TAKHRIJ
HADIS SHALAT TARAWIH 23 RAKAAT
Setiap bulan Ramadlan, pasti akan kita dapati peerbedaan sesama muslim ketika melaksanakan shalat tarawih. Ada yang 11 rakaat dan 23 rakaat. mungkin diantara kita ada yang masih bingung???? mana yang benar??? tulisan ini dibuat untuk sekedar tahu, berapa jumlah tarawih yang dilakukan nabi menurut hadis nabi. Masalah riwayat sahalat tarawih 20 rakaat inilah yang akan saya coba ketengahkan dan telisik. Mumpung saya juga lagi buka kitab2 Rijal untuk sebuah tulisan di Jurnal. Memang masalah ini termasuk dalam kategori khilafiyah.
Berikut penelisikan dan komentar tentang
riwayat-riwayat hadis serta atsar yang
menunjukkan shalat tarawih 20 rakaat:
1. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath
al-Bari fi Syarhi Shahih al Bukhari setelah mengomentari hadis riwayat Bukhari lewat jalur Abu Salmah dari Abdurrahman dari
Aisyiah ra. bahwa Nabi Saw. tidak pernah melaksanakan shalat tarawih lebih dari
11 rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun lainnya serta riwayat dari Jabir
bin Abdullah ra., Ibnu Hajar mendatangkan
sebuah riwayat dari Ibnu Abbas yang
dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, "Kana
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam yusalli
fi ramadhan 'isrina ra'ah wal witr (Adalah rasulullah Saw. melaksanakan shalat
di Ramadhan 20 rakaat serta witir) (2/90/2). Ibnu Hajar berkomentar , "Sanad hadis ini dhaif dan bertentangan dengan
riwayat dari Aisyiah sebagaimana termaktub di Shahihain
(Bukhari-Muslim) serta perlu diketahui bahwa Aisyah adalah orang yang paling
tahu tentang apa yang dilakukan oleh Nabi Saw. pada malam-malamnya".
(4/205-206)
Komentar yang sama diberikan oleh Hafiz
al-Zaila'i dalam Nasbu al-Rayah (2/153), sebuah kitab komentar
hadis-hadis fikih karangan Imam Rafi'i dalam mazhab Syafi'i.
Imam Suyuthi dalam al-Hawi al-Kabir
(2/73) juga men-dhaifkan, alasannya terdapat seorang rawi yang bernama Abu
Syaibah Ibrahim bin Usman . Tentang rawi ini, Ibnu Hajar dalam "Taqrib
al-Tahdzib" memberi komentar "matruk al-Hadis
(hadisnya ditinggalkan)
Syekh Nashiruddin Albani dalam bukunya "Shalat al-Tarawih:19-21"meneliti sumber-sumber
riwayat ini dan didapati tidak ada jalur lain selain dari Abu Syaibah Ibrahim bin Usman ini. Sumber-sumber
itu adalah Mushannaf Ibnu Abi
Syaibah (2/90/2), Muntakhab min al-Musnad oleh Abdu bin Humaid
(43/2-1), Thabrani dalam Mu'jam al-Kabir (3/148/2) juga dalam Mu'jam
al-Ausath-nya, Muntaqa Mu'jam al-Kabir Thabrani (3/2) oleh
Imam Dzahabi, Ibnu Adi dalam al-Kamil (1/2), Khatib al-Baghdadi dalam al-Muwadhah
(1/219) serta Baihaqi dalam Sunan-nya (2/496). Semuanya dari jalur Ibrahim ini.
Thabrani berkomentar, "ia tidak
meriwayatkan hadis dan atsar lain dari Ibnu abbas selain riwayat ini",
juga Imam Baihaqi , "Ia meriwayatkannya sendirian (tafarrada bihi)
ditambah ia adalah dhaif (lemah) "
Al-Haitsami dalam Majma' al-Zawaid
(3/172) juga mengomentarinya dhaif.
Ibnu Main mengatakan, "laisa bi tisqah"
Sedang Imam Bukhari mengomentarinya "sakatu
'anhu (orang-orang mendiamkannya)" dan "sakatu 'anhu"
ini menurut Ibnu Katsir adalah tingkatan al-jarh (kecacatan seorang rawi) yang
terendah. (Ikhtisar Ulum al-hadis: 118)
Maka Albani menghukuminya maudhu
(palsu) dan termasuk "syadid al-Dhaif " (sangat lemah) sebab
berlawanan dengan hadis Aisyah dan Jabir tadi. Juga al-Zaila'i dan
Ibnu Hajar di atas. Sedang Imam
al-Dzahabi dan Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa al-Kubra
(1/195) pun menganggapnya mungkar. Imam al-Subki mengatakan bahwa hadis dhaif
bisa diamalkan jika dhaif-nya tidak terlalu sangat (syadid al-dhaif).
Terakhir, Imam Suyuthi memberi komentar setelah
menyebutkan riwayat dari Jabir bin Abdulah
di atas yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam al-Shahih-nya, "Maka
kesimpulannya adalah, bahwa shalat tarawih 20 rakaat tidak ada ketetapan yang pasti Nabi Saw. pernah
melakukannya" (Albani, Op.cit. hal. 20)
2. Tentang riwayat yang terkenal sebagai
sandaran atau legalisasi dari tarawih 20 rakaat adalah atsar dari Umar bin Khatab
ra. Tapi BENARKAH UMAR
MEMERINTAHKAN YANG 20 RAKAAT itu?
Berikut atsar itu:
Dari Abdurrahman bin al-Qari berkata, "
Suatu malam di bulan Ramadhan
aku berjalan bersama Umar bin Khattab melihat-lihat masjid, lalu
beliau melihat orang-orang berbeda-beda dalam mendirikan sholat
(sunnah), sebagian sholat sendiri, sebagian sholat bersama kelompok
kecil. Lalu Umar berkata: "Aku melihat seandainya mereka dikumpulkan
di belakang satu qari (pembaca Qur'an) tentu lebih baik. Lalu beliau
menganjurkan agar semua shalat di belakang Ubay bin Ka'ab. Kemudian
aku keluar bersama Umar pada malam lain dan orang-orang sudah shalat
berjamaah di belakang imam satu, lalu Umar berkata:"Inilah sebaik-baik
bid'ah, dan shalat yang mereka tinggalkan untuk tidur tetap lebih baik
dibandingkan dengan shalat yang mereka dirikan" (maksudnya shalat
malam di akhir malam lebih utama dibandingkan dengan shalat di awal
waktunya).
aku berjalan bersama Umar bin Khattab melihat-lihat masjid, lalu
beliau melihat orang-orang berbeda-beda dalam mendirikan sholat
(sunnah), sebagian sholat sendiri, sebagian sholat bersama kelompok
kecil. Lalu Umar berkata: "Aku melihat seandainya mereka dikumpulkan
di belakang satu qari (pembaca Qur'an) tentu lebih baik. Lalu beliau
menganjurkan agar semua shalat di belakang Ubay bin Ka'ab. Kemudian
aku keluar bersama Umar pada malam lain dan orang-orang sudah shalat
berjamaah di belakang imam satu, lalu Umar berkata:"Inilah sebaik-baik
bid'ah, dan shalat yang mereka tinggalkan untuk tidur tetap lebih baik
dibandingkan dengan shalat yang mereka dirikan" (maksudnya shalat
malam di akhir malam lebih utama dibandingkan dengan shalat di awal
waktunya).
Atsar (hadis
mauquf) ini di riwayatkan oleh Imam Malik
dalam Al-Muwatha' (1/6/3-7), ed. Syekh Mustafa Adawi, Dar Ibnu
Rajab, Mansora-Mesir), lalu Bukhari (4/203), al-Faryabi dalam Ma'alim
al-Sunan (73/2,74/1-2), Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf (2/91/1) tanpa
menampilkan kalimat, " Inilah sebaik-baik bid'ah", dan Ibnu Saad
dalam Thabaqat al-Kubra-nya (5/42).
Untuk catatan, dalam riwayat ini tidak tercantum jumlah rakaat yang ditentukan oleh Umar. Sedang untuk kualitas para perawinya tsiqah (baik-terpercaya) semuanya kecuali Naufal bin Iyas yang Ibnu Hajar menilainya "maqbul (diterima)"
Selain itu, dalam Muwatha-nya, Imam Malik juga
mengetengahkan riwayat lain yang menunjukkan bahwa Umar menentukan jumlah rakaatnya adalah 11 rakaat dan 23 rakaat. Tepat
di bawah urutan hadis Abdurrahman al-Qari di atas. Mari kita telisik dua
riwayat itu.
Pertama, yang 11
rakaat adalah lewat jalur Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin
Yazid yang berkata, "Umar memerintahkan Ubay bin Kaab dan Tamim
al-Dari untuk memimpin orang-orang shalat dengan 11 rakaat. Dan Imam (Qari)
membaca sekitar 200 ayat hingga orang-orang (para sahabat) berpegangan dengan
tongkat disebabkan panjangnya (bacaan) shalat".
Kualitas sanad hadis ini adalah shahih sekali
sebab Muhammad bin Yusuf (tsiqah) adalah guru Imam Malik yang Imam
Bukhari dan Muslim pun
menggunakan dan mengambil riwayat-riwayatnya. Sedang
Saib bin Yazid adalah sahabat
kecil (shaghir) yang pernah menemani Rasul Saw. menunaikan ibadah haji. Selain Imam Malik yang mengeluarkan (1/6/4),
juga al-Faryabi (1/76-2/75), Ibnu Abi Syaibah (2/284), Ibnu Ja'ad dalam
Musnad-nya (2926), Abu Bakar al-Nisaburi
dalam al-Fawaid dari (1/135) dan Imam Baihaqi dalam Sunan al-Kubra (2/496) juga
lewat jalur dari Malik.
Ibnu Abi Syaibah (2/89/2) juga mengeluarkan
riwayat 11 rakaat dari Yahya bin al-Qaththan dan Ismail bin Ja'far al-Madani
(1/186/4) juga dari Muhammad bin Yusuf . Rawi lain yang mengambil dari Muhammad
bin Yusuf adalah Ismail bin Umayyah, Usamah bin Zaid, Muhammad bin Ishak yang
dikeluarkan oleh Abu Bakar al-Nisaburi.
Kongklusinya ada sekitar 6 orang yang mengambil riwayat dari Muhammad
bin Yusuf dari Saib bin Yazid dan sama bersepakat bahwa Umar
memerintahkan orang-orang untuk
melaksanakan tarawih 11 rakaat. Kecuali Muhammad bin Ishak yang mengatakan 13
rakaat. Tapi menurut Albani, ini tidak bertentangan dan sama dengan riwayat lain dari Aisyah yang mengatakan 13, sebab
2 dari 13 rakaat itu adalah shalat khafifataini (2 rakaat ringan)
sebelum tarawih. (Albani, Op. cit:46 dan 16-17)
Kedua, adalah
riwayat yang juga dikeluarkan oleh Imam
Malik dari Yazid bin Rauman yang
mengatakan, "Orang-orang mendirikan
(shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada zaman Umar bin Khatab dengan 23
rakaat". Muwatha' Malik
(1/6/5), Baihaqi juga mengeluarkan dalam Sunan al-Kubra lewat jalur Malik
(2/496)
Tapi, jika dirunut sanad hadis ini adalah munqathi',
sebab Yazid bin Rauman tidak
pernah melihat Umar. Ia (Yazid bin Rauman) ini juga meriwayatkan dari Abu
Hurairah tapi mursal. Lihat Ibnu Hajar dalam Taqrib Tahdzib. biografi 7712,
Yazid bin Rauman.
Imam Nawawi dalam al-Majmu' Syarah al-Muhadzab
li Syaerazi (sebuah kitab mu'tabar (rujukan) dalam mazhab Syafi'I, 4/33)
berkomentar, "hadis ini diriwayatkan oleh Baihaqi, akan tapi mursal. Dan
Yazid bin Rauman tidak pernah sekalipun bertemu dengan Umar". Badrudin
al-Aini, komentator lain dari Shahih al-Bukhari dalam Umdatul Qari-nya (5/357)
juga mengatakan, " sanad hadis ini munqathi'"
Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan (2/285) tapi dari jalur Abdul
Aziz bin Rufai' yang berkata, "Adalah Ubay bin Kaab memimpin shalat orang-orang di Madinah dengan 20
rakaat dan tiga witir". Abdul
Aziz bin Rufai' ini juga munqathi' sebab ia tidak pernah bertemu dan
meriwayatkan dari Ubay bin Kaab. (Ibnu Hajar Op. Cit, biografi 4095)
Untuk penjelasan, hadis munqathi' adalah
hadis yang tidak bersambung sanadnya atau terputus dari arah manapun, baik di
awal, tengah, maupun akhir sanad. Dan ulama sepakat memasukkannya ke dalam
hadis dhaif dan tidak memakainya sebab
tidak diketahui keadaan rawi yang terbuang atau hilang itu.
3. Adalah riwayat yang dikeluarkan oleh
Abdurrazak dalam Mushannaf-nya (4/7730 Ed. Habiburrahman al-A'dzami, Maktab
Islami, Riyadh) dari Dawud bin Qais dan lainnya dari Muhamamd bin Yusuf dari
Saib bin Yazid, bahwasannya Umar
mengumpulkan orang-orang sewaktu Ramadhan
kepada Ubay bin Kaab dan Tamim al-Dari
dengan 21 rakaat, mereka membaca 200 ayat, dan selesai ketika awal fajar
(tiba).
Ada dua
hal yang bisa kita cerna dan simpulkan terkait dengan hadis ini.
Pertama, Meski
sama-sama berasal dari riwayat Muhammad
bin Yusuf dari Said bin Yazid tapi
secara dhahir hadis ini bertentangan dengan riwayat-riwayat di atas (sekitar 6
riwayat) yang sama-sama dari Muhammad
bin Yusuf dari Said bin Yazid dengan
redaksinya yang jelas, 11 rakaat.
Kedua, bahwa
Abdurrazak tersangkut permasalahan tafarrada
bil-riwayah (meriwayatkan sendiri) dengan redaksi ini. Meski sanadnya
shahih, tapi 'illah (kecacatan yang tersembunyi) terkait dneagn pribadi
Abdurrazak sendiri. Meski ia dikenal selama perawi tsiqah, hafidz, dan ulama hadis masyhur. Tapi ia di penghujung
hidupnya mengalami kebutaan dan sering tidak stabil dalam meriwayatkan
(berubah-ubah), sebagaiman dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam biografinya di Taqrib Tahdzib
(no. 4064). Ia juga dimasukkan oleh Abu Amru Ibnu Shalah (Muqaddimah ulum
al-hadis: 407) dalam bab "man khalata fi akhir umrihi (siapa yang bercampuraduk
(periwayatannya) di akhir-akhir umurnya". Sebagaimana juga terjadi pada
Imam Ahlusunnah, Ahmad bin Hanbal yang ketika pada akhir hidupnya juga
mengalami kebutaan kemudian ia minta
dibacakan hadis-hadis lewat perantara
orang lain. Sehingga Imam Nasaiy mengatakan, "hadis-hadis yang
diriwayatkan pada saat-saat terakhir
hidupnya (Ahmad bin Hanbal) haruslah diteliti sebelum diterima".
Dan sudah menjadi ketetapan para kritikus hadis
bahwa , seseorang yang terkategorikan sebagai mukhtalitin (bercampuraduk) akan
diambil riwayatnya sebelum ia mengalami masa-masa menophause itu, setelah itu
tidak akan diambil periwayatannya demi menjaga
keotentikan hadis Nabi Saw.
Dalam hal ini, Abdurrazak termasuk kategori di
dalamnya di samping teks riwayatnya
bertentangan dengan riwayat-riwayat lain
yang lebih banyak kuantitasnya.
4. Apa yang diriwayatkan oleh al-Faryabi dalam
"al-Siyam' (1/76) dan Imam Baihaqi dalam Sunan al-Kubra (2/496) dari jalur
Yazid bin Hushaifah dari Saib bin Yazid
yang berkata, "mereka melaksanakan (qiyam al-lail) di bulan
ramadhan pada masa Umar bin Khatab ra. dengan 20 rakaat dan mereka membaca 200
ayat seraya memegang tongkat pada masa Usman ra. saking lamanya berdiri".
Menurut Albani, hadis ini dari segi sanad shahih
dan sering dijadikan sandaran bagi mereka yang mengambil pendapat tarawih
20 rakaat. Tapi jika ditelisik akan
didapati illal (kecacatan) dan bisa merubah statusnya dari shahih menjadi
mungkar. Berikut penelisikan itu:
- Ternyata didapati
statemen dari Imam Ahmad (termasuk
kritikus hadis periode awal) bahwa Yazid bin Hushaifah adalah "munkar
al-hadis". Yaitu hadis yang diriwayatkan secara sendirian oleh
seorang rawi tanpa ada mutabi' (jalur lain pendukung) dan dijadikan
argumen oleh banyak ulama (jamaah-jumhur) seperti Imam Malik. Pun
al-Dzahabi (kritikus periode akhir) memasukkannya ke dalam kelompok
perawi yang harus diteliti ke dalam
riwayat-riwayatnya. Juga Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Hadyu al-Sari
(2/173). Untuk lengkapnya lihat, Abdul Hay Luknawi, al-Raf'u wa al-Takmil
fi al-Jarh wa al Ta'dil, Ed. Abdul Fattah Ghudah, Dar Salam-Kairo h.
202)
- Yazid bin Hushaifah
ternyata termasuk perawi yang
sering terbolak-balik (idhthirab) dalam periwayatnnya. Sebagaimana
distatemenkan oleh Ismail bin Umayyah yang
mendengar langsung dari Muhammad bin Yusuf (keponakan Saib bin
Yazid) ketika bertanya pada Yazid
bin Hushaifah tentang riwayat di
atas yang ia riwayatkan dari dari Saib bin Yazid. Yazid bin Hushaifah
berkata, "aku kira (hasabtu)
ia (Saib bin Yazid) mengatakan: "21 rakaat". Di sini tanpak
ketidakkonsekuenan bin Hushaifah
yang pada riwayat di atas
mengatakan 20, lain waktu 21 Maka tentu kita akan lebih mengambil riwayat
dari Muhammad bin Yusuf yang lebih dekat kepada Saib bin Yazid sebab
kekerabatannya dan kesesuaiannya dengan riwayat Aisyiah di atas daripada
mengambil dari bin Hushaifah yang tidak konsekuen.
Kongklusinya terutama bagi saudara penanya,
Shafie Amhar sanad hadis atau atsar shalat tarawih 20 rakaat banyak yang dhaif (lemah). Meski agak njlimet
penelisikan ini tapi semoga bermanfaat.
0 comments
Post a Comment