SALAT TATAWWU’ EMPAT RAKAAT SESUDAH SALAT JUM’AT DAN SALAT MALAM
EMPAT RAKAAT DI BULAN RAMADAN APAKAH MEMAKAI TAHIYAT AWAL ATAU TIDAK?
SALAT DAN PUASA YANG PAHALANYA UNTUK ORANG YANG TELAH MENINGGAL
DUNIA
Pertanyaan Dari:
Zainal Choiri, No. KTAM 1129-3387-586583, Jl. Gunungkunci, Kartasura,
Jawa Tengah 57167
Tanya:
1.
Pada HPT
cet. 3, halaman 320 dan 351 perihal salat tatawwu’ empat rakaat sesudah
salat Jum’at, mohon dijelaskan apakah memakai tahiyat awal atau tidak? Demikian
juga apakah sekali salam atau dua kali salam?
2.
Pada SM
No. 4/77/1992 dikemukakan bahwa salat malam di bulan Ramadan dapat dilakukan
empat-empat rakaat. Mohon dijelaskan apakah memakai tahiyat awal atau tidak?
3.
Dalam
Fiqhus Sunnah cet. 3 jilid 4 tahun 1991 halaman 189-191 terdapat uraian tentang
salat, puasa yang pahalanya untuk orang yang telah meninggal dunia. Bagaimana
Muhammadiyah menanggapinya?
Jawab:
Melihat
tanggal yang tertera pada surat saudara, tampaknya pertanyaan ini sudah cukup
lama menginap, mohon maaf apabila baru kali ini bisa dimuat.
Saudara
Zainal Choiri, memang sehabis salat Jum’at Nabi saw biasa mengerjakan salat sunat
sebanyak empat rakaat atau dua rakaat. Bahwa salat sunat itu empat rakaat, adalah
seperti dalam hadis riwayat Jamaah dari Abu Hurairah yang artinya: “Bahwasanya Nabi
saw bersabda: apabila salah seorang dari kamu telah selesai mengerjakan
salat Jum’at maka hendaklah salat sunnat empat rakaat sesudahnya”. Demikian juga
dalam hadis riwayat Muslim, Abu Dawud dan at-Tirmizi disebutkan bahwa salat
sunnat ba’da Jum’at itu empat rakaat. Sedangkan dalam hadis riwayat Jama’ah
dari Ibnu Umar, disebutkan bahwa Nabi saw sesudah salat Jum’at melakukan salat
sunnat dua rakaat di rumahnya.
Dari
beberapa riwayat ini dapat diketahui bahwa apabila Nabi saw salat sunnat
ba’da Jum’at dilakukan di masjid, beliau mengerjakannya empat rakaat, sedangkan
apabila dilakukan di rumah dikerjakan dua rakaat. Apakah yang empat rakaat itu
memakai tahiyat awal atau tidak, juga sekali salam atau dua kali salam, kami
belum memperoleh dalil yang menjelaskannya lebih lanjut. Hanya saja dari
beberapa salat sunnat yang lain, kalau tidak disebutkan secara tegas bahwa
empat rakaat itu dengan sekali salam seperti dalam salat tarawih,
maka salat sunnat itu dilakukan dua rakaat-dua rakaat, atau empat rakaat dengan
dua kali salam (selanjutnya silahkan baca Buku Tanya Jawab Agama, Jilid 4
halaman 121-123, terbitan PP Muhammadiyah Majlis Tarjih).
Untuk
pertanyaan Saudara yang kedua, bahwa Salat Lail pada bulan Ramadan selain
dilakukan dengan cara dua-dua rakaat, juga dapat dilakukan dengan empat-empat
rakaat. Apabila dilakukan secara empat-empat rakaat, tidak memakai tahiyyat
awal, melainkan empat rakaat tersebut dikerjakan secara langsung dan
tahiyyatnya dilakukan setelah rakaat yang keempat lalu salam. Setelah itu
berdiri lagi untuk mengerjakan empat rakaat berikutnya, lalu salam lagi.
Selesai mengerjakan delapan rakaat lalu ditambah dengan mengerjakan tiga rakaat
lagi. Mengenai shalat lail ini dalam Himpunan Putusan Majelis Tarjih (HPT)
halaman 341 disebutkan: “Hendaklah engkau membiasakan shalat malam sesudah
shalat Isya hingga menjelang terbit fajar, di dalam maupun di luar bulan
Ramadan. Engkau kerjakan 11 rakaat, dua rakaat-dua rakaat atau empat
rakaat-empat rakaat, dengan membaca Fatihah dan surat dari al-Qur’an pada
tiap-tiap rakaat. Kemudian engkau akhiri tiga rakaat, dengan membaca surat
al-A’la sesudah Fatihah pada rakaat pertama, surat al-Kafirun pada raka’at
kedua dan surat al-Ikhlas pada rakaat ketiga …”.
Adapun
yang dijadikan dasar hukumnya ialah seperti yang Saudara lampirkan dalam surat
kepada kami (kutipan dari SM No. 4/77/1992) atau seperti yang dimuat di halaman
347 HPT, yaitu hadis riwayat al-Bukhari, Muslim dari Aisyah sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ حِينَ سُئِلَتْ عَنْ صَلاَةِ رَسُولِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ
رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ
يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي
ثَلَاثًا [رواه البخاري ومسلم]
Artinya:
“Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ketika ia ditanya tentang shalat Nabi di
bulan Ramadan, Aisyah berkata: Pada bulan Ramadan maupun lainnya Nabi tidak pernah
melakukan shalat lebih dari sebelas rakaat, Nabi kerjakan empat rakaat, jangan
engkau tanyakan elok dan lamanya, kemudian Nabi kerjakan lagi empat rakaat dan
jangan engkau tanyakan elok dan lamanya, lalu Nabi kerjakan lagi tiga rakaat.”
Dalam
hadis di atas disebutkan bahwa Nabi mengerjakan shalat lail itu empat rakaat,
empat rakaat dan terakhir tiga rakaat. Karena disebutkan empat rakaat-empat
rakaat, dengan tidak disebutkan memakai tahiyyat awal, maka shalat lail yang
empat rakaat-empat rakaat tersebut dikerjakan dengan tidak melakukan tahiyyat
awal. Demikian halnya shalat witir yang tiga rakaat juga tidak memakai tahiyyat
awal.
Pertanyaan
Saudara yang nomor tiga, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan seperti pertanyaan
Saudara ini dan persoalan ini merupakan persoalan klasik. Oleh Tim Fatwa Majlis
Tarjih sudah diberikan jawabannya. Untuk itu bisa Saudara baca dalam buku Tanya
Jawab Agama jilid II oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih dengan penerbit
Suara Muhammadiyah, halaman 197 dan seterusnya. Memang di kalangan ulama
sendiri terdapat perbedaan mengenai hal ini. Ada yang berpendapat bahwa
menghadiahkan pahala kepada orang yang sudah mati, pahala itu akan sampai
kepadanya dan kebanyakan ulama berpendapat bahwa hadiah pahala itu tidak akan
sampai.
Dari
beberapa jawaban yang dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama tersebut dapat
disimpulkan bahwa dalam pandangan Tim Fatwa Majlis Tarjih rnenghadiahkan pahala
kepada orang yang sudah meninggal dunia tidak ada dasar hukumnya. Seseorang
manusia berdosa adalah karena ulah perbuaran sendiri, bukan karena menanggung
dosa orang lain, kecuali kalau memang dia ikut andil dalam perbuatan dosa orang
lain tersebut. Demikian sebaliknya bahwa seseorang manusia mendapat pahala dari
hasil perbuatannya sendiri dan ia akan menerima pahala dari perbuatan baik
orang lain kalau ia mempunyai andil dalam terwujudnya perbuatan baik orang lain
tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah surat an-Najm ayat
38-39:
Artinya: “Bahwasanya seorang yang berdosa
tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seorang manusia tidak akan
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
Sejalan dengan ayat di atas ialah apa yang
dikemukakan dalam hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu
Dawud, at-Turmuzi dan yang lainnya, bahwa Nabi saw bersabda yang artinya: “Barangsiapa
mengajak kepada petunjuk (kebaikan) maka ia akan mendapat pahala seperti
pahala-pahala yang diberikan kepada orang-orang yang mengikuti ajakannya, tanpa
mengurangi sedikitpun pahala-pahala mereka, dan orang yang mengajak kepada
kesesatan maka ia akan menerima dosa seperti dosa orang-orang yang mengikuti
ajakannya tanpa mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka itu”.
Mengingat
bahwa menghadiahkan pahala dari perbuatan yang kita lakukan untuk orang yang
sudah meninggal dunia itu tidak ada landasannya, maka sebaiknya hal itu tidak
dilakukan.
0 comments
Post a Comment