RINGKASAN KITAB Kaifa Nata‘āmmal Ma‘a al-Sunnah
al-Nabawiyah
Oleh: Fikri Noor Al Mubarok
Pendahuluan
Sunah adalah wahyu yang kedua. Ialah penjelas bagi Quran dan
sebagai sumber kedua dari penetapan hukum Islam. Oleh sebab itu mengamalkan
sunah adalah kewajiban bagi setiap muslim. Namun pada zaman sekarang ini kaum
muslimin agak melenceng dalam mengamalkan sunah. Sehingga Dr. Yusuf Qardawi atas
permintaan dari al-Mah‘ad al-‘Alami Li al-Fikr al-Islāmī membuat buku
yang berjudul Kaifa Nata‘āmmal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyah. Buku ini
secara umum menjelaskan tentang prinsip-prinsip dasar dalam berinteraksi dengan
sunah, baik dalam pandangan ahli fikih maupun ahli dakwah. Buku ini juga
menjelaskan karakteristik serta peraturan umum dalam memahami sunah dengan
pemahaman yang benar. Untuk lebih jelasnya disini akan dipaparkan garis besar
pembahasan dari buku yang telah beliau tulis ini.
Pembahasan
Seperti dikemukakan diatas bahwa sunah adalah penafsir/penjelas
bagi Quran dalam praktek atau penerapan ajaran Islam. oleh sebab itu, siapa
saja yang ingin mengetahui tentang metodologi praktis (manhaj) Islam dengan
segala karakteristiknya dan pokok-pokok ajarannya, maka hal itu dapat
dipelajari secara rinci dan aktual dalam sunah nabawiyah, yakni ucapan,
perbuatan, dan persetujuan Nabi saw.
Al-Qardawi mengatakan bahwa sunah Nabi adalah manhaj yang terperinci
bagi kehidupan seorang muslim dan masyarakat muslim. Yaitu manhaj yang
komperhensif, seimbang dan memudahkan. Adalah kewajiban seorang muslim untuk
memahami manhaj nabawi yang terperinci ini, dengan semua ciri khasnya
yang komperhensif, saling melengkapi, seimbang dan penuh kemudahan ini.
Beliau juga menyebutkan bahwa ada prinsip dasar dalam berinteraksi
dengan sunah nabawiyah. Pertama, meneliti dengan seksama kesahihan hadis
meliputi sanad dan matannya. Kedua, memahami nas yang berasal dari Nabi sesuai
dengan pengertian bahasa arab dan dalam rangka konteks hadis tersebut turun (sabab
al-wurūd). Ketiga, memastikan bahwa nas tersebut tidak bertentangan dengan
nas yang lainnya yang lebih kuat kedudukannya, baik itu dari Quran atau dari
hadis-hadis yang lebih kuat. Beliau memperingatkan kepada kita bahwa menerima
hadis-hadis palsu adalah suatu perbuatan yang berbahaya, apalagi jika ada orang
yang menolak suatu hadis sahih hanya karena semata-mata dorongan nafsu, keangkuhan
diri ataupun perasaan lebih pintar. Beliau juga mengatakan bahwa kita harus
benar-benar teliti dalam memahami suatu hadis. Kita tidak boleh tergesa-gesa
memahami suatu hadis sehingga menyebabkan adanya pemahaman yang keliru bahkan
terkadang jika makna tersebut tidak dapat diterima oleh akalnya, ia segera
menolak hadis tersebut semata-mata karena mengandung makna yang tidak dapat diterimanya
itu. Hal ini menurut beliau adalah suatu tindakan yang ngawur!!
Pada bab kedua, beliau menjelaskan beberapa ketentuan-ketentuan
tertentu yang harus diketahui oleh para ahli fikih dan ahli dakwah.
Menurut beliau, para ahli fikih haruslah berpegang kepada sunah
yang sahih, baik dari segi sanad maupun matan. Beliau mengatakan bahwa biasanya
para ahli fikih kurang mengetahui secara mendalam hadis yang dikemukakannya.
Terkadang terdapat hadis yang sebetulnya dianggap tidak dapat dijadikan hujah
menurut ahli hadis tapi hadis tersebut justru dijadikan hujah para ahli fikih
dalam menetapkan suatu hukum. Kemudian beliau memberikan anjuran kepada para
ahli fikih agar lebih mendalami ilmu hadis dengan baik. Ini juga berlaku bagi
ahli hadis yang kebanyakan dari mereka tidak cukup menguasai fikih dan usul
fikih. Karenanya, barang siapa yang ingin mendalami ilmu fikih juga harus mendalami
ilmu hadis sehingga kekurangan-kekurangan yang tersebut dapat tertutupi. Dan
begitu pula sebaliknya.
Dalam bidang dakwah, beliau mengatakan bahwa para da’i yang ingin
menyampaikan suatu hadis hendaknya ia melihat/merujuk terlebih dahulu
kitab-kitab hadis yang mu‘tamad (dapat dijadikan pegangan). Yaitu
kitab hadis yang sudah diakui oleh beberapa ulama berisikan hadis-hadis sahih
yang dapat dijadikan hujah, seperti sahih al-Bukhāri, sahih muslim, sunan Abi
Daud, dll. Al-Qardawi juga mengatakan bahwa seoarang da’i haruslah berhati-hati
dalam berdalil dengan hadis.
Beliau memberikan komentar terhadap pendapat yang menyatakan bahwa
menyampaikan hadis-hadis dhai’f itu boleh selama dalam hal fadhilah,
targhib, tarhib, nasihat-nasihat dan tidak menyangkut masalah halal, haram,
mubah, makruh, dan sunah. Beliau mengutip pendapat Ibnu Hajar bahwa untuk dapat
diterimanya periwayatan hadis yang lemah ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama,
kelemahan tersebut tidak keterlaluan. Kedua, makna hadis tersebut masih dapat
digolongkan dalam suatu tema dasar umum yang diakui. Ketiga, pada saat penerapannya
hendaknya hadis tersebut dipercayai dengan sikap hati-hati. Setelah itu beliau
menambahkan lagi dua syarat yang beliau buat sendiri. Pertama, hadis tersebut
tidak mengandung hal-hal yang amat dilebih-lebihkan sehingga ditolak akal,
syariat atau bahasa. Kedua, hadis tersebut tidak bertentangan dengan suatu
dalil syar’iu lainnya yang lebih kuat dari padanya.
Dalam bab ketiga, dijelaskan beberapa petunjuk dan ketentuan umum
dalam memahami sunah dengan baik. Diantaranya adalah:
1.
Memahami sunah sesuai
petunjuk Quran.
Untuk memahami sunah dengan pemahaman yang benar dan jauh dari
penyimpangan, pemalsuan serta penafsiran yang buruk, maka seharusnya kita
memahami sunah dengan petunjuk Quran. Beliau mengatakan bahwa tidak mungkin ada
suatu hal yang berkedudukan sebagai penjelas (sunah) bertentangan dengan yang
dijelaskan (Quran). Karena itu, tidak mungkin ada suatu hadis sahih yang
kandungannya bertentangan dengan isi Quran yang muhkamat. Untuk itu,
perlu adanya sebuah penelitian tentang keberlawanan suatu hadis dengan Quran.
2.
Menghimpun
hadis-hadis yang memiliki satu tema yang sama.
3.
Al-Jam‘u Wa
al-Tarjīh antara hadis-hadis yang nampak bertentangan.
Dalam hal ini beliau mengambil suatu kaidah “pengkompromian didahuluan
dari pada pentarjihan”. Jadi apabila terjadi pertentangan antara satu hadis
dengan hadis lainnya, maka pertentangan tersebut dapat diselesaikan dengan cara
dikompromikan terlbih dahulu tanpa harus memaksakan penggabungan makna
tersebut, sehingga kedua hadis tersebut dapat diamalkan. Dan jika cara ini
masih belum menyelesaikan pertentangan itu baru pentarjihan itu dilakukan.
4.
Memahami hadis
dengan mempertimbangkan asbāb al-wurūd (latar belakang, situasi dan kondisi
ketika hadis itu diturunkan, serta tujuan diturunkannya suatu hadis).
Dalam ketentuan ini kita diharuskan untuk mengetahui asbāb
al-wurūd dari suatu hadis. Dengan demikian kita dapat terhindar dari
berbagai perkiraan yang menyimpang dan terhindar dari pengertian yang tidak
sesuai dengan apa yang dikehendahi suatu hadis.
5.
Membedakan sarana
yang senantiasa berubah-ubah dan tujuan (maqshad) yang tidak dapat
berubah-ubah.
6.
Membedakan antara
ungkapan yang bermakna hakīkī dan majāzī dalam memahami suatu
hadis.
Kesimpulan
Dari paparan diatas dapat kita simpulkan bahwa ternyata sejak zaman
dahulu sampai sekarang ini terdapat beberapa pemahaman yang keliru mengenai
suatu hadis. Oleh karenanya al-Qaradhawi berusaha agar pemahaman ini dapat
diselesaikan. Buku ini berisi petunjuk-petunjuk bagi setiap kaum muslim yang
mendalami agama Islam agar terhidar dari kesalahan-kesalahan yang terjadi
dimasa lalu bahkan sampai sekarangpun masih ada yang melakukan kesalahan
tersebut. Buku ini juga disampaikan dengan bahasa yang ringan supaya dapat
dikonsumsi oleh khalayak umum. Dengan demikian harapan dari al-Qardhawi inipun
dapat tercapai kepada seluruh jajaran masyarakat. Disamping itu pula
petunjuk-petunjuk yang beliau sampaikan sangatlah bagus, yaitu keharusan
berhati-hati dan ketelitian dalam meniliti hadis sehingga kita mampu
mendapatkan pemahaman yang benar.
Yogyakarta, 20 Juli 2013
(Bagi para pengunjung yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai rujukan silakan sertakan nama penulis pada tulisan anda)
0 comments
Post a Comment