BIOGRAFI HAMKA
Namanya adalah Abdul Malik, ayahnya bernama Abdul Karim Amrullah.
Dengan menggabungkan nama dirinya dan nama ayahnya, dia menyebut namanya
sebagai Abdul Malik Karim Amrullah. Setelah dia pulang dari menunaikan ibadah
haji tahun 1927, dia menambah gelar “Haji” didepan namanya, sehingga menjadi
Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang kemudian disingkat sebagai Hamka. Dalam
perjalanan hidupnya sejak pulang menunaikan ibadah haji sampai akhir hayatnya,
nama singkatan Hamka itulah yang lebih populer dikenal masyarakat. Bahkan
banyak warga masyarakat, di Indonesia maupun di tanah semenanjung melayu, yang
mengenal Hamka secara personal ataupun lewat karya-karyanya, namun tidak
mengetahui nama itu adalah akronim dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
Hamka dilahirkan pada tanggal 13 Muharram 1362 H, yang bertepatan
dengan 16 Februari 1908 M, di kampung tanah sirah, termasuk daerah nagari
(desa) sungai Batang, di tepi danau Maninjau yang permai.[1]
Menurut pengakuan Hamka, berdasarkan cerita yang dia terima dari andung-nya
(nenek), ketika dia lahir, ayahnya Syekh Abdul Karim Amrullah Berguman “sepuluh
tahun”. Ketika ditanya apa makna sepuluh tahun itu, sang ayah menjawab:
“sepuluh tahun dia akan dikirim ke mekkah, supaya dia kelak menjadi orang alim
seperti aku pula, seperti neneknya, dan seperti nenek-neneknya yang dulu”.[2]
Selama masa hidupnya, Hamka memiliki dua iklim yang mempengaruhi alam bahwa
sadar beliau, yaitu tradisi keulamaan keluarganya dan gelora gerakan
pembaharuan Islam di daerahnya.
Tahun-tahun ketika Hamka dilahirkan adalah tahun-tahun pergolakan
agama di tanah minangkabau. Lahir suatu gerakan pembaruan Islam yang dikenal
dengan gerakan Kaum Muda. Gerakan Kaum Muda ini kemudian membentuk organisasi Sumatra
Thawalib yang dipelopori oleh empat serangkai: Syekh Taher Jalaluddin, Syekh
Muhammad Jamil Jambek, H. Abdul Karim Amrullah, dan Haji Abdullah Ahmad.[3] Gerakan ini adalah gelombang gerakan kedua yang terdapat di Sumatera
Barat setelah gerakan Padri.
Tahun 1914, Hamka mengawali belajarnya dengan belajar membaca al-Quran
yang dibimbing oleh kakanya sendiri Fatimah. Tahun 1916, ayahnya memasukkan
beliau ke sekolah desa yang masuk pagi, dan sekolah diniyah di pasar ujung
padang panjang yang masuk sore. Pada malamnya Hamka diperintahkan ayahnya untuk
belajar disurau bersama teman-temannya. Begitu masa kanak-kanak beliau yang membuatnya
merasa terkekang dan akhirnya semasa kecilnya beliau dikenal sebagai anak yang
nakal.[4] Pada tahun 1918, ayahnya memasukkan beliau ke sekolah Thawalib
School dengan tujuan agar kelak ia bisa menjadi ulama seperti dirinya. Karena
merasa tertekan oleh ayahnya beliau menjadi anak yang semakin nakal, dan puncak
kenakalan beliau adalah ketika orang tuanya bercerai pada saat beliau berusia
12 tahun.[5] Akhirnya beliau memilih “lari” dari kehidupan ayahnya dengan
merantau ke Jawa. Percobaan pelarian beliau yang pertama kali gagal karena
beliau terserang penyakit cacar ditengah perjalanan. Barulah setelah pada tahun
1924, setelah mendapat restu dar ayahnya secara “terpaksa” dari ayahnya, Hamka
berhasil mewujudkan niatnya.[6]
Selama masa mudanya Hamka merantau ke berbagai tempat, seperti
Yogyakarta dan Pekalongan. Selain itu, ketika beliau merantau, beliau juga
bertemu dengan para tokoh Islam, seperti Ja’far Amrullah , Ki Bagus Hadikusumo
, H.O.S. Cokroaminoto, Suryapranoto, Haji Fachruddin, A.R. Sultan Mansyur (kaka
ipar Hamka yang menikah dengan kakanya Fatimah), Usman Pujoutomo dan Iskandar
Idris. Setelah lama merantau Hamka kembali ke tanah kelahirannya, namun
kembalinya Hamka tidak direspon baik oleh ayah dan para masyarakatnya. Akhirnya
pada tahun 1927, beliau ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut
ilmu agama. Di sana Hamka bertemu dengan H. Agus Salim dan mendapat nasehat
agar ia pulang ke tanah airnya. Seteleh itu, Hamka menuruti nasehat H. Agus
salim dan kembali pulang ke tanah airnya.[7]
Selama hidup Hamka, beliau telah menghasilkan karya-karya yang
sangat banyak. Diantaranya ada yang berupa artikel diberbagai majalah, surat
kabar, dan buku-buku. Antara lain:
1. Karya-karya
beliau telah termaktub di beberapa majalah, seperti Pelita Andalas (terbit di Medan),
Kemauan Zaman (Padang Panjang), Pembela Islam (Bandung), dan Suara Muhammadiyah
(Yogyakarta).
2.
Tarikh
Sayidina Abu Bakar (1929).
3.
Ringkasan
Tarikh Islam (1929).
4.
Adat
Minangkabau dan Agama Islam (1929).
5. Tafsir
al-Azhar. Tafsir al-azhar ini adalah tafsir bi al-ma’tsur. Tafsir ini
disusun dengan menggunakan pola tahlili. Tafsir ini juga termasuk dalam tafsir
corak tafsir adabi al-ijtima’i.
Perlu dicatat bahwa Hamka memiliki corak pemikiran yang khas.
Pertama, sebagaimana sudah dijelaskan bahwa Hamka lahir dalam suatu keluarga
dan dibesarkan dalam lingkungan yang menganut orientasi kegamaan yang berhaluan
modernis. Kedua, dari karya-karya tulis bidang keagamaan terlihat bahwa minat
utama Hamka adalah pada bidang akhlak-tasawwuf dan akidah, dia sangat sedikit
memasuki wilayah pemikiran dalam bidang fiqh.
Hamka menghembuskan
nafas terakhirnya tepat pada pukul 10.41, hari Jumat tanggal 24 Juni 1981,
dalam usia 73 tahun lima bulan.[8] Karya-karya beliau
selama hidupnya telah menjadi saksi atas kapasitas beliau sebagai seorang
ulama, ahli sastra, dan sejarawan. Dua bidang yang disebut pertama telah
mendapat pengakuan resmi daria lembaga pendidikan tinggi di dunia Islam. Pada bulan
Mei 1959, Majelis Tinggi Universitas Kairo memberikan gelar Doktor Honoris
Causa (Ustadziyah Fakriyyah) kepada Hamka atas jasanya dalam
pengembangan studi keIslaman. Kemudian pada tanggal 6 Juli 1974, Universitas
Kebangsaan Malaysia memberikan gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang
kesusastraaan kepada Hamka.[9] Dua gelar yang diterima
tersebut diterima beliau ketika beliau tidak memiliki kedudukan politis apapun
di negerinya.
Yogyakarta, 14 Mei 2013
(Bagi para pengunjung yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai rujukan silakan sertakan nama penulis pada tulisan anda)
[1] Hamka,
Kenang-Kenangan Hidup, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), I:9.
[2] Ibid.
[3] Syekh
Abdul Karim menyebutkan kata neneknya karena latar belakang kehidupan beliau
yang sistem kekeluargaanya menggunakan sistem matrilinial (penarikan garis
keturunan dari pihak si Ibu). Untuk informasi yang lebih luas tentang gerakan
kaum muda dan Sumatra Thawalib lihat B.J.O. Schrieke, Pergolakan Agama Di
Sumatera Barat: Sebuah Sumbangan Bibilografi, terj. Soegarda Poebakawatja,
(Jakarta: Bharata, 1973), hlm 30 dst., Baharuddin Daya, Gerakan Pembaruan Islam:
Kasus Sumatra Thawalib, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990).
[4] Hamka.,
Kenangan…, hlm 24.
[5] Ibid.,
hlm 44.
[6] Ibid.,
hlm 84-90.
[7]
Rusdi Hamka, Pribadi Dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1991), hlm 3.
[8] Ibid.,
hlm 206.
[9] Hamka,
Tasauf Modern, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1977), hlm 8.
0 comments
Post a Comment