Pemikiran Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani dan Gerakan Kritik Hadits Modern
Dunia keilmuan hadits oleh sebagian kalangan intelektual dianggap sebagai wilayah yang sudah tua, tidak berkembang, bahkan dikatakan sudah mati. Hal itu dikarenakan adanya stereotip yang dilekatkan pada kajian ini menyangkut otoritas hadits Nabi Saw . yang dianggap sudah mapan dan generasi sesudahnya tidak bisa lagi ikut menganalisa terutama dalam proses tashhih wa tadh’if atau verifikasi suatu hadits untuk menentukan nilai keshahihan atau kelemahannya. Demikian diletupkan oleh Ibnu Shalah yang berpendapat bahwa proses tahshih wa tadh’if adalah hak prerogatif dari para ulama kritikus hadits periode mutaqaddimin (terdahulu), tidak untuk muta’akhirin (belakangan) dan berakhir pada pertengahan abad ke-5 H. Ibnu Shalah merekomendasikan para ulama dan umat setelah masa itu agar mengambil hadis dari karangan-karangan yang terkumpul di dalamnya hadis-hadis shahih seperti Shahih Bukhari dan Muslim, Mustadrak 'ala Shahihain Hakim al-Nisaburi, Shahih Ibnu Hibban, dan atau Shahih Ibnu Huzaimah.
Namun hemat Al-Albani, sebagaimana para pendahulunya sesudah era Ibnu
Shalah -seperti Ibnu Katsir, al-Dzahabi dan Ibnu Hajar al-Asqalani-, hasil
kerja-ijtihad para ulama mutaqaddimin memang patut diapresiasi namun
tidak bisa dilepaskan dari adanya beragam kesalahan dikarenakan standar
kesalahan, baik dalam matan maupun sanad akan bertambah sejalan dengan alur
sejarah. Maka keniscayaan untuk melakukan studi ulang atas karya para ulama
klasik itu. Pun kondisi riil umat Islam
yang sering menggunakan hadits tanpa mengetahui asal-usul dan statusnya.
Parahnya, hal itu juga dilakukan oleh para ulama yang sering menggunakan hadits
hanya sekedar mencantumkan dan mengaburkan atau menghilangkan catatan kaki
alias plagiat disebabkan minimnya pengetahuan mereka akan hadits Nabi Saw. Demikian
ketika ia mengkritik riwayat-riwayat dari al-Waqidi yang dijadikan referensi dalam
buku Fiqh Sirah oleh Said Ramadhan al-Buthi. Faktor lain adalah
kurangnya pengetahuan dan perhatian umat akan hadits Nabi Saw., serta
kecenderungan terlalu memporsikan kajian fikih. Maka al-Albani heran ketika
seorang ulama pengasuh rubrik di suatu majalah Islam ditanya pembacanya, apakah
nanti di hari akhir binatang juga termasuk makhluk yang dibangkitkan? Pengasuh rubrik itupun menjawab “tidak”
dengan mendasarkan pada pendapat Imam al-Alusi dalam tafsirnya, ‘Ruhul
Ma’aniy”. Segera ia membenarkan dengan mendatangkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra. dalam
Shahih Muslim (6532), “Di hari kiamat kelak, setiap hak akan diberikan pada
ahlinya (orang yang punya hak), sampai hak seekor kambing yang tidak bertanduk
diambilkan dari kambing yang bertanduk.”
Sosok Al-Albani dan pemikirannya sebagai bahasan dalam tulisan ringkas ini
adalah salah satu ulama kritikus hadits modern, di mana hasil ijtihadnya
mengenai status suatu hadits sering dijadikan referensi oleh banyak kaum muslim
dan dianggap reperesentatif oleh sebagian umat Islam, jika hasil verifikasi itu
datang darinya. Namun kritik juga banyak dialamatkan padanya oleh sebagian
kalangan. Siapakah Al-Albani? Metodologi apa yang ia gunakan dan apa implikasinya
bagi kajian hadits selama ini?
Al-Albani dilahirkan di kota Ashkodera, ibukota Albania pada tahun 1914.
Namun ia kebanyakan menghabiskan masa mudanya di Damaskus, Siria. Sekitar umur
20 tahun ia menyelesaikan karyanya yang pertama tentang hadits dengan menulis
komentar atas kitab al-Mughni ‘an Haml al-Asfar fi al-Asfar fi Takhrij Ma fi
al-Ihya min al-Akhbar karya al-Iraqi, berupa kajian verifikatif terhadap hadits-hadits dalam kitab Ihya’
Ulumudin-nya Imam al-Ghazali. Selanjutnya ia belajar secara otodidak
terutama dengan banyak kitab dan manuskrip di perpustakaan Zhahiriyah di
Damaskus. Di mana kita ketahui, Damaskus adalah salah satu kota poros keilmuan
Hadits dengan Madrasah hadits Zhahiriyah dan Asyrafiyah-nya. Sekitar tahun 1960an
ia diminta mengajar oleh koleganya, Abdulah bin Baz, di Universitas Islam
Madinah dan diangkat menjadi gurubesar kajian Hadits di sana. Ia termasuk orang
yang memprakarsai kajian kritik sanad sebagai matakuliah independen pada Departemen
Hadits. Untuk karya, ia kurang lebih telah menghasilkan sekitar 117 buku, baik
berbentuk catatan kritikal filologis atas berbagai manuskrip serta kitab turats
atau berbentuk karya independen. Di antaranya; Hijab al-Mar’ah al-Muslimah
fi al-Kitab wa al-Sunnah dan Silsilah al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa
al-Mawdhu’ah wa atsaruha as-Syai’ fi al-Ummah (kumpulan hadits dha’if dan
palsu). Dalam karya-karyanya itu, ia
telah mengidentifikasi kurang lebih 990 hadits yang diangap
autentik oleh kebanyakan ulama Muslim,
namun olehnya dianggap lemah. Maka ia pun menuai kritik dari berbagai kalangan,
di antaranya dari Hasan bin Ali as-Saqaf yang menulis Tanaqudhat al-Albani al-Wadhihat, juga Ramadhan
al-Buthi yang menulis al-Lamadzhabiyyah Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu asy-Syar’iah al-Islamiyyah. Dari
perspektif mazhab fikih, al-Albani cenderung kepada mazhab Hanbali, demikian
ketika ia memverifikasi kitab hadits hukum mazhab Hanbali, Irwau'l Ghalil fi
Takhrij Ahadits Manar al-Sabil, meski ayahnya sendiri, Haji Muhammad Nuh
adalah seorang penganut mazhab Hanafi tulen. Ia meninggal pada 2 Oktober 1999
(1420 H), di mana sebelumnya dunia Islam juga kehilangan ulama besar lainnya
yaitu Syekh Abdulah bin Baz dan Syekh Muhammad al-Ghazali, kemudian disusul
oleh Syekh Muhammad Shalih bin al-Utsaimin.
Sebenarnya tidak ada yang baru dalam metode yang digunakan oleh al-Albani
untuk menentukan autentitas dan
kepalsuan sebuah hadits. Ia juga tetap berpegang pada metode yang telah
digunakan oleh para ulama kritikus hadits pendahulunya yaitu dengan tetap berpegang
pada analisa isnad, lalu mengacu dan menggunakan informasi-informasi
yang ada dalam kitab-kitab biografi (tarajum)
para rawi. Ia tetap setia memakai metode takhrij, yaitu memperlihatkan
kepada orang lain sumber munculnya hadits dengan menyebutkan silsilah perawinya
secara lengkap.
Takhrij, menurut Abdul Muhdi Abdul Hadi (2006), secara terminologi,
dalam sejarah keilmuan hadits mengalami tiga fase. Pertama, takhrij
hanya menyebutkan hadits lengkap dengan sanadnya, kemudian seorang mukharrij
(perawi terakhir- seperti Bukhari dan Muslim) hanya memberikan
komentar sekedarnya atas keadaan sanad, bahkan terkadang mengkritik matannya. Fase
selanjutnya, seorang mukharrij di samping menyebutkan sanad hadits
secara lengkap, juga berusaha menyebutkan sanad lain sebagai penguat bagi
hadits pertama. Pada fase ketiga, setelah seluruh hadits dikodifikasikan, maka takhrij
hanya dimaksudkan mengembalikan hadits-hadits kepada sumber-sumber aslinya. Takhrij
bagi al-Albani di samping mengembalikan hadits kepada sumber aslinya, juga menyertakan penilaian atas hadits
tersebut dan meneliti setiap pendapat ulama mengenai perawinya sehingga
akhirnya dapat melakukan sebuah tarjih dari sekian banyak komentar ulama atas
keadaan sebuah hadits baik dari segi sanad maupun matannya.
Ketika mempraktikan metode ini, al-Albani tetap memegang prinsip
keotentikan hadits-hadits yang ada dalam Shahih Bukhari dan Muslim sebagai
kitab kedua yang paling absah dan shahih setelah al-Quran. Sehingga ketika men-takhrij
hadits-hadits kedua kitab itu, ia hanya menyebutkan letak dan nomor urutnya
tanpa memberikan komentar mendetail. Cukup
ia menuliskan ungkapan semisal; "shahih, rawahu as-Syaikhani",
"shahih, rawahu al-Bukhari" atau “rawahu Muslim", meski
sebagian perawinya ada yang lemah. Demikian menegaskan akan keshahihan
hadits-hadits dalam dua kitab kanonik tersebut. Berbeda ketika ia menganalisa hadits-hadits dalam kitab sunan, semisal Sunan
an-Nasaiy, Abi Dawud, Tirmidzi, dan kitab hadits lain seperti Mustadrak al-Hakim,
Shahih Ibnu Hibban, atau Shahih Ibnu Huzaimah; di mana ia harus memberikan
penilaian shahih, hasan atau dha’if setelah meneliti isnad-nya.
Jika dalam sanadnya terdapat perawi yang tsiqah (terpercaya), maka al-Albani
tidak banyak memberikan komentar, namun lebih mencukupkan komentar beberapa
ulama. Akan tapi, jika salah satu perawinya diperdebatkan oleh para kritikus,
maka terlebih dahulu ia menyalin seluruh komentar tersebut dan membandingkannya
sesuai dengan kaidah Jarh wa Ta'dil (kajian rawi untuk menentukan
diterima-tolak riwayatnya) untuk selanjutnya melakukan tarjih atas sanad tersebut.
Karena menurutnya, meski kitab-kitab hadits itu sudah diklaim berisikan
hadits-hadits yang shahih, namun masih banyak didapati hadits-hadits hasan,
bahkan dha’if yang memerlukan penelitian lanjutan. Hasilnya, ia dapati dalam Sunan Abi Dawud hadits yang terkategori dha’if berjumlah 561 (Dha’if
Sunan Abi Dawud) dan yang shahih 2.393 hadits (Shahih Sunan Abi Dawud).
Dalam proses verifikasi, untuk kritik sanad ia menggunakan beberapa istilah
Jarh wa al-Ta’dil yang dominan ia gunakan, di antaranya: (1) tsiqah
untuk menunjukan hadits tersebut memiliki sanad dan penuhi kriteria hadits
shahih; (2) shaduq atau jayyid (benar-baik) untuk kategori hadits
hasan; (3) lam a'rifhu atau majhul (tidak terdeteksi) di gunakan
ketika ia tidak mengetahui keadaan seorang rawi, apakah termasuk kategori
tsiqah atau jayyid; (4) dha’if atau wahin untuk
kategori hadits yang lemah sekali dan termasuk kategori hadits dha’if; (5) kadzdzab
(pendusta) untuk kategori hadits maudhu’ (palsu) dan tidak dapat
dijadikan landasan hukum. (Hamdani P., 2006)
Proses tarjih yang biasa ia lakukan terkait jika satu sanad hadits menuai
perdebatan para ulama, dalam hal ini yang terpenting baginya adalah banyaknya
sanad. Jika suatu sanad miliki perawi dha’if, ia tidak serta merta menilai
dhaif. Tapi berusaha mencari sanad lain yang meriwayatkan hadits yang sama. Sebab
jika memiliki silsilah perawi yang berbeda, kedhai’fannya -sebagaimana
kesepakatan para ulama- bisa terangkat masuk
kategori hasan li-ghairihi yang dapat dijadikan argumen. Metode
di atas bukannya tanpa syarat dan tidak sepenuhnya hadits tersebut bisa diterima, akan tapi
harus diperhatikan tingkat kelemahan yang dimiliki masing-masing silsilah
sanad sebuah hadits. Jika perawinya
dinilai pendusta, meski terdapat hadits
penguat lain, tetap hadits tersebut tidak dapat diterima. Namun jika si perawi
dinilai sekedar hafalannya kurang, ia bisa berubah dari hadits dha’if menjadi hasan
li-ghairihi jika memiliki sanad
lebih dari satu (Sulaiman Ayub, 2005). Ia juga biasa mendahulukan lafal tajrih
daripada ta’dil, jika para kritikus mengomentari seorang perawi, meski
tidak selamanya ia praktikan. Sebab baginya, diperlukan analisa yang mendalam
terhadap menu biografi para rawi yang
ada dan komentar-komentar kritis terhadapnya, sehingga terlihat obyektif.
Sedang untuk kritik matan, tidak berbeda dengan para pendahulunya, ia
mensyaratkan beberapa di antaranya; (a) matan suatu hadits harus terhindar dari
kelemahan susunan kata dan lafalnya.
Semisal didapati kesalahan penggunaan
kaidah gramatikal atau kosakatanya dinilai lemah. Di mana hal itu dapat menjadi
indikator untuk melacak keabsahan hadits; (b) terhindarnya matan hadits dari kerancuan
(syadzdz) akibat munculnya matan sanad lain yang lebih kuat dari sanad yang pertama. Atau
didapati dalam sanad suatu kecacatan (‘illat) akibat tercampurnya sabda Rasul Saw. dengan
perkataan orang lain yang dapat menurunkan kualitas hadits: (c) hadits yang memiliki sanad yang lemah tidak serta merta mengindikasikan matannya
juga lemah. Sebab tidak jarang didapati hadits yang substansinya tidak
menyalahi ajaran Islam, dianjurkan oleh al-Qur’an juga riwayat shahih, namun
diriwayatkan oleh seorang perawi yang dinilai lemah oleh para kritikus hadits.
Maka harus diusahakan pencarian sanad lain yang memiliki perawi yang kuat dan
otomatis akan menguatkan hadits tersebut.
Hasil kerja ijtihadiy al-Albani yang tersebar, hemat penulis
berimplikasi pada berubahnya peta keilmuan hadits (dirayah dan riwayah)
yang selama ini telah mapan kurang lebih 12 kurun. Ia dinilai sebagai pionir
gerakan kritik hadits modern. Banyak ulama seperti Sayyid Sabiq, Yusuf
al-Qaradhawi, dan Muhammad al-Ghazali memintanya secara langsung untuk memverifikasi hadits-hadits yang tersebar
dalam buku-buku mereka. Meski kadang al-Albani terlihat tidak konsisten dalam
metodologi yang digunakan, seperti
ketika ia melemahkan riwayat Abu
az-Zubair dari Jabir tentang larangan kurban seekor domba yang berumur satu
tahun (al-jadza’ min adh-dha’ni), kecuali dalam keadaan ketika seekor
sapi yang cukup umur terlalu mahal atau sulit didapatkan di pasar (HR. Muslim,
5038). Ia menilai sanad ini tidak bersambung karena az-Zubair tidak secara
langsung mendengar dari Jabir ra. dan menggunakan lafal ’an (atas
otoritas dari). Pun para kritikus menilai Abu az-Zubair sebagai mudallis (penipu).
Al-Albani mengatakan telah disepakati dalam ilmu hadits bahwa perawi mudallis
haditsnya tidak dapat dijadikan argumen, apabila dia tidak menyatakan secara
eksplisit (seperti lafal ‘an) untuk cara penerimaan haditsnya. Berbeda
ketika seorang mudallis menyebutkan secara eksplisit (seperti sami’tu
(aku mendengar)), maka haditsnya -hemat al-Albani-, bisa diterima. Namun tambah
al-Albani, tidak diragukan jika riwayat Abu az-Zubair dari Jabir diriwayatkan
oleh Laits bin Sa’ad yang telah mengklaim menerima dari az-Zubair, hanya hadits
yang telah didengar oleh az-Zubair dari Jabir. Masalahnya, dari 960 hadits yang
diriwayatkan oleh Jabir, 360 lainnya diriwayatkan lebih lanjut oleh az-Zubair
yang terekam dan tersebar pada kutub as-sittah. Dan Imam Muslim merekam 194 hadits, dengan
jalur az-Zubair-Jabir, di mana yang menggunakan lafal sami’a dan lafal
serupa yang menunjukan periwayatan langsung sebanyak 69 kali, dan istilah ‘an
sebanyak 125 kali. (K. Amin, 2009). Dengan ini konsekuensinya, apakah 124 hadits
lainnya dari az-Zubair-Jabir juga harus ditolak atau ditunda kehujahannya?
Dalam biografinya “Hayat al-Albani, Atsaruhu wa Tsana’ ‘Ulama ‘Alaihi”
setebal 2 jilid oleh M. Ibrahim Syaibani dan banyak tercermin dalam pengantar
untuk karya-karyanya, al-Albani mengaku sangat menghargai budaya kritik (naqd) –bahkan terhadap ayah dan
koleganya sendiri- dalam dunia ilmu, dikarenakan manusia tak bisa dilepaskan dari adanya
kesalahan. Ia sangat mengedepankan toleransi serta menjauhkan diri dari
fanatisme mazhab, maka ia sering
mengkritik kalangan yang menjadikan hadits sebagai justifikasi bagi
aliran-mazhabnya tanpa mengadakan verifikasi lebih jauh sehingga akan
berimplikasi buruk bagi bangunan hadits Nabi Saw. yang menjadi sumber hukum
syariat Islam. Wallahu a’lam bis-shawwab.
0 comments
Post a Comment