Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×

Thursday, July 18, 2013

Tinjauan Umum Madzahibut Tafsir

Tinjauan Umum Madzahibut Tafsir
oleh: Fikri Noor Al Mubarok
A.    Pendahuluan
Sulit dipungkiri bahwa siapapun yang ingin berbicara tentang Islam, ia harus memahami al-Quran. Kajian terhadap al-Quran dari berbagai segi, terutama segi penafsirannya selalu menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Munculnya berbagai penafsiran dan karya-karya tafsir yang sarat dengan ragam metode dan pendekatan, merupakan bukti bahwa upaya menafsirkan al-Quran memang tidak pernah berhenti.
Secara teologis normatif, al-Quran itu kebenarannya adalah mutlak, sebab ia berasal dari dzat yang mutlak. Namun demikian, setelah yang mutlak itu masuk dalam pemikiran manusia, ia menjadi relatif kebenarannya. Sebab tidak mungkin yang relatif itu-yaitu pemikiran manusia- akan mampu menangkap seratus persen dari yang mutlak tersebut. Oleh karena itu, meskipun teks al-Quran itu telah dibakukan dan dibukukan secara tunggal namun pada kenyataannya hasil dari pemahaman dan penafsirannya terhadap teks itu akan mengalami keberagaman bahkan ada yang sampai kontrofersi dengan yang lainnya.[1]
Pada setiap kurun waktu, selalu muncul suatu karya tafsir al-Quran. Bahkan pada masa-masa kemunduran umat Islam secara politis,[2] karya-karya di dalam bidang ini dapat selalu ditemukan. Karya monumental at-Thabari Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Quran, sebagai karya tafsir paling tua[3] yang dapat diwarisi khasanah ilmu tafsir al-Quran, ditulis pada akhir abad ke-3 H,[4] sedang karya kontrofersial az-Zamakhsary al-Kasysyaf, lahir pada abad ke-5 H.[5] Pada abad ke-14 H lahir pula sebuah karya besar yang dirilis oelh Muhammad Rasyid Ridla al-Manar, yang merupakan kumpulan pikiran-pikiran gurunya Muhammad Abduh dalam bidang tafsir al-Quran.[6]
Jika dicermati, karya-karya penafsiran al-Quran dari satu generasi dengan generasi yang lain memiliki corak dan karakteristik yang berbeda-beda. Sehingga memunculkan aliran-aliran (madzahib)[7] tertentu dalam menafsirkan al-Quran. Hal ini dilatarbelakangi oleh banyak faktor. Antara lain adalah perbedaan situasi sosio-historis dan sosio-politik. Dan ini merupakan suatu keniscayaan sejarah, sebab umat Islam pada umumnya ingin senantiasa menjadikan al-Quran sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan dan mengembangkan peradaban. Akibatnya dalam setiap generasi memiliki madzhab-madzhab tafsir tersendiri. 
Oleh sebab itu, penulis akan mencoba untuk memaparkan tentang aliran-aliran tafsir (madzahibut tafsir) yang ada selama ini. Tulisan berikut ini tidak akan membahas secara panjang lebar dan spesifik tentang kajian ilmu ini. Tulisan ini hanya bersifat umum dan hanya sebagai pengantar dalam madzhab-madzhab tafsir yang berkembang selama ini.
B.     Tinjauan Umum tentang Madzahibut Tafsir
Secara etimologis, istilah madzahibut tafsir merupakan susunan idhafah yang terdiri dari dua kata; madzahib dan at-tafsir. Kata madzahib merupakan bentuk jamak dari kata madzhab. Dalam kamus munawir kata madzhab memilki arti kepercayaan, doktrin, ajaran, pendapat, dan teori.[8]
Sedangkan secara terminologis, madzhab biasa didefinisikan sebagai hasil-hasil ijtihad atau pemikiran, penafsiran para ulama yang kemudian dikumpulkan dan dinisbatkan kepada tokohnya, atau kecenderungannya, atau masa periodesasinya.
Adapun kata at-tafsir secara bahasa merupakan bentuk mashdar (kata benda abstrak) dari fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti pemahaman, penjelasan dan perincian. Tafsir bisa pula berarti al-ibanah (menjelaskan), al-kasf (menyingkap), dan al-izhar (menampakkan) makna atau pengertian yang tersembunyi.[9]
Dari tinjauan makna secara bahasa tersebut, maka tafsir secara istilah dapat diartikan sebagai suatu hasil pemahaman manusia (baca: mufassir) terhadap al-Quran yang dilakukan dengan menggunakan metode atau pendekatan tertentu yang dipilih oleh seorang mufassir, dan dimaksudkan untuk memperjelas suatu makna teks ayat-ayat al-Quran. Hal ini kemudian melahirkan suatu istilah yang oleh para ulama kemudian dikenal dengan madzahibut tafsir (aliran-aliran tafsir atau madzhab-madzhab dalam penafsiran al-Quran).
Jadi madzahibut tafsir adalah aliran-aliran, madzhab-madzhab, kecenderungan-kecenderungan yang dipilih seorang mufassir ketika menafsirkan al-Quran.[10]
Istilah madzahibut tafsir pertama kali muncul digunakan oleh Ignaz Goldziher dalam bukunya, Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung yang kemudian diterjemahkan oleh Dr. Ali Hasan Abdul Qadir dengan judul Madzahibut Tafsir al-Islami (1995). Selanjutnya barulah muncul banyak karya dalam bidang ini. Seperti, Muhammad Husain adz-Dzahabi (1961), Abu Yaqzhan ‘Athiyya al-Jaburi dengan judul Dirasah Fi at-Tafsir Wa Rijalihi (1971) dan Abdul ‘Azhim Ahmad al-Ghubasyi dengan judul Tarikh at-Tafsir Wa Manahij al-Mufassirin (1997) dan lain sebagainya.[11]
Alasan munculnya berbagai aliran–aliran tafsir antara lain dari al-Quran itu sendiri yang sangat memungkinkan untuk dibaca, ditafsirkan secara beragam, serta memiliki ambiguitas makna dalam al-Quran. Selain itu pula kondisi subjektif mufassir (prior teks)[12], hubungan antara dunia luar, dan adanya faktor teologis dan politik juga mewarnai kemunculan aliran-aliran tafsir tersebut.[13]
Objek kajian ilmu ini adalah menguraikan tentang tokoh-tokoh ahli tafsir dan tafsir, serta biografi penulis tafsir, metodologi, maupun corak dan karakteristik penafsirannya.[14]
Ilmu ini memiliki arti penting bagi para pengkaji al-Quran dan pada kaum muslimin pada umumnya. Dari ilmu ini kita dapat membuka wawasan dan menumbuhkan sikap toleran terhadap berbagai corak penafsiran, mengembangkan metode-metode penafsiran, dan menghindari adanya sikap taqdis al-afkar (pensakralan pemikiran keagamaan).[15]
Adapun mengenai katagorisasi aliran-aliran tafsir itu tergantung pada “kacamata” yang dipakai untuk memetakan aliran-aliran penafsiran tersebut. Seperti Muhammad Husain adz-Dzahabi yang memetakannya menjadi tiga; tafsir pada masa Nabi dan sahabat, pada masa tabi’in, dan pada masa kodifikasi.[16] Begitu pula Amina Wadud yang memiliki pemetaannya sendiri. Beliau memetakannnya berdasarkan penafsiran mengenai isu-isu gender selama ini menjadi 3; tafsir tradisional, tafsir reaktif, dan tafsir holistik.[17]
Berbicara tentang kategorisasi aliran-aliran tafsir yang sudah berkembang selama ini, ternyata para ulama berbeda-beda dalam memetakannya.[18] Ada yang membagi berdasarkan periodesasinya atau kronologi waktunya, sehingga menjadi madzhab tafsir periode klasik, pertengahan, modern atau kontemporer.[19] Ada yang berdasarkan kecenderungannya, sehingga muncul istilah tafsir sunni, syi’ah, mu’tazilah, dan lain sebagainya. Ada pula yang melihat dari perspektif atau pendekatan yang dipakai, sehingga muncul istilah tafsir sufi, falsafi, ‘ilmi, fiqhi, adabi ijtima’i dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang meilhat dari perkembangan pemikiran manusia, sehingga dapat dipetakan menjadi tafsir periode mitis,[20] ideologis,[21] dan ilmiah.[22]
Pembagian atau pemetaan semacam ini sah-sah saja selama memiliki argumen-argumen ilmiah yang mendukungnya. Sudah barang tentu setiap pembagian dan pemetaan tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan, sekaligus mempunyai karakteristik dan kecenderungan tertentu yang berbeda-beda dengan lainnya.[23] 
C.    Penutup
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kata sempurna. Saran dan kritik yang kontruktif tentu sangat diharapkan. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat serta merupakan bagian dari shadaqah ilmu yang mendapat ridho Allah swt.

Yogyakarta, 26 Februari 2013

(Bagi para pengunjung yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai rujukan silakan sertakan nama penulis pada tulisan anda)

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Quran Periode Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003

Hasan Ibrahim Hasa, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Islamic History and Culture, From 632-1968), terj. Djahdan Humam, Yogyakarta: Kota Kembang, 1989

Muhammad Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir Wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, 2000

Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, cet XIV, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997

Amina Wadud, Wanita di dalam al-Quran, cet I, terj. Yaziar Radianti, Bandung: Penerbit Pustaka, 1994





[1] Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Quran Periode Klasik Hingga Kontemporer, cet I, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm 8-9.
[2] Meninggalnya khalifah Abbasiyah, Watiq, pada tahun 232 H, menandai berakhirnya zaman keemasan Islam yang disebabkan oleh lemahnya kekhalifahan. Berdirinya negeri-negeri Islam independen dan pengaruh-pengaruh pemimpin di luar negeri. Lihat: Hasan Ibrahim Hasa, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Islamic History and Culture, From 632-1968), terj. Djahdan Humam, cet I, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hlm 209.
[3] Adz-Dzahabi menyatakan bahwa tafsir ini adalah tafsir yang paling tua yang ada saat ini. Sedangkan karya-karya sebelum ini hanya dapat diketahui dengan melacak riwayat-riwayat yang ada di dalam tafsir tersebut. Lihat: Muhammad Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir Wa al-Mufassirun, cet VII, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), I: 209
[4] Hasan Ibrahin Hasa, Sejarah dan Kebudayaan..., hlm 229.
[5] Ibid., hlm 231.
[6] Muhammad Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir Wa al-Mufassirun..., II: 577.
[7] Selanjutnya penulis akan memilih menggunakan kata aliran-aliran untuk pengganti kata madzahib.
[8]  Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, cet XIV, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm 453.
[9] Muhammad Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir Wa al-Mufassirun..., I:12.
[10] Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir..., hlm: vii
[11] Ibid., hlm 3.
[12] Yang dimaksud dengan prior teks adalah latar belakang, persepsi, dan keadaan yang dimiliki oleh mufassir.
[13] Ibid., hlm 10-15.
[14] Ibid., hlm 18.
[15] Ibid., hlm 20-22.
[16] Muhammad Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir Wa al-Mufassirun ..., I:9.
[17] Amina Wadud, Wanita di dalam al-Quran, cet I, terj. Yaziar Radianti, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), hlm 2.
[18] Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir..., hlm 6.
[19] Pemetaan ini cenderung dipilih oleh Abdul Mustaqim dalam bukunya Madzhabiut Tafsir.
[20] Yang dimaksud mistis adalah tidak ada kritisime dalam menerima sebuah tafsir.
[21] Yang dimaksud idiologis adalah tafsir-tafsir yang muncul sarat dengan kepentingan idiologis dan politik.
[22] Yang dimaksud ilmiah adalah tafsir yang muncul sudah memiliki kecenderungan ilmiah dan sudah diwarnai  oelh pendekatan hermeneutis yang lebih bersifat kritis-filosofis.
[23] Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir..., hlm 6. 

0 comments

Post a Comment