Nama lengkapnya Prof. Dr. Hazairin Gelar Datuk Pengeran, S.H. Dilahirkan di Bukit Tinggi, Sumatra Barat pada tanggal 28 November 1906. Ayahnya Z. Buhari, berasal dari Bengkulu, dan kakeknya bernama A. Bakar, sedangkan ibunya bernama Rasidah berasal dari Minangkabau, etnis yang terkenal taat beragama.[1]
Ayah Hazairin adalah guru, sementara
kakeknya A. Bakar adalah seorang mubalig dan tokoh agama terkenal pada zamannya,
oleh karena itu, sejak kecil beliau tumbuh dalam lingkungan yang cinta kepada
ilmu pengetahuan dan taat beragama, beliau tampil sebagai seorang ilmuan yang
begitu intens terhadap nilai-nilai keagamaan.[2]
Awal pendidikan formalnya dimulai
dari HIS (Hollands Inlandsche School) di Bengkulu dan
tamat pada pada tahun 1920. Setelah tamat dari HIS, beliau kemudian melanjutkan
ke MULO (Meer Uigebreid Loger Onderwijs) di Padang
dan setelah itu melanjutkan ke AMS (Algement Middelbare School) di Bandung,
dan tamat pada tahun 1927. Dari Bandung kemudian Hazairin pindah ke Batavia (Jakarta)
dan melanjutkan pendidikannya di Rechts Hogheschool (Sekolah
Tinggi Ilmu Hukum) dan meraih gelar sarjana pada tahun 1935. Pada 29 Mei 1936
beliau meraih gelar Doktor setelah berhasil mempertahankan desertasinya yang
berjudul De Rejang, yaitu sebuah karya yang membahas adat
istiadat Rejang di Bengkulu. Karya ini merupakan salah satu faktor yang
mengantarkannya sebagai seorang ahli hukum adat.[3]
Namun di sisi lain, sebagai buah
dari pendidikan agama yang beliau terima dari kakek dan ayahnya di waktu kecil,
telah menimbulkan minat besar pada dirinya untuk mendalami ilmu agama, terutama
dalam bidang ilmu fikih. Ketekunannya dalam melakukan telaah terhadap hukum Islam
ini telah menghantarkannya menjadi seorang tokoh intelektual muslim, hal ini
dibuktikannya dengan lahirnya beberapa karya dibidang ini, dan menjadi seorang
ahli hukum Islam dan adat terkemuka di Indonesia.[4]
Dalam kehidupannya beliau memiliki
karir pekerjaan diantaranya:
1.
Tahun
1935, menjadi asisten dari Prof. B. Teer Haar dalam bidang Hukum Adat dan Etnologi
di UI.
2.
Tahun
1948-1942, menjadi PNS di Pengadilan Negeri Sidempuan dan Pegawai Penyidik
Hukum Adat di Tapanuli Selatan.
3.
Tahun
1945-1946, menjadi ketua di Pengadilan Negeri Tapanuli Selatan, merangkap ketua
Komite Nasional Indonesia.
4.
Tahun1946,
menjadi asisten Residen Sibolga, kemudian dipindahkan menjadi wakil Gubernur
Militer Sumatra Selatan.
5.
Tahun
1948, Hazairin memulai karir politiknya ketika ia bergabung kedalam Partai
Indonesia Raya. Lewat partai ini pula Hazairin menduduki jabatan Menteri Dalam
Negeri pada kabinet Ali Sostromidjojo.
6.
Tahun
1950-1953, Hazairin menjabat kepala bagian hukum sipil kemeterian kehakiman
RIS.
7.
Tahun
1950, disamping menjabat sebagai kepala bagian kementerian kehakiman RIS beliau
juga menjadi dosen di UI sesuai dengan keahliannya dan sekaligus sebagai dosen Hukum
Islam pada tempat yang sama.
8.
Tahun
1951, Hazairin mendirikan Yayasan Wakaf Perguruan Tinggi Islam Jakarta (sekarang
UI). Beliau dipercaya menjadi Rektor merangkap sebagai Dekan Fakultas Hukum di
universitas tersebut sampai tahun 1968.
9. Tahun
1952, Hazairin berhasil meraih puncak karirnya dalam dunia pendidikan dengan
diangkatnya sebagai Guru Besar dalam bidang Hukum Adat dan Hukum Islam di UI.
10.
Tahun
1962-1975, Hazairin menjadi Ketua Majelis Ilmiah dan sekaligus anggota Dewan
Kurator IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.[5]
Hazairin wafat pada tanggal 12 Desember
1975 di Jakarta dan dikebumikan dengan suatu upacara militer di taman makam
pahlawan Kalibata, atas jasa-jasanya, pemerintah menganugerahkan kepadanya
empat bintang diantaranya: Bintang Satya Kencana, Widya Sista, Bintang Gerilya dan
Bhayangkara.[6]
Sebagai seorang pemikir muslim di Indonesia,
Hazairin berpendapat bahwa negara dan bangsa Indonesia yang berfalsafat Pancasila
dan berkonstitusi UUD 1945, hanya akan mencapai kebahagiaan, adil dan makmur
apabila mendapatkan keridaan Tuhan yang Maha Esa. Keridaan Tuhan yang Maha Esa itu
baru dapat diwujudkan bila hukum yang berlaku dan diperlakukan di Indonesia adalah
syariat agama atau sekurang-kurangnya hukum yang tidak bertentangan dengan syariat agama.[7]
Dari pemikiran di atas, Hazairin mengecam
habis-habisan theorie receptie,[8]
yang memandang bahwa hukum Islam yang berlaku di Indonesia adalah hukum Islam
yang telah diterima oleh hukum adat, Hazairin menyebut teori ini sebagai “teori
iblis”. Bahkan beliau dengan tegas menyatakan bahwa theorie receptie
merupakan teori yang memusuhi berlakunya hukum Tuhan di bumi Indonesia.[9]
Berkaitan dengan upaya pembaruan
hukum Islam di Indonesia, khususnya mengenai pembagian harta warisan, dalam
bukunya Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an
dan Sunnah, Hazairin berpendapat bahwa pada hakekatnya sistem
kewarisan yang terkandung dalam al-Qur’an adalah sistem kewarisan yang bercorak
bilateral yaitu sistem dimana setiap orang menghubungkan dirinya dalam hal
keturunan kepada ibu dan ayah.[10]
Teorinya itu, meskipun bersumber dari al-Qur’an dan terinspirasi atas fenomena
bentuk kemasyarakatan yang ada di Indonesia yang berdampak pada pembagian harta
warisan, belum banyak dikenal dikalangan masyarakat Indonesia yang umumnya
menganut paham sunni, padahal teorinya ini merupakan sesuatu yang baru.
Sebagai seorang ilmuwan,
Hazairin meninggalkan beberapa buku yang merupakan buah pemikirannya, di antaranya
: Hadist Kewarisan dan Sistem Bilateral, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tujuh
Serangkai tentang Hukum, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis,
Hendak Kemana Hukum Islam, Demokrasi Pancasila, Indonesia Satu Masjid, Pergolakan
Penyesuaian Adat kepada Hukum Islam, dan Hukum Islam dan Masyrakat.[11]
Ditulis oleh: Fikri Noor Al Mubarok
Yogyakarta, 28 Juli 2013
(Bagi para pembaca sekalian yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai rujukan harap sertakan nama penulis).
[1]
Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam, (Djambatan, Jakarta,
1992), hlm 314-315.
[2] Ibid.
[3] Ensiklopedi
Nasional, (Jakarta : PT. Cipta Adi Pustaka, 1989), VI : 374.
[8]Konflik
antara fikih kewarisan dan hukum adat masyarakat Indonesia, bukan semata-mata
karena faktor “kesadaran hukum”. Campur tangan penguasa kolonial Belanda merupakan
unsur penting yang tidak bisa dilepaskan. Sejak akhir abad kesembilan belas
upaya pihak kolonial untuk merenggangkan umat Islam dari agamanya semakin
digalakkan. Orientalis-orientalis Belanda berupaya menunjukkan bahwa hukum
Islam berbeda dan terpisah dari hukum adat (dikenal dengan nama teori receptie).
Mereka tidak mau mempertimbangkan bahwa fikih adalah aturan yang harus
dilaksanakan umat Islam. Teori ini diambil alih menjadi politik hukum
pemerintah kolonial Belanda melalui I.S. 1929: 221. Dalam pasal 134 ditemukan
aturan yang maksudnya, fikih hanya diberlakukan oleh hakim agama Islam (pengadilan
agama) sejauh dikehedaki oleh hukum adat masyarakat tersebut dan sejauh tidak
ditentukan lain dengan suatu peraturan. Sejak saat ini sengketa kewarisan
antara umat Islam diselesaikan oleh pengadilan negeri berdasar hukum adat
(baca: hukum yang bukan Islam). upaya untuk mengubah politik hukum ini telah
diusahakan secara intensif oleh para ulama (organisasi umat islam), tetapi
tidak berhasil sampai kemasa kemerdekaan. Lihat, Al Yasa Abu Bakar, Ahli
Waris Sepertalian Darah, (Jakarta: INIS, 1998), hlm 32.
[10] Hazairin,
Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an
dan Hadis (Jakarta : Tintamas, 1982), hlm 11.
[11] Ibid.,
hlm 315.
1 comments
ijin kovy filnya
Post a Comment