Amina Wadud menganggap bahwa perkawinan yang ideal dan lebih
disukai adalah monogami. Karena dalam poligami menurut Amina Wadud, mustahil
untuk mencapai cita-cita al-Quran berkenaan dengan hubungan mutualis dan
membangun di antara mereka rasa cinta dan kasih sayang, ketika suami yang
merangkap bapak terbagi di antara lebih dari satu keluarga. Dari pendapat Amina
Wadud ini bisa diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya Amina Wadud lebih memilih
monogami daripada poligami dalam kehidupan perkawinan yang “norma”.
1.
Tentang
ayat poligami
Seperti
halnya muslim yang lain, menurut Amina Wadud, satu-satunya ayat yang berbicara
tentang poligami adalah Q.S. an-Nisa (4): 3, yaitu
فانكحوا
ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث و رباع
Ayat
tersebut disayangkan oleh Amina Wadud, karena sering ditafsirkan secara tidak
tepat oleh kebanyakan orang, bahkan disalahpahami, terutama oleh mereka yang
mendukung poligami, sehingga seakan-akan seseorang dibolehkan begitu saja
melakukan poligami tanpa memperhatikan bagaimana konteks ketika turunnya ayat.
Dalam
al-Quran maupun keseharian Nabi saw, memelihara anak yatim atau anak yang
terlantar selalu mendapatkan perhatian yang besar dan dianggap sangat penting.
Perhatikan Q.S. al-Ma’un ayat 1-3 berikut ini:
أرئيت
الذي يكذب بالدين فذلك الذي يدع اليتيم
ولا يحض علي طعام المسكين
Ayat
diatas merupakan sindiran terhadap orang-orang yang tidak mau memperhatikan
nasib dan hak-hak anak yatim dan orang miskin. Bahkan al-Quran menyebutkan
mereka sebagai “pendusta agama”. Izin poligami dalam al-Quran, dalam pandangan Amina
Wadud, sesungguhnya berkaitan erat dengan masalah ini.
Menurut
Ibnu Katsir, sebab turunnya ayat tersebut adalah berkaitan dengan seseorang
yang hendak menikahi perempuan yatim, tetapi ia khawatir tidak dapat berlaku
adil. Ibnu Katsir mengutip hadis yang diuraikan ‘Aisyah ketika ditanya tentang
sebab turunnya ayat an-nisa:3.[1]
أخبرني
عروة بن الزبير أنه سأل عائشة عن قول الله تعالى { وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا
فِي الْيَتَامَى } قالت: يا ابن أختي هذه اليتيمة
تكون في حجر وليها تَشْرَكه في ماله ويعجبُه
مالها وجمالها، فيريد وليها أن يتزوجها بغير أن يَقْسِط في صداقها فيعطيها مثل ما يعطيها
غيره، فنهوا أن ينكحوهن إلا أن يقسطوا لهن، ويبلغُوا بهنَّ أعلى سُنتهنَّ في الصداق
‘Urwah bin
az-Zubair mengabari aku bahwa ia pernah bertanya kepada kepada ‘Aisyah tentang
ayat “wa in khiftum alla tuqsithu fi al-yatama”. Aisyah menjawab: “Wahai anak
saudaraku, perempuan yatim yang berada dalam pengampuan wali ini bersyarikat
hartanya, lalu wali itu takjub akan kekayaan dan kecantikannya, kemudian ia
hendak menikahonya karena terpesona dengan harta dan kecantikannya dengan
memberikan mahar tidak sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, mereka dilarang
untuk menikahinya kecuali mampu berbuat adil dan menyempurnakan (melengkapi)
maharnya.”
Menurut
Amina Wadud, ayat di atas berbicara tentang perlakuan terhadap anak yatim.
Sebagian wali laki-laki, yang bertanggung jawab mengelola kekayaan anak-anak
yatim perempuan, tidak mampu mencegah dirinya dari ketidakadilan dalam
mengelola harta anak yatim. Sesuai firman Allah swt:
وآتوا
اليتامى أَموالهم ولا تتدلوا الخبيث بالطيب ولا تأكلوا أموالهم إلى أَموالكم إنه كان
حوبا كبيرا[2]
Dengan
demikian, menurut Amina Wadud, satu solusi yang dianjurkan untuk mencegah salah
kelola adalah dengan mengawini anak yatim tersebut. Pada satu sisi, al-Quran membatasi
jumlah istri yang dipoligami sampai empat perempuan. Di sisi lain, tanggung
jawab ekonomi untuk menafkahi istri akan sejajar dengan akses ke harta
perempuan yatim melalui tanggung jawab manajemen. Namun, kebanyakan pendukung
poligami jarang membicarakan poligami dalam konteks merawat anak-anak yatim.
2.
Keadilan
sebagai syarat poligami
Bagi
para pendukung poligami, satu-satunya ukuran keadilan diantara istri-istri
adalah materi. Dapatkah seorang laki-laki secara adil menafkahi lebih dari satu
istri? Hal ini merupakan perpanjangan dari gagasan kuno tentang perkawinan
untuk penundukan. Keadilan dalam perkawinan untuk penundukan pada masa turunya
wahyu didasarkan pada kebutuhan perempuan untuk diberi nafkah materi oleh
laki-laki. Laki-laki yang ideal untuk seorang anak perempuan adalah ayahnya,
dan untuk anak perempuan dewasa adalah suaminya.
Menurut
Amina Wadud, keadilan harus didasarkan pada kualitas waktu dan kesamaan dalam
hal kasih sayang, atau pada dukungan spiritual, moral dan intelektual. Berbagai
pengertian umum tentang keadilan sosial ini harus dipertimbangkan sebagai
bagian dari perlakuan adil terhadap para istri. Jadi, Q.S. an-Nisa(4) ayat 3
berbicara tenntang poligami dengan penekanan syarat keadlian, yaitu berlaku
adil, mengelola dana secara adil, adil kepada anak-anak yatim, adil kepada
istri-istri dan sebagainya. Keadilan merupakan fokus dari mayoritas tafsir
modern tentang poligami.
Dengan
mengacu pada firman Allah swt:
ولن
تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء
Amina
Wadud sepakat dengan banyak mufassir yang menegaskan bahwa monogami
adalah tatanan perkawinan yang lebih disukai oleh al-Quran. Hal ini menunjukkan
bahwa keadilan sebagai syarat poligami, dalam pandangan Amina Wadud adalah
sulit tercapai, bahkan mungkin mustahil untuk bisa dilaksanakan. Karena ayat
diatas dengan tegas mengatakan bahwa manusia tidak akan mampu berbuat adil
terhadap para istri, meskipun ia memiliki keinginan yang menggebu untuk berbuat
adil.
3.
Tiga
pembenaran umum dalam poligami
Berkaitan
dengan tiga pembenaran yang selama ini dijadikan alasan untuk memperbolehkan
melakukan poligami, menurut Amina Wadud tidak ada dukungan langsung dari al-Quran.
Tiga pembenaran umum terhadap poligami tersebut adalah finansial, perempuan
mandul dan pengendalian nafsu.
Pertama,
alasan finansial. Dalam konteks problem ekonomi seperti pengangguran, seorang
laki-laki yang mampu secara finansial harus membiayai lebih dari satu istri.
Pola pikir ini mengasumsikan bahwa semua perempuan adalah beban finansial;
pelaku reproduksi tapi bukan produsen. Di dunia zaman sekarang, banyak
perempuan yang tidak mendapatkan maupun membutuhkan nafkah laki-laki.
Perlu
diperhatikan, dewasa ini, asumsi bahwa hanya laki-laki yang bisa bekerja atau
menjadi pekerja paling produktif di semua keadaan, sudah tidak bisa lagi
diterima. Mengenai kerja diluar rumah, yaitu pekerjaan dengan sistem gaji,
pasarnya adalah berdasarkan pada produktivitas, untuk selanjutnya didasarkan
pada sejumlah faktor, dan jenis kelamin hanyalah salah satunya. Oleh karena
itu, menurut Amina Wadud, poligami bukanlah solusi mudah bagi permasalahan
perekonomian yang kompleks.
Kedua,
alasan perempuan mandul. Dalam al-Quran tidak ada penjelasan tentang hal ini
sebagai alasan untuk berpoligami, sedangkan hasrat untuk mempunyai anak memang
hal alami. Jadi kemandulan laki-laki dan kemandulan perempuan seharusnya tidak
menjadi halangan bagi mereka untuk menikah maupun untuk mengurus dan mendidik
anak.
Amina
Wadud mencoba memberikan solusi berkenaan dengan pasangan yang salah satu dari
mereka atau kedua-duanya mandul sehingga pasangan ini tidak memiliki anak.
Menurutnya, didunia yang sedang perang dan porak poranda, masih terdapat
anak-anak yatim muslim (dan non-muslim) yang menantikan uluran cinta dan
perawatan dari pasangan suami istri yang tidak memiliki anak. Barang kali,
perawatan seluruh anak di dunia ini dapat menjadi agenda kaum muslim mengingat
bencana dunia yang masih belum terselesaikan.hubungan darah sendiri memang
penting, tapi mungkin menjadi tidak penting kalau dilihat dari segi penilaian
akhir tentang kemampuan seseorang untuk merawat dan mengasuh anak.
Ketiga,
pengendalian hawa nafsu. Menurut Amina Wadud, selain tidak mempunyai sandaran
dalam al-Quran, juga jelas-jelas tidak Qurani karena berusaha menyetujui
nafsu laki-laki yang tidak terkendali. Jika kebutuhan seksual seorang laki-laki
tidak dapat terpuaskan oleh seorang istri, dia harus mempunyai dua. Jika
nafsunya juga belum terpenuhi dengan dua istri, maka dia harus mempunyai tiga
hingga empat istri. Baru setelah empat istri, prinsip al-Quran tentang
pengendailan diri, kesederhanaan dan kesetiaan dijalankan.
Karena pengendalian diri
dan kesetiaan sejak awal telah disyaratkan kepada istri, maka
kebajikan-kebajikan moral ini juga penting bagi suami. Al-Quran tidak
menekankan suatu tingkatan yang tinggi dan beradab kepada perempuan sembari
membiarkan laki-laki berinteraksi dengan manusia lain pada tingkat yang paling
rendah. Jika tidak demikian, maka tangung jawab bersama atas khilafah akan
diserahkan kepada separuh umat manusia, sedangkan separuhnya lagi masih dekat
dengan kondisi binatang.
Ditulis oleh: Fikri Noor Al Mubarok
Yogyakarta, 25 Juli 2013
(Bagi para pembaca yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai rujukan harap menyertakan nama penulis).
[1] Ibu
fida’ al-hafiz ibnu katsir, tafsir al-qur’an al-‘adlim, (beirut: dar al-fikr,
1430 H/2009 M), I:407.
[2]
Q.S. an-Nisa’(4):2.
0 comments
Post a Comment