Tinjauan Umum Madzahibut Tafsir
oleh: Fikri Noor Al Mubarok
A.
Pendahuluan
Sulit dipungkiri bahwa siapapun yang ingin berbicara tentang Islam,
ia harus memahami al-Quran. Kajian terhadap al-Quran dari berbagai segi,
terutama segi penafsirannya selalu menunjukkan perkembangan yang cukup
signifikan. Munculnya berbagai penafsiran dan karya-karya tafsir yang sarat
dengan ragam metode dan pendekatan, merupakan bukti bahwa upaya menafsirkan al-Quran
memang tidak pernah berhenti.
Secara teologis normatif, al-Quran itu kebenarannya adalah mutlak,
sebab ia berasal dari dzat yang mutlak. Namun demikian, setelah yang mutlak itu
masuk dalam pemikiran manusia, ia menjadi relatif kebenarannya. Sebab tidak
mungkin yang relatif itu-yaitu pemikiran manusia- akan mampu menangkap seratus
persen dari yang mutlak tersebut. Oleh karena itu, meskipun teks al-Quran itu
telah dibakukan dan dibukukan secara tunggal namun pada kenyataannya hasil dari
pemahaman dan penafsirannya terhadap teks itu akan mengalami keberagaman bahkan
ada yang sampai kontrofersi dengan yang lainnya.[1]
Pada setiap kurun waktu, selalu muncul suatu karya tafsir al-Quran.
Bahkan pada masa-masa kemunduran umat Islam secara politis,[2] karya-karya di dalam bidang ini dapat selalu ditemukan. Karya
monumental at-Thabari Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Quran, sebagai karya
tafsir paling tua[3] yang dapat diwarisi khasanah ilmu tafsir al-Quran, ditulis pada
akhir abad ke-3 H,[4] sedang karya kontrofersial az-Zamakhsary al-Kasysyaf, lahir
pada abad ke-5 H.[5] Pada abad ke-14 H lahir pula sebuah karya besar yang dirilis oelh Muhammad
Rasyid Ridla al-Manar, yang merupakan kumpulan pikiran-pikiran gurunya Muhammad
Abduh dalam bidang tafsir al-Quran.[6]
Jika dicermati, karya-karya penafsiran al-Quran dari satu generasi
dengan generasi yang lain memiliki corak dan karakteristik yang berbeda-beda.
Sehingga memunculkan aliran-aliran (madzahib)[7] tertentu dalam menafsirkan al-Quran. Hal ini dilatarbelakangi oleh
banyak faktor. Antara lain adalah perbedaan situasi sosio-historis dan
sosio-politik. Dan ini merupakan suatu keniscayaan sejarah, sebab umat Islam pada
umumnya ingin senantiasa menjadikan al-Quran sebagai pedoman dalam menjalankan
kehidupan dan mengembangkan peradaban. Akibatnya dalam setiap generasi memiliki
madzhab-madzhab tafsir tersendiri.
Oleh sebab itu, penulis akan mencoba untuk memaparkan tentang aliran-aliran
tafsir (madzahibut tafsir) yang ada selama ini. Tulisan berikut
ini tidak akan membahas secara panjang lebar dan spesifik tentang kajian ilmu
ini. Tulisan ini hanya bersifat umum dan hanya sebagai pengantar dalam
madzhab-madzhab tafsir yang berkembang selama ini.
B.
Tinjauan Umum tentang Madzahibut Tafsir
Secara etimologis, istilah madzahibut tafsir merupakan
susunan idhafah yang terdiri dari dua kata; madzahib dan at-tafsir.
Kata madzahib merupakan bentuk jamak dari kata madzhab. Dalam
kamus munawir kata madzhab memilki arti kepercayaan, doktrin, ajaran,
pendapat, dan teori.[8]
Sedangkan secara terminologis, madzhab biasa didefinisikan sebagai
hasil-hasil ijtihad atau pemikiran, penafsiran para ulama yang kemudian
dikumpulkan dan dinisbatkan kepada tokohnya, atau kecenderungannya, atau masa
periodesasinya.
Adapun kata at-tafsir secara bahasa merupakan bentuk mashdar
(kata benda abstrak) dari fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti
pemahaman, penjelasan dan perincian. Tafsir bisa pula berarti al-ibanah
(menjelaskan), al-kasf (menyingkap), dan al-izhar (menampakkan)
makna atau pengertian yang tersembunyi.[9]
Dari tinjauan makna secara bahasa tersebut, maka tafsir secara
istilah dapat diartikan sebagai suatu hasil pemahaman manusia (baca: mufassir)
terhadap al-Quran yang dilakukan dengan menggunakan metode atau pendekatan
tertentu yang dipilih oleh seorang mufassir, dan dimaksudkan untuk memperjelas
suatu makna teks ayat-ayat al-Quran. Hal ini kemudian melahirkan suatu istilah
yang oleh para ulama kemudian dikenal dengan madzahibut tafsir
(aliran-aliran tafsir atau madzhab-madzhab dalam penafsiran al-Quran).
Jadi madzahibut tafsir adalah aliran-aliran, madzhab-madzhab,
kecenderungan-kecenderungan yang dipilih seorang mufassir ketika
menafsirkan al-Quran.[10]
Istilah madzahibut tafsir pertama kali muncul digunakan oleh
Ignaz Goldziher dalam bukunya, Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung
yang kemudian diterjemahkan oleh Dr. Ali Hasan Abdul Qadir dengan judul Madzahibut
Tafsir al-Islami (1995). Selanjutnya barulah muncul banyak karya dalam
bidang ini. Seperti, Muhammad Husain adz-Dzahabi (1961), Abu Yaqzhan ‘Athiyya al-Jaburi
dengan judul Dirasah Fi at-Tafsir Wa Rijalihi (1971) dan Abdul ‘Azhim
Ahmad al-Ghubasyi dengan judul Tarikh at-Tafsir Wa Manahij al-Mufassirin
(1997) dan lain sebagainya.[11]
Alasan munculnya berbagai aliran–aliran tafsir antara lain dari al-Quran
itu sendiri yang sangat memungkinkan untuk dibaca, ditafsirkan secara beragam,
serta memiliki ambiguitas makna dalam al-Quran. Selain itu pula kondisi
subjektif mufassir (prior teks)[12], hubungan antara dunia luar, dan adanya faktor teologis dan
politik juga mewarnai kemunculan aliran-aliran tafsir tersebut.[13]
Objek kajian ilmu ini adalah menguraikan tentang tokoh-tokoh ahli
tafsir dan tafsir, serta biografi penulis tafsir, metodologi, maupun corak dan
karakteristik penafsirannya.[14]
Ilmu ini memiliki arti penting bagi para pengkaji al-Quran dan pada
kaum muslimin pada umumnya. Dari ilmu ini kita dapat membuka wawasan dan
menumbuhkan sikap toleran terhadap berbagai corak penafsiran, mengembangkan
metode-metode penafsiran, dan menghindari adanya sikap taqdis al-afkar
(pensakralan pemikiran keagamaan).[15]
Adapun mengenai katagorisasi aliran-aliran tafsir itu tergantung
pada “kacamata” yang dipakai untuk memetakan aliran-aliran penafsiran tersebut.
Seperti Muhammad Husain adz-Dzahabi yang memetakannya menjadi tiga; tafsir pada
masa Nabi dan sahabat, pada masa tabi’in, dan pada masa kodifikasi.[16] Begitu pula Amina Wadud yang memiliki pemetaannya sendiri. Beliau memetakannnya
berdasarkan penafsiran mengenai isu-isu gender selama ini menjadi 3; tafsir
tradisional, tafsir reaktif, dan tafsir holistik.[17]
Berbicara tentang kategorisasi aliran-aliran tafsir yang sudah
berkembang selama ini, ternyata para ulama berbeda-beda dalam memetakannya.[18] Ada yang membagi berdasarkan periodesasinya atau kronologi
waktunya, sehingga menjadi madzhab tafsir periode klasik, pertengahan, modern
atau kontemporer.[19] Ada yang berdasarkan kecenderungannya, sehingga muncul istilah
tafsir sunni, syi’ah, mu’tazilah, dan lain sebagainya. Ada pula yang melihat
dari perspektif atau pendekatan yang dipakai, sehingga muncul istilah tafsir sufi,
falsafi, ‘ilmi, fiqhi, adabi ijtima’i dan
lain sebagainya. Bahkan ada pula yang meilhat dari perkembangan pemikiran
manusia, sehingga dapat dipetakan menjadi tafsir periode mitis,[20] ideologis,[21] dan ilmiah.[22]
Pembagian atau pemetaan semacam ini sah-sah saja selama memiliki argumen-argumen
ilmiah yang mendukungnya. Sudah barang tentu setiap pembagian dan pemetaan
tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan, sekaligus mempunyai karakteristik
dan kecenderungan tertentu yang berbeda-beda dengan lainnya.[23]
C.
Penutup
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kata sempurna. Saran
dan kritik yang kontruktif tentu sangat diharapkan. Akhir kata penulis berharap
semoga tulisan ini dapat bermanfaat serta merupakan bagian dari shadaqah
ilmu yang mendapat ridho Allah swt.
Yogyakarta, 26 Februari 2013
(Bagi para pengunjung yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai rujukan silakan sertakan nama penulis pada tulisan anda)
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran
al-Quran Periode Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003
Hasan Ibrahim Hasa, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Islamic
History and Culture, From 632-1968), terj. Djahdan Humam, Yogyakarta: Kota
Kembang, 1989
Muhammad Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir Wa al-Mufassirun,
Kairo: Maktabah Wahbah, 2000
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia
Terlengkap, cet XIV, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997
Amina Wadud, Wanita di dalam al-Quran, cet I, terj. Yaziar
Radianti, Bandung: Penerbit Pustaka, 1994
[1] Abdul
Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Quran Periode
Klasik Hingga Kontemporer, cet I, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm 8-9.
[2]
Meninggalnya khalifah Abbasiyah, Watiq, pada tahun 232 H, menandai berakhirnya
zaman keemasan Islam yang disebabkan oleh lemahnya kekhalifahan. Berdirinya
negeri-negeri Islam independen dan pengaruh-pengaruh pemimpin di luar negeri.
Lihat: Hasan Ibrahim Hasa, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Islamic
History and Culture, From 632-1968), terj. Djahdan Humam, cet I, (Yogyakarta:
Kota Kembang, 1989), hlm 209.
[3]
Adz-Dzahabi menyatakan bahwa tafsir ini adalah tafsir yang paling tua yang ada
saat ini. Sedangkan karya-karya sebelum ini hanya dapat diketahui dengan
melacak riwayat-riwayat yang ada di dalam tafsir tersebut. Lihat: Muhammad
Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir Wa al-Mufassirun, cet VII, (Kairo:
Maktabah Wahbah, 2000), I: 209
[4]
Hasan Ibrahin Hasa, Sejarah dan Kebudayaan..., hlm 229.
[5] Ibid.,
hlm 231.
[6]
Muhammad Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir Wa al-Mufassirun..., II: 577.
[7]
Selanjutnya penulis akan memilih menggunakan kata aliran-aliran untuk pengganti
kata madzahib.
[8] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus
Arab-Indonesia Terlengkap, cet XIV, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
hlm 453.
[9] Muhammad
Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir Wa al-Mufassirun..., I:12.
[10] Abdul
Mustaqim, Madzahibut Tafsir..., hlm: vii
[11] Ibid.,
hlm 3.
[12]
Yang dimaksud dengan prior teks adalah latar belakang, persepsi, dan keadaan
yang dimiliki oleh mufassir.
[13] Ibid.,
hlm 10-15.
[14] Ibid.,
hlm 18.
[15]
Ibid., hlm 20-22.
[16]
Muhammad Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir Wa al-Mufassirun ..., I:9.
[17] Amina
Wadud, Wanita di dalam al-Quran, cet I, terj. Yaziar Radianti, (Bandung:
Penerbit Pustaka, 1994), hlm 2.
[18] Abdul
Mustaqim, Madzahibut Tafsir..., hlm 6.
[19]
Pemetaan ini cenderung dipilih oleh Abdul Mustaqim dalam bukunya Madzhabiut
Tafsir.
[20]
Yang dimaksud mistis adalah tidak ada kritisime dalam menerima sebuah tafsir.
[21]
Yang dimaksud idiologis adalah tafsir-tafsir yang muncul sarat dengan
kepentingan idiologis dan politik.
[22]
Yang dimaksud ilmiah adalah tafsir yang muncul sudah memiliki kecenderungan
ilmiah dan sudah diwarnai oelh
pendekatan hermeneutis yang lebih bersifat kritis-filosofis.
[23] Abdul
Mustaqim, Madzahibut Tafsir..., hlm 6.
0 comments
Post a Comment