Membela Abu Hurairah ra.;
Antara Orientalis dan Semi-Orientalis
Sunnah merupakan inteprestasi
praksis(at-tafsîr al-‘amalîy) atas Quran. Di samping ia juga merupakan
inplementasi riil(al-tathbiq al-waqi’iy) dan ideal(al-mitsaliy) dari Islam.
Nabi saw. merupakan penafsir(interpreter) Quran dan simbol Islam. Hal ini telah
diketahui oleh isteri beliau tercinta, Aisyah ra. Dengan kedalaman pemahaman,
kecerdasan dan interaksinya dengan Nabi saw. Ketika ia ditanya tentang akhlak
Rasul saw., ia menjawab; "Kana khuluquhu al-Quran".
Sedang sahabat sebagai orang yang
pernah berkutat dan bersinggungan dengan Nabi saw. memiliki peran penting
sebagai periwayat pertama, pembawa syariat, atau memberitakan segala hal yang ia
peroleh dari Nabi saw. kepada orang-orang setelah mereka. Dan tidak semua
sahabat sama derajat keilmuannya perihal apa yang dinukil dari Nabi saw. Ada yang kesehariannya
melayani Nabi saw.; seperti Anas bin Malik ra. dan Abu Hurairah ra., juga
mereka yang jauh tempat tinggalnya dengan kediaman Nabi saw., namun tetap aktif
menghadiri majelis keilmuan yang diadakan oleh Rasul. Tetapi Jumhur Ulama
bersepakat bahwa seluruh sahabat adalah adil(‘udûl), baik itu mereka yang
pernah bersinggungan dengan fitnah politik maupun tidak.
Lalu apa hubungannya dua hal di
atas dengan orientalisme? Orientalisme(al-istisyraq) sebagai lawan dari
Oksidentalisme(al-Istighrab)-diskursus timbal balik yang digagas Hasan Hanafi-
merupakan studi ketimuran yang mencakup bahasa, sastra, peradaban, dan
agamanya. Hemat penulis, menyimpul dari definisi Edward Said, orientalisme
adalah droping bangsa asing terhadap Timur dengan ambisi menghegemoni bangsa
Timur. Tidak diketahui secara pasti, siapa ilmuwan barat pertama yang memberikan
perhatian pada studi ini juga tentang limit waktunya. Ditenggarai sebagian
pendeta Barat banyak yang pergi belajar ke Andalusia
pada masa keemasannya. Dan Jerbert adalah alumnus Andalusia
yang kemudian menduduki tahta Paus di Vatikan pada 999 M. Ia menguasai bahasa
Arab, matematika dan astronomi. Langkah Jerbert ini disusul dan dilanjutkan
oleh generasi berikutnya hingga sekarang ini(as-Siba’i:1999:15-16).
Selanjutnya, evolusi, motif, serta
piranti orientalisme dapat kita simpulkan sejalan dengan periodesasi peradaban
Kristen-Barat. Terutama meletusnya perang Salib(crusaide), renaissance Eropa
pada abad 15-16, hingga imperialisme Barat ke Dunia Ketiga(abad 17 hingga awal
20). Motifnya pun bermacam, mulai dari agama(harmonisasi antara Kristenisasi
dengan orientalisme), riset ilmiah murni, ekonomi, juga tak lepas dari
kepentingan imperialis-kolonialisme. Yang akhirnya mengerucut orientasi
utamanya pada studi ke-Islaman (Islamic Studies). Seperti yang diakui oleh
Pierrela, orientalis pertama Eropa yang menerjemahkan Quran dengan tujuan
meragukan umat Islam terhadap agama mereka sendiri. Pernyataan Pierrela diamini
oleh Johan Fuck(orientalis Jerman). "Akhirnya (Pierrela) berkeyakinan
bahwa tidak ada jalan lain untuk melawan bid’ah(heretic) ‘Muhammad’ dengan
menggunakan senjata buta, tapi harus disangkal(disanggah) lewat kekuatan ‘kata’
dengan menggunakan alasan-alasan rasional demi meraih kecintaan umat Masehi.
Namun sebelum itu harus(terlebih dahulu) mengetahui pendapat(keilmuan) musuh.
Demikianlah rencana Pierrela dalam menerjemahkan Quran"(Jurnal
ar-Risalah:vol.12,9/2005,77). Maka berangsur-angsur munculah nama-nama
orientalis(mustasyriq) semacam A.J Arberry, Baron Carra de Vaux, HA. R.Gibb, S. Zweimer (orientalis sekaligus misionaris), Ignaz
Goldziher, J.Schacht, dan A.J. Wensinck. Tiga nama terkahir sangat berkaitan
dan populer dalam kajian Hadis Nabi saw. Mereka pun mendirikan pusat-pusat
studi Islam di Barat, selain menerbitkan buku dan jurnal kajian keislaman
seperti ‘Islamic World.’
Sisi lainnya, tentu kita tak bisa
menampik kontribursi positif dari hasil kajian para orientalis ini seperti Mu’jam
al-Mafahras Li Alfazh al Hadis al Syarif oleh Wensinck dkk. Sebuah
literatur ensikopedia yang mencakup kitab hadis enam yang terkenal itu(kutub
as-Sittah al-Masyhurah). Ditambah dengan Musnad al-Darimi, al-Muwaththa’ Imam
Malik, dan al-Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Artinya, dalam tataran objektivitas
studi yang mereka lakukan atas khazanah keislaman dapatlah kita terima, meski
tidak memuaskan. Tapi kita sebagai umat Islam harus selalu memiliki jiwa
kritis-objektif sehingga tidak mudah terjebak dan tertipu dalam pengagungan
yang menjebak dan nilai-nilai ilmiah konstruktif yang menipu. Sesuai dengan
adagium yang kerap didengungkan, "al-hikmah dhallatu’l muslim anna wajadah
akhdzaha." Hikmah itu adalah mutiara yang hilang dari setiap individu
Muslim. Maka, dimana(dan darimana)pun ia datang, ia berhak untuk memungutnya
kembali.
Berkaitan dengan bahasan kita kali
ini, disamping kontribusi positif di atas, para orientalis juga banyak yang
melakukan hal-hal yang tidak benar seputar hadis Nabi saw. Dapat dipahami ,
karena satu garapan dari orientalisme adalah pribadi Nabi saw. Mau tidak mau,
menyerang atas diri dan sunnah Nabi saw. harus dilakukan. Termasuk di dalamnya
para sahabat dan tokoh hadis seperti Abu Hurairah ra. dan Imam az-Zuhri.. Sebab
para orientalis mengetahui bahwa fondasi entitas umat Islam dan agama mereka
adalah Quran dan Sunnah.
Goldziher (Orientalis Yahudi
Hongaria) dalam "Muhammedanische Studien", secara eksplisit
menyimpulkan bahwa Hadis Nabi saw. tidak ada atau muncul pada masa kenabian.
Namun baru muncul pada abad ke-I dan 2 H yang lahir dari dialektika religius,
politik, dan sosial waktu itu. (as-Siba’i:1998:183-187). Dr. Musthafa As-Sibai
mencounter pendapat Goldziher tersebut dalam bukunya as-Sunnah wa Makanatuha fi
al-Tasyri’ al-Islami dengan mengatakan: "Kita tidak tahu mengapa dia
sebegitu berani mengatakan hal tersebut. Sementara periwayatan-periwayatan
valid(al-nuqul al-tsabithah) tidak membenarkan hal itu. Padahal sebelum Rasul
saw. mangkat, beliau telah meletakkan dasar bangunan Islam secara sempurna
berdasar apa yang diturunkan Allah dalam kitab-Nya dan apa yang telah beliau
gariskan dalam sunahnya: syariat-syariat serta hukum-hukum yang sempurna.
Beliau bersabda: "Aku telah meninggalkan untuk kalian dua hal. Jika kalian
berpegang teguh pada keduanya, niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu
Kitabullah (Quran) dan Sunahku (Hadis)." Sabda lainnya:"Laqad
taraktum ‘ala al-hanafiyyah al-samhah, lailuha kanahariha"(Aku telah
meninggalkan kalian dalam agama yang kokoh dan toleran). Sebagaimana juga ayat
Quran yang terakhir surat
al Ma’idah ayat 3 tentang kesempurnaan agama ini. Artinya, Rasul wafat ketika
Islam itu telah matang(dewasa) secara sempurna bukan lagi ‘anak-anak’
sebagaimana yang dikatakan oleh orientalis ini( Goldziher). Memang karena
perluasan daerah Islam, para pembuat hukum Islam menghadapi berbagai perkara
parsialistik serta kasus-kasus yang(sebagiannya) tidak memiliki nash dalam
Quran dan Sunnah. Namun mereka mengfungsikan nalar(rasio) mereka melalui metode
analogi(qiyas) dan istinbath(mengeluarkan dan mengambil hukum dari sumbernya)
sehingga mereka bisa menentukan hukum-hukum yang ada. Dalam hal ini mereka
tidak keluar dari frame Islam dan ajaran-ajarannya. Cukuplah anda mengetahui
masa kematangan(nudhuj) Islam itu pada masa awalnya. Dimana Umar ra. mampu
menguasai Imperium Persi(Kisra). Imperium tersbut sebelumnya telah mempunyai
peradaban yang besar, namun Umar mampu untuk mengatur dan mempertahankannya.
Memerintah rakyatnya secara adil, lebih adil dibandingkan dengan pemerintahan
Kisra sebelumnya. Tidakkah anda tahu seandainya Islam itu masih
kanak-kanak(kecil) bagaimana mungkin Umar mampu bangkit dan memikul beban berat
semacam ini.(Ibid., 180). Kongklusinya, periwayatan hadis tidaklah timbul dari
intrik-intrik politik yang ada.
Sedang Joseph Schacht (orientalis
Jerman), mengatakan bahwa isnad adalah bagian dari ‘tindakan sewenang-wenang’
dalam hadis Nabi saw. Hadis-hadis itu sendiri dikembangkan oleh
kelompok-kelompok yang berbeda yang ingin mengaitkan teori-teorinya kepada
tokoh-tokoh terdahulu.(MM. A’zami: 1978:534). Untuk sanggahan terhadap mereka
bisa dibaca lebih pada karya-karya MM. A’zami, dalam "Dirasah fi
al-Hadis an-Nabawi atau Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya."
Terjemah oleh Ali Mustafa Yakub, pustaka Firdaus, Jakarta 2000. Tema lain yang
penting yang sering ditembak oleh para orientalis adalah tentang pemalsuan
hadis (al-wadhu’ fi al-Hadis). Mungkin di lain kesempatan kita bisa
membahasnya.
Yang patut disayangkan, sebagian
cendekiawan muslim banyak yang terpengaruh oleh pemikiran Orientalis yang
tendensius ini, mengambilnya dengan tanpa memfilternya. Seperti Ahmad Amin
dalam Fajr al-Islam dan Dhuha al-Islam yang terang-terangan menukil Goldziher.
Juga Muhammad Abu Rayyah yang disebut Dr. Musthafa Sibai sebagai
semi-orientalis, terutama dalam bukunya yang berjudul Adhwa’ ‘Ala as-Sunnah al-Muhammadiyah
. Selain itu ada juga semi-orientalis lain yang khusus mencela dan menuduh yang
bukan-bukan terhadap Abu Hurairah, yaitu Abdul Husain Syaraf ad-Diin dalam
bukunya ‘Abu Hurairah’. Kemudian segera dibantah dan diklarifikasi oleh Dr.
‘Ajaj Khatib dengan bukunya, ‘Abu Hurairah Rawiyah al-Islam.’
"Tarjamah" atau Biografi Abu Hurairah
ra.(19 SH-57 H)
Banyak riwayat yang berselisih tentang namanya dan nama ayahnya
hingga mencapai 30 riwayat sebagaimana terekam dalam al-Isabah Ibnu Hajar
al-Asqalani dan Siyar A’lam Nubala-nya Imam Dzahabi. Tetapi pemulis lebih
condong memilih riwayat dari Ibnu Ishak dalam "al-Maghazi" dari
pengakuan Abu Hurairah ra. sendiri. Namanya ketika jahiliyah adalah Abdu Syams
bin Sakhr. Setelah masuk Islam, Rasul saw. menamainya Abdurrahman dan
menjulukinya Abu Hurairah sebab ia menemukan seekor kucing kemudian membawa dan
mendekap dengan lengan bajunya(kummi). Asalnya adalah Yaman(Hadramaut, Arab
selatan) dari kabilah al-Dausi dan masuk Islam dihadapan Thufail bin ‘Amru. Berangkat
hijrah dan sampai ke Madinah pada tahun 7 H, tepat beberapa saat sebelum Perang
Khaibar(Muharram 7 H). Kemudian menjadi pelayan Nabi dan menemaninya
sehari-hari selama 4 tahun. Terhitung 4 tahun sebab Nabi saw. meninggal pada 12
Rabi’ul awwal 11 H/8 Juni 632 M. (mengacu pada Dr.‘Ajaj Khatib:2004:430). Nabi
saw. pun mendoakannya agar ia selalu hafal hadis-hadis yang diterimanya dari
beliau(Shahih al-Bukhari:kitab al-‘ilm:42)
Beliau berperawakan tinggi, berkulit
kecoklatan(adam), dan berjenggot kemerahan. Abu Hurairah(Abdurrahman bin Sakhr
al-Dausi) termasuk sahabat yang tergolong miskin dan sering tinggal dipojok
serambi Masjid Nabawi(ahli shuffah). Ia pernah diutus Rasul dan Umar bin Khatab
ra. ke Bahrain
untuk menyebarkan Islam.
"Aku akan
berdagang dan Allah selalu bersamaku"
Maka sepulangnya
dari Bahrain abu Hurairah pun segera menemui Umar dan malah menyerahkan uang
sekitar 20.000 dirham dari hasil berdagangnya untuk diinfakan ke Baitul Mal.
Demikian menunjukkan kezuhudan dan kesederhanaan Abu Hurairah. Ia juga termasuk
penuntut ilmu yang rajin dan suka bertanya akan sesuatu hal yang tidak
diketahuinya. Gemar menyebarkan ilmunya tersebut kepada orang lain.
Selain itu, Abu Hurairah juga
meriwayatkan dari para sahabat(kibar as-shahabah) diantaranya dari Abu Bakar
ra., Umar ra., Ubay bin Ka’ab, Fadhal bin Abbas bin Abdul Muthalib, Usamah bin
Zaid, Aisyah ra., dan Ka’ab bin Jabir(tabi’in). Sedang sahabat yang
meriwayatkan darinya antara lain: Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Wasilah bin
Asqa’, Jabir bin Abdullah al-anshari, dan Abu Ayub al-Anshari. Dan para tabi’in
dan orang sesudahnya yang meriwayatkan dari Beliau menurut Bukhari sekitar 800
orang. Selain meriwayatkan, orang-orang tersebut juga menulis hadis dari
Beliau. MM. A’zami, pakar hadis kontemporer alumni Azhar dan Cambrigde, dalam
disertasinya menganalisa dan mengumpulkan sekitar 10 orang yang menulis hadis
dari Beliau, disamping tidak menafikan yang lain. Diantaranya Muhammad bin
Sirin dan Hamam bin Munabbih. Manuskrip Hamam bin Munabbih dari Abu Hurairah
ini ditahkik dan dikomentari oleh Dr. M. Hamidullah dan telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris.
Imam Ahmad dalam Musnad-nya(musnad
adalah kitab yang memuat hadis-hadis para sahabat tanpa tercantum
topic(maudhu’) hadis tersebut beserta derajatnya) mengetengahkan sekitar 3848
hadis dari Abu Hurairah, meski terjadi pengulangan redaksi. Imam Baqi bin
Mukhalid mencatat sekitar 5374 hadis dalam Musnad-nya. Sedang dalam Shahihain,
Imam Bukhari dan Muslim bersepakat untuk sekitar 325 hadis. Adapun yang sesuai
dengan syarat yang diajukan Bukhari sekitar 93 hadis dan yang sesuai dengan
syarat yang diajukan Muslim sekitar 189 hadis.(Ajaj Khatib:2004:431)
Ibnu al-Madini(tabi’in) mengatakan
bahwa jalan periwayatan yang paling valid hingga Abu Hurairah adalah; Hamad bin
Zaid dari Ayub dari Muhamamd bin Sirin dari Abu Hurairah. Dan ada sekitar 8
jalan periwayatan yang paling valid lainnya sesuai dengan yang dirangkum oleh
Muhadis Syekh Ahmad Muhammad Syakir dari Musnad Abu Hurairah yang merupakan
bagian dari kitab al-Musnad-nya Imam Ahmad.
Abu Hurairah meninggal pada tahun 57
H semasa dengan wafatnya Aisyah ra. menurut pandapat yang paling valid dari
Ibnu al-Madini yang diamini oleh Ibnu Hajar al-Asqalani.
Tuduhan Orientalis dan Semi-Orientalis Terhadap Abu
Hurairah ra. serta Otokritik
Abu Hurairah ra. seorang shaabat yang mulia pun tak luput dari
fitnah para orientalis dan semi-orientalis. Sahabat yang paling banyak
menghafal hadis Rasul saw. ini ingin digugurkan validitasnya oleh mereka. Maka,
mereka saling bergantian dalam menghujat, mencemooh, bahkan melemparkan tuduhan
yang tidak berdasar sama sekali. Tuduhan-tuduhan(syubhat) itu dapat dikumpulkan
menjadi sekitar sepuluh buah oleh Ajaj Khatib dalam bukunya as-Sunnah Qabla
al-Tadwin dan ‘Abu Hurairah Rawiyah al-Islam. Seperti Abu Hurairah dan
banyaknya hadis yang ia riwayatkan, kenapa bukan Aisyah, istri Nabi saw.? Abu
Hurairah dan pemalsuan hadis Nabi saw. Abu Hurairah dan pemihakan terhadap
Syiah?(pendukung Ali ra.) Dan apakah betul para sahabat menganggap Abu Hurairah
berbohong dan menolak beliau?
Kenapa Abu Hurairah ra. terkenal
menjadi periwayat terbanyak, sedang masa bersinggungannya dengan Rasul hanya
sebentar?
Di dalam bukunya
‘Abu Hurairah’, Abdul Husain Syaraf ad-Din menuduh dan menyatakan: "Ini
merupakan studi kehidupan seorang sahabat yang meriwayatkan hadis dari
Rasulullah saw. Lalu karena ia terlalu banyak meriwayatkannya hingga
‘berlebih-lebihan’. Darinya kemudian para perawi shahih meriwayatkan dalam
seluruh musnad mereka. Namun dari mereka juga terlalu banyak meriwayatkan(darinya),
sehingga berlebih-lebihan juga. Maka tak ada cara lain bagi kita dihadapan
"sikap dualisme yang berlebih-lebihan ini", kecuali harus dicari
asalnya karena secara langsung ia berkaitan dengan kehidupan keberagaman kita
dan rasionalitas. Jika hal itu tidak kita lakukan, berarti kita telah melampaui
batas dan melewatkan sumbernya kepada hal yang tidak penting bagi kita; yang
mengganggu pemandangan kritis terhadapnya"(Ajaj Khatib:1982: 160)
Di sini kita melihat bahwa Abdul
Husain menuduh Abu Hurairah sebagai orang yang terlalu berlebih-lebihan dalam
meriwayatkan hadis Nabi saw. Memang dari sekian sahabat Abu Hurairahlah yang
terbanyak meriwayatkan hadis. Sejak kehadirannya dari Yaman ke Madinah
al-Munawwarah, beliau memang tidak pernah meninggalkan Nabi saw. Bahkan beliau
memakan makanan yang dimakan oleh Nabi saw. Selang beberapa tahun saja, ia
mampu menghafal sekitar 5.374 hadis Nabi saw. Namun, bukan berarti ia
sembarangan dalam menghafal sekian banyak hadis tersebut. Setidaknya ada 5
faktor yang menyebabkan beliau mampu menghafal banyak hadis Nabi saw.:
1. Ia senantiasa
mengikuti Nabi saw., baik ketika Rasul bepergian maupun ketika menetap(tidak
keluar) dan Abu Hurairah tidak memiliki pekerjaan selain bergelut dengan Nabi
saw. Sebuah riwayat dari Sa’ad bin al-Musayyab bahwa Abu Hurairah
berkata:"Mereka mengatakan bahwa Abu Hurairah telah banyak meriwayatkan
hadis, demi Allah, tunggulah saatnya. Mereka juga berkata:"Kenapa
orang-orang Muhajirin dan Anshar tidak meriwayatkan hadis seperti hadis-hadis
yang diriwayatkannya? Aku akan memberitahukan kepada kalian(kata Abu Hurairah).
Para sahabatku dari kaum Anshar, mereka sibuk
mengurusi tanah-tanah mereka, sedang sahabat-sahabatku dari kaum Muhajirin ,
mereka sibuk berdagang. Dan aku senantiasa menemani Nabi saw. untuk memenuhi
perutku. Jadi aku dapat melihat jika mereka tidak berada dekat Nabi saw. dan
aku hafal jika mereka lupa. Suatu ketika Nabi saw. bersabda: "Siapa
diantara kalian yang merentangkan pakaiannya dan mengambil perkataanku ini
kemudian dikumpulkannya di dadanya, maka ia tidak akan lupa selama-lamanya.
Kemudian aku merentangkan ‘sorbanku’ sampai Rasulullah saw. selesai
berkata-kata, lalu ku kumpulkan(aku taruh sorban itu) ke dadaku, sehingga aku
tidak lupa sedikit pun perkataan yang diucapkan Nabi saw. kepadaku hari itu.
Kalau bukan karena dua ayat yang diturunkan oleh Allah di dalam kitab-Nya, aku
tidak akan menceritakan apapun selamanya,(yaitu ayat Quran) "Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa
keterangan-keterangan(yang jelas dan petunjuk), setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat
(pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat. Kecuali mereka yang telah
bertaubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan(kebencian), maka terhadap
mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Panerima taubat lagi
Maha Penyayang".
2.
Kecerdasannya, cintanya pada ilmu pengetahuan dan ketekunannya terhadap hadis.
Abu Hurairah ra. memang diberikan kecerdasan alami oleh Allah Swt. Sehingga apa
yang dihafalnya tidak lupa. Selain itu, beliau pernah berdoa agar ilmunya tidak
mudah dilupakan. Ibnu Hajar dalam biografinya tentang Abu Hurairah ra.
menyebutkan sebuah riwayat bahwa seorang laki-laki datang menghadap Zaid bin
Tsabit ra. dan bertanya kepadanya. Zaid berkata kepadanya:"Datanglah
engkau kepada Abu Hurairah". Aku,(kata Zaid), ketika berada dengan Abu
Hurairah dan si fulan di dalam masjid untuk berdoa dan berdzikir kepada Allah, tiba-tiba
datang kepada kami Rasulullah saw. Segera
Ia duduk dengan kami. Kemudian
kami berhenti sebentar. Lalu beliau bersabda:"Lanjutkanlah apa yang kalian
lakukan tadi". Kemudian Zaid berkata:"Maka, aku dan kawanku itu
berdoa dan Rasulullah saw. mengaminkannya." Kemudian Abu Hurairah ra.
berdoa:"Ya Allah aku memohon kepada-Mu seperti apa yang dipinta oleh kedua
kawanku tadi, dan aku memohon satu ilmu yang tidak dilupakan". Lalu Nabi
bersabda:"Amin!" Lalu kami berkata:"Kami juga memohon ilmu yang
tidak dilupakan". Nabi saw. bersabda:"Kalian telah didahului oleh
‘Anak Dusi ini’(yaitu Abu Hurairah yang berasal dari suku Dausi)
3. Abu Hurairah
mengetahui banyak para sahabat senior, mengambil riwayat apa yang tidak sempat
didengarnya dari Rasul saw. seperti yang dibahas dan disinggung di atas.
Sehingga dia dapat merengkuh segala yang telah lalu darinya, selain juga
meluaskan khazanah riwayatnya.
4. Abu Hurairah
ra. memiliki usia yang panjang setelah wafatnya Nabi saw. selama sekitar 47
tahun. Selama itu pula ia menyebarkan hadis kepada manusia, dan tidak ada
kegiatan apapun yang menghalanginya. Dan orang-orang bersaksi ketika ia
menyebarkan hadis kepada mereka setelah wafatnya Nabi saw. bahwa ia memang
mendengarnya dari Nabi saw. atas apa yang mereka tidak dengar. Dari Malik bin
Abu Amir ia berkata: "Seorang laki-laki datang menemui Thalhah bin
Ubaidillah, lalu berkata:"Hai Abu Muhammad, bagaimana menurutmu si Yaman
ini(maksudnya Abu Hurairah), dia lebih tahu tentang hadis Rasulullah dari
kalian? Kami mendengar dari mereka apa yang tidak kami dengar dari kalian ,
atau dia berkata-kata atas nama Rasulullah saw. dengan apa yang tidak
dikatakannya. Lalu Thalhah berkata:"Bisa jadi ia mendengar dari Rasulullah
saw. apa yang tidak kami(kita) dengar, maka aku tidak meragukannya. Memang dia
telah mendengar dari Rasulullah saw. apa yang tidak kami dengar. Karena dia itu
miskin, tidak punya apa-apa, tamu Rasulullah saw., tangannya bersama
Rasulullah, sedang kami adalah orang-orang yang memiliki rumah juga kaya. Dan
kami mendatangi Rasulullah di akhir hari(sore) saja, maka tidak diragukan dia
telah mendengar dari Rasulullah apa yang tidak kami dengar. Dan kami tidak
menemukan seseorang yang memiliki kebaikan mengatakan atas nama Rasulullah apa
yang tidak beliau katakan".
Menurut Abu Isa at-Tirmidzi ini adalah hadis hasan gharib, kita tidak
mengetahuinya kecuali lewat jalur hadis Muhammad bin Ishak. Hadis ini juga
telah dikeluarkan oleh Imam al-Hakim, dan dia berkomentar bahwa hadis ini
adalah shahih berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Imam Dzahabi
berkata:"hadis ini shahih berdasar syarat Muslim."
Masalah yang sangat menonjol
memang dari diri Abu Hurairah ra. adalah kekuatan hafalan dan daya ingatnya.
Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa ketika ia baru memeluk Islam
hafalannya tidak begitu baik. Kemudian ia mengadukannya kepada Rasulullah. Nabi
saw. pun bersabda padanya:"Iftah kisa’aka fabaasithhu"(buka pakaianmu
dan rentangkanlah). Kemudian Nabi saw. berkata lagi kepadanya:"Dhummahu
ila shadrika"(Lalu dekaplah pakaian itu). Kemudian ia mendekap pakaiannya
tersebut. Setelah itu ia tidak lupa satu hadispun.
Kisah merentangkan pakaian
tersebut banyak dikeluarkan oleh para Imam hadis seperti Bukhari, Muslim, Imam
Ahmad, an-Nasa’i, Abu Ya’la al-Musoli dan Abu Nu’aim dalam Hilliyah
Auliya’-nya. Dan klaim Goldziher bahwa kisah tersebut ‘palsu’ yang dibuat oleh
orang awam sebagai legitimasi atas banyaknya hadis Abu Hurairah ra. merupakan
‘rekaan belaka’, ‘takhayul’, yang tidak dapat diterima oleh ilmu dan fanatisme
yang ‘diwahyukan’ oleh ‘kelaliman Yahudi’ terhadap seorang sahabat besar; yang
banyak meriwayatkan hadis Rasulullah saw. Saya tidak tahu, kata Dr. as-Sibai,
apa dalil-dalil ilmiahnya yang menyatakan bahwa kisah-kisah tersebut
dibuat-buat. Apakah dia menemukan teks-teks historis yang mendukung klaim
tersebut, sampai dia mendustakan para Imam Hadis yang menukil(meriwayatkan)
kisah tersebut dan men-tsiqah-kan para rawinya?(as-Siba’i:36)
Padahal para sahabat dan
tabi’in telah mengakui keunggulan Abu Hurairah ra., sebagaimana riwayat
pengakuan Thalhah tadi. Selain itu Ibnu Umar ra. menyatakan:"Abu Hurairah
khairun minni wa a’lamu bimaa yuhadditsu"(Abu Hurairah lebih baik dan
lebih tahu dari aku tentang apa yang dia katakan(hadis))
Imam Syafi’i
berkomentar:"Abu Hurairah ahfazhu man rawa’l-haditsa fi dahrihi"(Abu
Hurairah adalah orang yang paling hafal diantara orang-orang yang meriwayatkan
hadis di zamannya). Imam Bukhari pun mengakui bahwa dia (Abu Hurairah) adalah
orang yang paling hafal diantara orang-orang yang meriwayatkan hadis di
masanya. Pengakuan serupa datang dari al Hakim(pemilik al-Mustadrak ‘Ala
Shahihain), Abu Sa’ad bin Abu al-Hasan al-Bashri(saudara Hasan al-Bashri,
tabi’in masyhur) dan Ibnu Hajar(pemilik Fath al-Bari ) yang setelah memaparkan
kisah perentangan pakaian tadi berkata:"Wa al-haditsu al-madzkuru min
‘alamati an-Nubuwwah, fainna Aba Hurairah kana ahfazha an-nasi li’lahaadits
an-Nabawiyyah fi ‘ashrihi"(Hadis itu merupakan salah satu ciri kenabian.
Abu Hurairah adalah orang yang paling hafal terhadap hadis-hadis Nabi saw.)
5. Tidak
diragukan bahwa kelebihan yang dikaruniakan kepada mereka kaum Arab adalah
kekuatan hafalannya. Begitu juga dengan Abu Hurairah ra. dan sahabat lain.
Bagaimana Aisyah mampu menghafal banyak syair Arab Jahiliyyah yang begitu
banyak. Bagaimana Abu Bakar ra. mampu menghafal nasab keturunan nenek
moyangnya. Lalu bagaimana dengan kekuatan hafalan Ibnu Abbas ra.(Hibr
al-Ummah), penafsir Quran yang handal itu. Saya(penulis) teringat dengan kuliah
beberapa waktu yang lalu ketika Dr. Thaha Khulwah(dosen mata kuliah ilmu
riwayat wa Jarh wa Ta’dil) menceritakan tentang gurunya, seorang ulama Azhar
sekitar tahun 1960-an, yaitu Syekh Ali Ahmadain yang mengarang kitab Dhui’
al-Qamar ‘Ala Nukhbah al-Fikr(sebuah komentar atas kitab teori Musthalah
Hadis-nya Ibnu Hajar). Ia mampu menghafal seluruh nama muridnya yang berjumlah
sekitar 130-an dalam kelas kuliahnya. Nama-nama mereka beliau hafal dalam
perjumpaan kelas pertama awal kuliah.
Maka, apa yang diklaim oleh
Goldziher sebenarnya klaim yang berasal dari hati yang busuk dan tidak memiliki
dasar. Sehingga ia melontarkan hal yang bukan-bukan kepada para tokoh ahli
hadis seperti Abu Hurairah ra., Imam az-Zuhri, Imam Bukhari, Muslim, , juga
Imam Ahmad. Seandainya usahanya ini berhasil mendapat respon besar dari umat
Islam, maka gugurlah seluruh validitas para Imam besar tersebut. Pada
gilirannya, seluruh riwayat yang berasal dari para Imam tersebut layak untuk
diragukan dan dipertanyakan. Tapi nyatanya tidak demikian. Sebab dasar
Goldziher merupakan tujuan tendensius untuk menghancurkan Islam, maka usahanya
berakhir amburadul.
Abu Hurairah ra. tidak menulis hadis?
Tema ini adalah kesekian tema dari apa yang dilontarkan oleh para
orientalis. Juga termasuk dari 5 tuduhan yang dilontarkan oleh Ahmad Amin dalam
bukunya Fajr al-Islam kepada Abu Hurairah.ra., 5 tuduhan tersebut adalah;
Pertama, sebagian sahabat-seperti Ibnu abbas dan aisyah-menolak hadisnya dan
mendustakannya. Kedua, dia tidak menulis hadis. Ketiga, dia tidak hanya
meriwayatkan dari apa yang ia dengar dari Rasul saw., namun ia juga
meriwayatkan dari selain Nabi. Keempat, sebagian sahabat banyak mengkritik dan
meragukan kejujurannya. Kelima, mazhab Hanafi(al-Hanafiyah) meninggalkan hadis
yang diriwayatkannya jika berkontradiksi dengan qiyas(analogi). Keeenam, para
penulis hadis palsu memanfaatkan banyaknya periwayatan hadis Abu Hurairah,
kemudian mereka berkata dusta terhadapnya melalui banyak hadis yang tak
terhitung jumlahnya. Namun kita hanya akan menaggapi tema yang kedua seputar
Abu Hurairah dan penulisan hadis. Tema ini juga akan menjawab pertanyaan kenapa
ia tidak pernah diriwayatkan sebagai sekretaris Nabi saw.
Awal problem ini muncul dari riwayat
Abu Hurairah, dimana ia berkata: "Tidak ada seorangpun yang mengetahui
hadis Nabi saw. yang kuriwayatkan, kecuali orang yang menerima hadis dari
Abdullah bin Amr, sebab ia menulis dengan tangannya sendiri dan menghafalnya,
sedang saya hanya menghafal saja dan tidak menulis".(Musnad Imam
Ahmad:2:403, Shahih al-Bukhari:kitab al-‘ilm:39). Abdullah bin Amr juga mengatakan bahwa Abu Hurairah tidak
menyimpan buku-buku hadis dan juga tidak menulisnya.
Tetapi pada masa-masa belakangan Abu
Hurairah menuturkan bahwa beliau mempunyai kitab-kitab Hadis. Seperti dalam
riwayat kisah yang diriwayatkan oleh al-Fadhl bin Amr bin Umayyah al-Dhamri, ia
diberitahu ayahnya; kata ayahnya, "Saya membicarakan suatu hadis dengan
Abu Hurairah, tetapi Abu Hurairah memungkiri hadis itu. Saya katakan hadis ini
saya dengar dari anda. Jawab Abu Hurairah, "Bila kamu mendengarnya dari
saya pasti hal itu tertulis dalam kitabku". Lalu beliau memegang tanganku
dan menarikku menuju kamarnya, sayapun ditunjukkan kitab-kitab yang banyak
jumlahnya yang berisi hadis-hadis rasulullah saw.. Dan ternyata benar. Hadis
tersebut ternyata ditemui dalam kitabnya. Lalu beliau berkata lagi, "Sudah
saya katakan, saya pernah menyampaikan hadis itu kepadamu, maka hal itu akan
terdapat(tertulis) di sini". Tetapi Imam Dzahabi dan Ibnu Abd- al-Barr
membantah keshahihan riwayat ini. Sebab bertentangan dengan riwayat di atas dan
hanya Abdulah bin Amr yang menulis hadis. Dan menurut para ahli hadis, riwayat
yang pertama tentang tidak menulisnya Abu Hurairah lebih shahih. (Jami al
Bayan:1:74), Fath al-Bari:1"215 dikutip MM A’zami:1980:138).
Sebenarnya tidak ada kontradiksi
antara dua riwayat tersebut, tetapi dapat dikompromikan. Sebab Abdullah bin Amr
menulis hadis di hadapan Nabi saw. semasa hidupnya, sedang Abu Hurairah pada
saat itu tidak menulis hadis. Maka mungkin sekali Abu Hurairah menulis hadis
pada masa belakangan kemudian disimpannya.(Ibid., 138). Pendapat ini juga
dikuatkan dengan banyaknya shahifah(manuskrip tertulis) yang disandarkan pada
Abu Hurairah atau orang-orang yang menulis hadis dari beliau, seperti Abu
Shalih bin Samman yang kemudian naskahnya disalin oleh al-‘Amasy(tabiin
masyhur), Basyir bin Nahik, Muhammad bin Sirin(tabi’in)dan manuskrip Hammam bin
Munabbih yang telah disinggung di atas.
Adapun bantahan yang diajukan oleh
Musthafa as-siba’I, bahwa sebagian ulama lebih mengutamakan riwayat yang
seorang rawi menghafalnya tetapi tsiqah dan benar daripada riwayat yang
tertulis tapi penuh dengan kesalahan. Hingga ulama Ushul fikih pun jika
mendapati dua dalil atau dua hadis yang bertentangan: satunya riwayat yang
didengar(masmu’) dan yang lain maktub(tertulis), maka yang masmu’-lah yang
lebih dirajihkan. Sebagimana Imam Amidi dalam Ihkam fi Ushul al-Ahkam.
Ditambahkannya, bahwa apa yang dilontarkan oleh semi-orientalis Ahmad Amin dan
para orientalis lainnya seperti Schacht dan Goldziher dalam masalah ini adalah
purbasangka yang tidak berargumen kuat.(as-Sibai:270-271)
Kongklusinya, Abu Hurairah lebih
mengutamakan hafalan dalam periwayatannya pada masa Nabi dan memungkinkan besar
beliau untuk menuliskannya pada masa-masa belakangan setelah Quran
dikodifikasikan. Demikian tesis yang diajukan Prof. A'zami. Sebab seperti yang
kita ketahui, ia pergi berdakwah keluar Madinah sepeninggal Nabi, menyebarkan
Islam, mau tidak mau kemungkinan besar di sini ia akan menuliskan hadis kepada
orang atau orang menulis hadis darinya.
Dan dia tidaklah menjadi sekretaris
Nabi, seperti para penulis wahyu lainnya. Sebab tidak ada riwayat dalam hal
itu, melainkan riwayat yang menjelaskannya sebagai pelayan(khadim) Rasul. Para penulis wahyu atau sekretaris Nabi seperti Zaid bin
Tsabit, Abdullah bin Rawahah, Abu Hudhaifah, Ubay bin Ka’ab, dll. sekitar 50
sahabat, satupun tidak tergolongkan ke dalam periwayat hadis terbanyak
sebagaimana Abu Hurairah ra., Aisyah
ra., Anas bin Malik, dan Abdullah bin Umar. Malah Ibnu Abbas ra.(shighar
shahabat, sahabat muda) yang juga tidak menjadi sekretaris Nabi tapi menjadi
sahabat yang banyak meriwayatkan hadis sebab persinggungannya yang luas dengan
para sahabat yang tua atau besar. Maka, seorang sahabat yang menjadi sekretaris
Nabi tidak mengharuskannya sekaligus untuk menjadi periwayat hadis yang banyak.
(Untuk jelasnya lihat, MM. A’zami, The History of Quranic Text, From Relevation
To Compilation. A Comparatine Study with the Old and New Testament, terjemah
dan diterbitkan oleh GIP, 2005)
Menjadi pembantu Nabi lebih
memungkinkan bagi Abu Hurairah untuk memperoleh riwayat hadis yang banyak. Baik
itu dari para istri Nabi, terutama Aisyah dan para sahabat lain yang beliau
temui bersama Nabi saw. Sampai Aisyah pun menyuruh orang dalam suatu riwayat
untuk menanyakan suatu masalah yang ia tidak menahu tentangnya pada Abu
Hurairah selain itu juga banyak membenar-kuatkan riwayat darinya.
Kelebihan beliau ini juga tidaklah
terkontaminasi oleh unsur dan permainan sosio-politik. Sebab sebagaimana yang
kita ketahui dari riwayat, bahwa ketika fitnah politik pada masa Usman bin
affan ra. dan Ali ra., Abu Hurairah menjauh dari peristiwa tersebut dengan
malah berdiam di rumah Usman, mengasuh anak beliau yang masih kecil. Anak
beliau inilah nantinya yang mengantar jenazah Abu Hurairah menuju pemakamannya
di Baqi’, Madinah. Mungkin sebelumnya ia telah mengetahui hadis dari Nabi saw.
yang berbunyi:"Satakunu fitan, al-qa’id fiiha khairun min
al-qa’im"(akan datang fitnah pecah belah itu, ia yang duduk berdiam lebih
baik dari mereka yang berbaur didalamnya). (Ajaj Khatib:418 menukil riwayat
dari Siyar A’lam Nubala Imam Dzahabi:2:441))
Epilog.
Demikian sedikit ulasan dan
pembacaan penulis terhadap Abu Hurairah ra. dan sekitar problematika yang
dilontarkan mereka para orientalis dan murid-muridnya seputarnya. Tema-tema
lain seputarnya mungkin bisa dibahas di lain kesempatan. Sebab kita mau ujian
semesteran. Maka kritik dan saran sangat dinanti, hingga konstruksi tulisan ini
lebih kuat dan lebih kaya lagi. WallAhu a’lam bi al-Shawwab.
(Bagi para pengunjung yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai rujukan silakan sertakan nama penulis pada tulisan anda).
0 comments
Post a Comment