalam mewarnai ini terdapat dua faedah, pertama
menata dan merapikan rambut dan yang kedua adalah menyelisihi terhadap para
Ahli Kitab.
Imam Ibnu Hajar didalam kitab Fathul Bari nya
mengatakan bahwa sebagian diantara Ulama’ Salaf ada yang merukhshohkan mewarani
dengan warna hitam. Diantaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqqhas, ‘Uqbah bin ‘Amir,
Hasan, Husain, dan Jarir. Dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Abi
‘Ashim, dengan yang lemah.
C.
Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan diatas jelaslah bahwa boleh menyemir
rambut, bahkan cenderung dianjurkan. Dan mengenai warna apa, kami hanya
membatasinya dengan waran selain warna hitam. Dan didalam melakukan ini
terdapat dua manfaat, yaitu: pertama untuk membersihkan dan
memperindah rambut itu sendiri, dan yang kedua untuk
merealisasikan adanya perbedaan lahiriyah atau ciri khas yang membedakan antara
jamaah muslim dengan yang lainnya.
0 comments
Post a Comment