Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×

Monday, January 25, 2016

Hadis Bukhari No. 63 Ilmu-Ilmu Agama

عَنْ شَرِيكِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي نَمِرٍ، أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، يَقُولُ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَسْجِدِ، دَخَلَ رَجُلٌ عَلَى جَمَلٍ فَأَنَاخَهُ فِي الْمَسْجِدِ، ثُمَّ عَقَلَهُ، ثُمَّ قَالَ لَهُمْ أَيُّكُمْ مُحَمَّدٌ وَالنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مُتَّكِئٌ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِمْ‏.‏ فَقُلْنَا هَذَا الرَّجُلُ الأَبْيَضُ الْمُتَّكِئُ‏.‏ فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ ابْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ‏"‏ قَدْ أَجَبْتُكَ ‏"‏‏.‏ فَقَالَ الرَّجُلُ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم إِنِّي سَائِلُكَ فَمُشَدِّدٌ عَلَيْكَ فِي الْمَسْأَلَةِ فَلاَ تَجِدْ عَلَىَّ فِي نَفْسِكَ‏.‏ فَقَالَ ‏"‏ سَلْ عَمَّا بَدَا لَكَ ‏"‏‏.‏ فَقَالَ أَسْأَلُكَ بِرَبِّكَ وَرَبِّ مَنْ قَبْلَكَ، آللَّهُ أَرْسَلَكَ إِلَى النَّاسِ كُلِّهِمْ فَقَالَ ‏"‏ اللَّهُمَّ نَعَمْ ‏"‏‏.‏ قَالَ أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ نُصَلِّيَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ قَالَ ‏"‏ اللَّهُمَّ نَعَمْ ‏"‏‏.‏ قَالَ أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ نَصُومَ هَذَا الشَّهْرَ مِنَ السَّنَةِ قَالَ ‏"‏ اللَّهُمَّ نَعَمْ ‏"‏‏.‏ قَالَ أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تَأْخُذَ هَذِهِ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِنَا فَتَقْسِمَهَا عَلَى فُقَرَائِنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ‏"‏ اللَّهُمَّ نَعَمْ ‏"‏‏.‏ فَقَالَ الرَّجُلُ آمَنْتُ بِمَا جِئْتَ بِهِ، وَأَنَا رَسُولُ مَنْ وَرَائِي مِنْ قَوْمِي، وَأَنَا ضِمَامُ بْنُ ثَعْلَبَةَ أَخُو بَنِي سَعْدِ بْنِ بَكْرٍ‏.‏ رَوَاهُ مُوسَى وَعَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِهَذَا‏.‏

Hadis no. 63
      Diriwayatkan dari Syarik bin Abdullah bin Abi Namr bahwa dia pernah mendengar Anas bin malik bercerita bahwa suatu ketika kami (para sahabat) sedang duduk bersama dengan Rasulullah saw di masjid. Kemudian datanglah seorang laki-laki yang menaiki untanya. Lelaki tersebut turun dari untanya dan mengikat untanya. Dia berkata: “Manakah diantara kalian yang bernama Muhammad? Pada saat itu Nabi saw bertelekan diantara mereka. Lalu kami katakan: “Lelaki putih yang bertelekan itu adalah yang kau cari.” Lelaki itu bertanya: “Apakah engkau putra Abdul Muthallib?” Nabi bersabda: “Saya telah menjawabmu.” Ia berkata: “Sesungguhnya saya bertanya kepadamu berat atasmu namun janganlah diambil hati.”  Nabi bersabda: “Tanyakanlah yang ingin kau tanyakan.” Ia berkata: “Saya bertanya tentang tuhanmu, dan tuhan orang-orang sebelummu. Apakah Allah swt mengutusmu kepada seluruh umat manusia?” Nabi bersabda: “Benar”. Ia berkata: “Saya menyumpahmu dengan nama Allah swt. Apakah Allah swt menyuruhmu shalat lima waktu sehari semalam?” Beliau bersabda: “Benar.” Ia berkata: “Saya menyumpahmu dengan nama Allah swt. Apakah Allah swt menyuruhmu untuk puasa bulan ini (Ramadlan) dalam setahun.” Beliau bersabda: “Benar.” Ia berkata: “Saya menyumpahmu dengan nama Allah. Apakah Allah menyuruhmu untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya lalu kamu bagikan kepada orang-orang fakir kita?” Beliau menjawab: “Benar.” Lalu lelaki itu berkata: “Saya percaya pada apa yang kamu bawa dan saya adalah utusan dari orang-orang dibelakang saya dari kaum saya. Saya adalah Dhimam bin Tsa’labah, saudara Bani Sa’ad bin Bakr.”

      Hadith no. 63
     While we were sitting with the Prophet (ﷺ) in the mosque, a man came riding on a camel. He made his camel kneel down in the mosque, tied its foreleg and then said: "Who amongst you is Muhammad?" At that time the Prophet (ﷺ) was sitting amongst us (his companions) leaning on his arm. We replied, "This white man reclining on his arm." The man then addressed him, "O Son of `Abdul Muttalib." The Prophet (ﷺ) said, "I am here to answer your questions." The man said to the Prophet, "I want to ask you something and will be hard in questioning. So do not get angry." The Prophet (ﷺ) said, "Ask whatever you want." The man said, "I ask you by your Lord, and the Lord of those who were before you, has Allah sent you as an Apostle to all the mankind?" The Prophet (ﷺ) replied, "By Allah, yes." The man further said, "I ask you by Allah. Has Allah ordered you to offer five prayers in a day and night (24 hours).? He replied, "By Allah, Yes." The man further said, "I ask you by Allah! Has Allah ordered you to observe fasts during this month of the year (i.e. Ramadan)?" He replied, "By Allah, Yes." The man further said, "I ask you by Allah. Has Allah ordered you to take Zakat (obligatory charity) from our rich people and distribute it amongst our poor people?" The Prophet (ﷺ) replied, "By Allah, yes." Thereupon that man said, "I have believed in all that with which you have been sent, and I have been sent by my people as a messenger, and I am Dimam bin Tha`laba from the brothers of Bani Sa`d bin Bakr."

Hadis Bukhari No. 62 Metode Mengajar Rasulullah (memberi pertanyaan kepada sahabat tentang suatu hal)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏"‏ إِنَّ مِنَ الشَّجَرِ شَجَرَةً لاَ يَسْقُطُ وَرَقُهَا، وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ، حَدِّثُونِي مَا هِيَ ‏"‏‏.‏ قَالَ فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَوَادِي‏.‏ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ، ثُمَّ قَالُوا حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ‏"‏ هِيَ النَّخْلَةُ ‏"‏‏.‏

Hadis no. 62
  
Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwa suatu ketika Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya terdapat sebuah pohon yang tidak jatuh sehelai daunnya dan hal ini semisal dengan muslim. Lalu cobalah beritahu padaku pohon apa itu?” Semua mulai memikirkan pohon apa itu. Abdullah bin Umar berfikir bahwa pohon tersebut mungkin adalah pohon kurma, namun malu untuk menyampaikan jawabanya. Akhirnya merekapun bertanya kembali: “Wahai Rasulullah saw pohon apa itu?” Beliau menjawab: “Pohon kurma.”

Hadith no. 62
 
Allah's Messenger pbuh. said, "Amongst the trees, there is a tree, the leaves of which do not fall and is like a Muslim. Tell me the name of that tree." Everybody started thinking about the trees of the desert areas. And I thought of the date-palm tree but felt shy to answer the others then asked, "What is that tree, O Allah's Messenger pbuh?" He replied, "It is the date-palm tree."

Hadis ini menunjukkan bagaimana Rasulullah saw mengajarkan suatu hal kepada para sahabat dengan cara menanyai mereka dan memberikan suatu perumpamaan.

  • metode mengajar rasulullah saw dalam sahih bukhari
  • rasulullah saw memberi pertanyaan kepada sahabat merupakan salah satu metode pengajaran Nabi. 

Hadis Bukhari No. 60 Orang yang meninggikan suaranya dalam ilmu

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ تَخَلَّفَ عَنَّا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي سَفْرَةٍ سَافَرْنَاهَا، فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقَتْنَا الصَّلاَةُ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ، فَجَعَلْنَا نَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا، فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ ‏ "‏ وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ ‏"‏‏.‏ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا‏.‏

Hadis no. 60
  
     Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra. bahwa suatu ketika Nabi saw tertinggal dalam suatu perjalalan bersama kami. Lalu beliau menyusul kami, dan pada saat itu waktu shalat sudah hampir habis. Kami mulai berwudlu dan ketika sampai mengusap kaki (belum selesai membasuh kaki) beliau menyeru dengan suara keras. “Celakalah bagi tumit-tumit karena api neraka.” Kalimat ini beliau ulangi dua atau tiga kali.” 
 

Hadith no. 60

Once the Prophet pbuh. remained behind us in a journey. He joined us while we were performing ablution for the prayer which was over-due. We were just passing wet hands over our feet (and not washing them properly) so the Prophet pbuh. addressed us in a loud voice and said twice or thrice: "Save your heels from the fire."


  • orang yang meninggikan suaranya dalam ilmu


 

Sunday, January 24, 2016

Hadis Bukhari No.59 Adab bertanya

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ فَمَضَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُحَدِّثُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ سَمِعَ مَا قَالَ فَكَرِهَ مَا قَالَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ لَمْ يَسْمَعْ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ أَيْنَ - أُرَاهُ - السَّائِلُ ، عَنِ السَّاعَةِ قَالَ هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ فَإِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.

Hadis no. 59

     Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ketika Nabi saw sedang memberikan nasehat kepada umatnya, datang seorang Arab badui bertanya: “Kapankah kiamat itu datang?” Rasulullah saw masih melanjutkan nasehatnya hingga selesai. Kemudian sebagian dari kaum berkata: “Beliau mendengar apa yang dikatakannya namun beliau benci apa yang dilakukannya.” Sebagian yang lain berkata: “Beliau tidak mendengarnya dengan jelas sehingga ketika beliau selesai berbicara beliau bertanya dimanakah gerangan orang yang bertanya tentang hari kiamat?” Arab badui tersebut menjawab: “Disini wahai Rasulullah.”  Beliau menjawab: “Apabila amanat itu telah disia-siakan, maka nantikanlah kiamat!”  Arab badui bertanya kembali: “Kapan bisa dikatakan menyia-nyiakan?” Beliau bersabda: “Apabila perkara diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah kiamat!”

      Hadith no. 59
     While the Prophet pbuh. was saying something in a gathering, a Bedouin came and asked him, "When would the Doomsday take place?" Allah's Messenger pbuh. continued his talk, so some people said that Allah's Messenger pbuh. had heard the question, but did not like what that Bedouin had asked. Some of them said that Allah's Messenger pbuh. had not heard it. When the Prophet pbuh. finished his speech, he said, "Where is the questioner, who inquired about the Doomsday?" The Bedouin said, "I am here, O Allah's Apostle ." Then the Prophet pbuh. said, "When honesty is lost, then wait for the Doomsday." The Bedouin said, "How will that be lost?" The Prophet pbuh. said, "When the power or authority comes in the hands of unfit persons, then wait for the Doomsday."

Hadis ini menjelaskan bahwa hendaknya jangan bertanya ketika pembicara/penceramah/dai sedang atau masih memberikan nasehat. Tanyalah ketika materi/nasehat yang diberikan telah disampaikan. Adapun pembicara/da'i/penceramah diperbolehkan melanjutkan nasehatnya bahkan ketika ada orang yang bertanya. Yang demikian itu adalah sunnah Nabi saw.

Allahu 'Alam
  • terjemahan hadis bukhari no.59
  • adab bertanya kepada penceramah/da'i/pembicara dalam Sahih Bukhari
  • larangan menyela ketika dai sedang menyampaikan nasehat
  • terjemahan hadis bukhari bahasa inggris
  • anjuran melanjutkan nasehat/ceramah ketika ada orang yang bertanya disela-sela nasehat/ceramah
  • hadis al-Bukhari no.59

Monday, November 18, 2013

PEMIKIRAN HAZAIRIN TENTANG HADIS

Al Yasa dalam disertasinya telah menyebutkan beberapa pemikiran Hazairin terhadap Hadis. Untuk lebih memudahkan, pemikiran beliau akan dibuat poin-poin sebagai berikut:
        1.      Hazairin berpendapat bahwa Rasulullah saw telah diberikan hak interpretasi berupa memberikan penjelasan dengan perkataan, perbuatan atau dengan yang lainnya. Kemudian beliau mengatakan bahwa interpretasi ini adalah hadis yang selanjutnya merupakan suplement bagi ketetapan Allah,[1] beliau telah menganggap hadis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Quran dan menjadi penjelas atau keterangan tambahan untuknya.
         2.      Dalam fungsinya hadis tidak boleh bertentangan dengan al-Quran, baik bertentangan dengan arti zahir maupun dengan tafsir yang dihasilkan.[2]
3.      Lebih dari itu, menurut Hazairin, hadis mesti dibedakan antara yang bersifat umum dan bersifat sementara, yaitu yang diberikan Rasulullah dalam ketiadaan atau menunggu kedatangan wahyu. Tanda utama kesementaraan –disamping pernyataan yang ada dalam hadis itu sendiri- adalah pertentangan dengan Quran dan hasil tafsirnya tersebut. Hadis yang bersifat sementara bukanlah tafsir untuk Quran.[3]
4.      Hazairin berpendapat terdapat beberapa hadis yang perlu diabaikan karena ada beberapa hadis yang bertentangan dengan Quran itu sendiri dan tafsir. Khusus untuk hadis-hadis tentang kewarisan, beliau mengatakan bahwa hadis-hadis tentang kewarisan tidak ada yang memenuhi syarat, sehingga tidak bisa diikutsertakan dalam menafsirkan Quran. Mungkin hal inilah yang menyebabkan beliau memisahkan kajian hadis tentang kewarisan dalam bukunya, yaitu untuk menunjukkan kesementaraanya atau pertentangannya dengan Quran.[4]
5.      Dalam mengkaji hadis, Hazairin tidak pernah mempersoalkan sanad dari hadis yang dibicarakan dan juga tidak memberikan alasannya. Al Yasa dalam disertasinya menyebutkan bahwa hal tersebut mungkin dikarenakan 2 hal:
a.       Keshahihan sanad itu tidak penting, karena hadis itu sudah sering digunakan para ulama dalam mengistinbāṭkan hukum. Hazairin hanya ingin membuktikan bahwa kritik matan harus diberikan karena hadis-hadis tentang kewarisan itu tidak sejalan dengan Quran.
b.      Kekurangtahuan tentang ilmu-ilmu hadis, khususnya tentang kritik sanad. Dalam buku Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Quran dan Hadis, Hazairin banyak mengutip dari kitab Misykāt al-Masābih dan Nail al-Auṭār. Dalam buku yang terakhir ada uraian tentang sanad. Seandainya Hazairin mengutip pendapat tentang nilai sanad itu, tentu akan membantu pembaca yang mengetahui ilmu hadis.[5]


Ditulis Oleh: Fikri Noor Al Mubarok
Yogyakarta, 19 November 2013

(bagi para pembaca sekalian yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai referensi/rujukan harap menuliskan nama penulis)


[1] Hazairin, Hukum Kewarisan bilateral menurut al-Quran dan Hadis, (Jakarta: Tintamas, 1982), hlm 63.
[2] Ibid.
[3] Al Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah : Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Madzhab, (Jakarta : INIS, 1998), hlm 206.
[4] Ibid., hlm 29.
[5] Ibid., hlm 67.

Tuesday, November 5, 2013

BIOGRAFI SALAHUDDIN IBN AHMAD AL-ADLABI


Penulis telah mencari riwayat hidup beliau, mulai dari kelahiran, riwayat pendidikan dan karya-karya beliau, namun tidak banyak data atau informasi mengenai beliau. Hal ini menurut penulis, karena Salahuddin termasuk ulama yang kurang populer, karena Salahuddin lebih banyak berkonsentrasi pada hadis kaitannya dengan matan, yang dewasa ini, masih kalah perhatiannya dengan kajian sanad hadis.
Adapun informasi yang penulis dapat mengenai beliau, sedikit banyak terdapat pada majalah Ahmadiyah edisi ke-tiga. dalam majalah tersebut al-Adlabi memberikan ulasan mengenai permasalahan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat (Haml Yad al-Yumna ‘ala al-Yusra fi as-Shalah). Dalam tulisan itu dinyatakan bahwa al-Adlabi dengan nama lengkap Shalahuddin ibn Ahmad al-Adlabi adalah seorang dosen pada Fakultas Dirasah al-Islamiyah Wa al-Arabiyah Dubai, juga menjadi pengajar di Universitas Imam Muhammad Su’ud al-Islamyah, Riyadh. Juga mengajar di Fakultas al-Lughah al-‘Arabiyah di Marakisy. Al-Adlabi lahir di Madinah pada tahun 1367 H/ 1948 M. Beliau mendapatkan gelar doktor di bidang Ulum al-Islamiyah wa al-Hadis di Dar al-Hadis dengan predikat Hasan jiddan pada tahun 1401 H/ 1980 M)[1]. Al-Adlabi merupakan ulama yang banyak memberikan pandangan terhadap permasalahan-permasalahan agama ditinjau dari prespektif hadis. Al-Adlabi kemudian lebih dikenal sebagai ulama yang memberi kontribusi besar dalam hal kritik matan hadis.
Sejarah ulum al-Hadis menunjukkan bahwa metode kritik matan pertama kali ditulis dalam karya tersendiri oleh Ibn al-Qayyim (w. 751 H/ 1350 M) dalam bukunya al-Manar al-Munif. Jadi sekitar 400 tahun setelah ulum al-Hadis berkembang. Meski demikian terdapat juga kitab sebelumnya yang secara sepintas menaruh perhatian pada kritik matan, seperti  kitab al-Ilal karya guru Imam Bukhari, Ibn Al-Madani. Namun kitab ini ternyata lebih fokus terhadap kritik sanad. Setelah itu disusul oleh az-Zarkasyi dengan karyanya al-Ijabah fi Ma istadrakathu as-Sayyidah Aisyah Ala as-Shahabah yang lebih bersifat praktis. Namun kedua karya itu sangat terbatas isinya bila dikaitkan dengan kebutuhan praktek kritik studi matan. Kemudian muncullah karya al-Adlabi, Manhaj Naqd al-matan inda Ulama al-Hadis an-Nabawi  (1403 H/ 1983). Buku yang membahas secara mendetail tentang kritik matan dibanding buku-buku lainnya, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa karya ini merupakan penilitan pertama yang relatif lengkap tentang metode kritik matan[2].
Berdasarkan itu, maka diketahui bahwa Shalahuddin bin Ahmad al-Adlabi termasuk ulama khalaf dalam perkembangan ulama hadis, yaitu ulama pada abad ke 19 M. Namun pengaruh yang diberikan oleh karya beliau ternyata cukup signifikan. Besarnya pengaruh karya al-Adlabi ini antara lain bisa dilihat dari munculnya karya-karya dengan topik yang sama di kemudian hari. Misalnya, karya Dr, Musfir Azmullah ad-Damini yang berjudul Maqayis Naqd Mutun as-Sunnah (1404 H/ 1984 M) dan karya Dr. Muhammad Thahir al-Jawabi yang berjudul Juhud al-Muhadditsun Fi Naqd Matn al-Hadis an-Nabawi as-Syarif (1406 H/ 1986 M). bahkan ada kemungkinan disertasi M. Syuhudi Ismail juga terinspirasi oleh karya al-Adlabi itu[3]. Karena sebelum M. Syuhudi Ismail membandingkan antara kritik sanad dalam penelitian hadis dan kritik ekstern dalam penelitian sejarah, al-Adlabi sudah lebih dahulu menyimpulkan bahwa kritik matan yang menjadi objek bahasannya itu sepadan dengan kritik intern menurut para sejarawan[4]. Lebih dari itu, setelah bermunculannya konsep kritik matan karena pengaruh karya al-Adlabi tersebut, ternyata terus memunculkan karya-karya tentang dalalah hadis yang bertumpu pada kritik matan. Misalnya, karya Syaikh Muhammad al-Ghazali yang berjudul as-Sunnah an-Nabawiyah Bain Ahl Fiqh wa Ahl al-Hadis yang sempat menghebohkan itu[5]. Berdasarkan pengaruh yang besar itu, maka tidak salah jika penulis menyatakan bahwa Shalahuddin bin Ahmad al-Adlabi, dengan karyanya Manhaj Naqd al-Matan Inda Ulama al-Hadis an-Nabawi adalah bapak kritik matan yaitu orang yang pertama kali membahas kritik matan secara komperhensif dan lebih mendalam, sama dengan julukan bapak Maqashid as-Syari’ah yang diberikan kepada as-Syatibi dengan karyanya yang fenomenal dalam bidang ushul fiqh “al-Muwafaqat”[6]. Selain karya tersebut, al-Adlabi juga memiliki beberapa tulisan yang dimuat secara berkala dalam bentuk artikel-artikel atau tulisan lepas, di antaranya: Kasyf al-Ma’lum mimma summiya bi silsilah al-ahadits as-Shahih, Hadis la nikaha illa bi waliyyi riwayatan wa dirayatan, ‘Aqaida al-Asya’irah fi Hawari Hadi’I ma’a Syubhat al-Munawi’in, al-Bid’ah al-Mahmudah baina Syubhat al-Mani’in wa istidlalat al-Mujizin, wa tahdid al-Qiblah fi Syimal Amrika Radda bihi ‘ala al-Ahbasy, dan tulisan-tulisan lainnya[7].




[1] Majallah al-Ahmadiyah, Edisi ke-tiga, 1420 H, hlm. 95. Dalam tulisan lain terdapat tambahan berupa nama asli beliau Shalahuddin Ahmad al-Adlabi al-halabi. Beliau juga pernah mengunjungi kanada untuk daurah mengenai ulum al-hadis. Informasi lain menyatakan beliau bermazhab Syafi’iyah, namun beliau tidak fanatik terhadap mazhabnya, sehingga mazhabnya tidak mempengaruhi kajian hadis beliau. Guru yang berpengaruh atas keilmuan beliau adalah Syaikh Abd al-Fatah yaitu ulama yang terkenal sebagai orang yang membandingkan metode ulama mutaqaddimin dan ulama muta’akkhirin dalam penilitan kesahihan hadis. Informasi ini bisa dilihat di http://www.esnady.com/vb/showthread/
[2] Salahuddin Ibn Ahmad al-Adlabi, metode Kritik Matan Hadis, alih bahasa: Ahmad Musyafiq dkk, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2004), hlm. vi
[3] M. Syuhudi Ismail adalah pakar hadis yang memberikan kontribusi besar dalam perkembangan kritik sanad dan kritik intern untuk kritik matan di Indonesia, beberapa bukunya mengenai hadis menjadi pegangan hingga sekarang, dan buku yang menjadi master piece beliau adalah Kaedah Kesahehan Sanad Hadis : Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah.
[4] Salahuddin Ibn Ahmad al-Adlabi, metode Kritik Matan Hadis…, hlm, vii
[5] ibid
[6] Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas; Fiqh al-Aqaliyyât dan evolusi maqâshid as-Syarî'ah dari konsep ke pendekatan, cet. Ke-1 (Yogyakarta, LKIS, 2010), hlm. 200
[7] http://www.esnady.com/vb/showthread/ akses pada, 23:18, 04-01-2013

Sunday, August 18, 2013

ULAMA SAUDI KUTUK KUDETA MILITER DI MESIR


Riyadh, 3 Syawal 1434/9 Agustus 2013 (MINA) – Sebanyak 56 ulama Arab Saudi mengeluarkan pernyataan bersama mengu
tuk penggulingan presiden Mesir yang terpilih secara demokratis Muhamad Mursi oleh militer yang di komandoi Panglima militer Mesir Jenderal Abdul Fattah Al-Sisi.
Para ulama menjelaskan bahwa apa yang terjadi di Mesir tidak diragukan lagi sebagai kudeta militer dan tindak pidana terlarang serta merupakan pelanggaran hukum internasional.
"Apa yang dilakukan oleh Menteri Pertahanan, Abdul Fattah Al-Sisi jelas merupakan pelanggaran atas keinginan rakyat yang telah dituangkan dalam pemilu," Kata para ulama dalam sebuah pernyataan seperti dikutip Middle East Monitor (MEMO) yang dipantau Mi’raj News Agency (MINA), Jumat (9/8).
Dalam pernyataan yang dikirim pada Kamis (8/8), para ulama mendesak kepada pihak berwenang Mesir (pemerintahan sementara) untuk segera menggelar dialog bersama (dengan pihak pro Mursi) dalam rangka menyelesaikan konflik internalnya.
Para ulama Arab Saudi menegaskan bahwa beberapa tokoh nasional maupun internasional telah merencanakan untuk menggulingkan presiden Mursi mulai dari saat dirinya mulai menjabat pada akhir 2012.
Mereka mencatat bahwa partai politik tertentu yaitu partai Keselamatan Nasional dan Gerakan Tamarod dibentuk di Mesir dengan tujuan khusus menggulingkan pemerintah Mursi itu.
Di antara mereka yang menandatangani pernyataan itu adalah: Mohammad Naser Al-Suhaibani, Ali Bin Saeid Al-Ghamdi, Abdul Aziz bin AbdelMohsen Al-Turki, Hasan Bin Saleh Al-Hameed, Mohammad Bin Abdelaziz Al-Khodari, Mohammad Bin Sulaiman Al-Barak dan Abdelaziz Mohammad Al-Fouzan.
Sementara itu, dari Indonesia, Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Bachtiar Nasir mendesak Pemerintah Indonesia mengutuk dan memprotes keras terhadap pembantaian militer Mesir terhadap warganya yang melakukan demonstrasi damai.
Menurutnya, apa yang terjadi di Mesir saat ini merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sekaligus pelanggaran HAM berat. Pembantaian terhadap demonstran yang berunjuk rasa damai, merupakan peristiwa paling kelam dalam sejarah demokrasi dunia.
Kemudian menurutnya, harus ada campur tangan Dunia, termasuk Indonesia, untuk menghentikan kekejaman militer Mesir, dan bersama kekuatan dunia lainnya membawa masalah ini ke Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan menyeret pelaku kekejaman tersebut ke Pengadilan Internasional.
"Mana suara negara-negara Barat yang selama ini mengagung-agungkan HAM," kata Bachtiar, melalui rilis yang dikeluarkan MIUMI, akhir Juli lalu.
Menurutnya, militer Mesir telah melakukan berbagai kesalahan. Selain mengkudeta pemerintah yang sah, militer telah membunuh secara massif terhadap rakyat yang tidak berdosa.
"Apa salahnya rakyat melakukan demonstrasi damai. Mereka menuntut hak Pemerintah yang sah dan terpilih secara demokratis, yakni Presiden Mursi dikembalikan," tegasnya. (T/P04/P02)
diambiol dari stis sebelah,,,,

Saturday, July 27, 2013

BIOGRAFI HAZAIRIN


Nama lengkapnya Prof. Dr. Hazairin Gelar Datuk Pengeran, S.H. Dilahirkan di Bukit Tinggi, Sumatra Barat pada tanggal 28 November 1906. Ayahnya Z. Buhari, berasal dari Bengkulu, dan kakeknya bernama A. Bakar, sedangkan ibunya bernama Rasidah berasal dari Minangkabau, etnis yang terkenal taat beragama.[1]
Ayah Hazairin adalah guru, sementara kakeknya A. Bakar adalah seorang mubalig dan tokoh agama terkenal pada zamannya, oleh karena itu, sejak kecil beliau tumbuh dalam lingkungan yang cinta kepada ilmu pengetahuan dan taat beragama, beliau tampil sebagai seorang ilmuan yang begitu intens terhadap nilai-nilai keagamaan.[2]
Awal pendidikan formalnya dimulai dari HIS (Hollands Inlandsche School) di Bengkulu dan tamat pada pada tahun 1920. Setelah tamat dari HIS, beliau kemudian melanjutkan ke MULO (Meer Uigebreid Loger Onderwijs) di Padang dan setelah itu melanjutkan ke AMS (Algement Middelbare School) di Bandung, dan tamat pada tahun 1927. Dari Bandung kemudian Hazairin pindah ke Batavia (Jakarta) dan melanjutkan pendidikannya di Rechts Hogheschool (Sekolah Tinggi Ilmu Hukum) dan meraih gelar sarjana pada tahun 1935. Pada 29 Mei 1936 beliau meraih gelar Doktor setelah berhasil mempertahankan desertasinya yang berjudul De Rejang, yaitu sebuah karya yang membahas adat istiadat Rejang di Bengkulu. Karya ini merupakan salah satu faktor yang mengantarkannya sebagai seorang ahli hukum adat.[3]
Namun di sisi lain, sebagai buah dari pendidikan agama yang beliau terima dari kakek dan ayahnya di waktu kecil, telah menimbulkan minat besar pada dirinya untuk mendalami ilmu agama, terutama dalam bidang ilmu fikih. Ketekunannya dalam melakukan telaah terhadap hukum Islam ini telah menghantarkannya menjadi seorang tokoh intelektual muslim, hal ini dibuktikannya dengan lahirnya beberapa karya dibidang ini, dan menjadi seorang ahli hukum Islam dan adat terkemuka di Indonesia.[4]
Dalam kehidupannya beliau memiliki karir pekerjaan diantaranya:
1.      Tahun 1935, menjadi asisten dari Prof. B. Teer Haar dalam bidang Hukum Adat dan Etnologi di UI.
2.      Tahun 1948-1942, menjadi PNS di Pengadilan Negeri Sidempuan dan Pegawai Penyidik Hukum Adat di Tapanuli Selatan.
3.      Tahun 1945-1946, menjadi ketua di Pengadilan Negeri Tapanuli Selatan, merangkap ketua Komite Nasional Indonesia.
4.      Tahun1946, menjadi asisten Residen Sibolga, kemudian dipindahkan menjadi wakil Gubernur Militer Sumatra Selatan.
5.      Tahun 1948, Hazairin memulai karir politiknya ketika ia bergabung kedalam Partai Indonesia Raya. Lewat partai ini pula Hazairin menduduki jabatan Menteri Dalam Negeri pada kabinet Ali Sostromidjojo.
6.      Tahun 1950-1953, Hazairin menjabat kepala bagian hukum sipil kemeterian kehakiman RIS.
7.      Tahun 1950, disamping menjabat sebagai kepala bagian kementerian kehakiman RIS beliau juga menjadi dosen di UI sesuai dengan keahliannya dan sekaligus sebagai dosen Hukum Islam pada tempat yang sama.
8.      Tahun 1951, Hazairin mendirikan Yayasan Wakaf Perguruan Tinggi Islam Jakarta (sekarang UI). Beliau dipercaya menjadi Rektor merangkap sebagai Dekan Fakultas Hukum di universitas tersebut sampai tahun 1968.
9.   Tahun 1952, Hazairin berhasil meraih puncak karirnya dalam dunia pendidikan dengan diangkatnya sebagai Guru Besar dalam bidang Hukum Adat dan Hukum Islam di UI.
10.  Tahun 1962-1975, Hazairin menjadi Ketua Majelis Ilmiah dan sekaligus anggota Dewan Kurator IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.[5]
Hazairin wafat pada tanggal 12 Desember 1975 di Jakarta dan dikebumikan dengan suatu upacara militer di taman makam pahlawan Kalibata, atas jasa-jasanya, pemerintah menganugerahkan kepadanya empat bintang diantaranya: Bintang Satya Kencana, Widya Sista, Bintang Gerilya dan Bhayangkara.[6]
Sebagai seorang pemikir muslim di Indonesia, Hazairin berpendapat bahwa negara dan bangsa Indonesia yang berfalsafat Pancasila dan berkonstitusi UUD 1945, hanya akan mencapai kebahagiaan, adil dan makmur apabila mendapatkan keridaan Tuhan yang Maha Esa. Keridaan Tuhan yang Maha Esa itu baru dapat diwujudkan bila hukum yang berlaku dan diperlakukan di Indonesia adalah syariat agama atau sekurang-kurangnya hukum yang tidak bertentangan dengan  syariat agama.[7]
Dari pemikiran di atas, Hazairin mengecam habis-habisan theorie receptie,[8] yang memandang bahwa hukum Islam yang berlaku di Indonesia adalah hukum Islam yang telah diterima oleh hukum adat, Hazairin menyebut teori ini sebagai “teori iblis”. Bahkan beliau dengan tegas menyatakan bahwa theorie receptie merupakan teori yang memusuhi berlakunya hukum Tuhan di bumi Indonesia.[9]
Berkaitan dengan upaya pembaruan hukum Islam di Indonesia, khususnya mengenai pembagian harta warisan, dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Sunnah, Hazairin berpendapat bahwa pada hakekatnya sistem kewarisan yang terkandung dalam al-Qur’an adalah sistem kewarisan yang bercorak bilateral yaitu sistem dimana setiap orang menghubungkan dirinya dalam hal keturunan kepada ibu dan ayah.[10] Teorinya itu, meskipun bersumber dari al-Qur’an dan terinspirasi atas fenomena bentuk kemasyarakatan yang ada di Indonesia yang berdampak pada pembagian harta warisan, belum banyak dikenal dikalangan masyarakat Indonesia yang umumnya menganut paham sunni, padahal teorinya ini merupakan sesuatu yang baru.
Sebagai seorang ilmuwan, Hazairin meninggalkan beberapa buku yang merupakan buah pemikirannya, di antaranya : Hadist Kewarisan dan Sistem Bilateral, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis, Hendak Kemana Hukum Islam, Demokrasi Pancasila, Indonesia Satu Masjid, Pergolakan Penyesuaian Adat kepada Hukum Islam, dan Hukum Islam dan Masyrakat.[11]

Ditulis oleh: Fikri Noor Al Mubarok
Yogyakarta, 28 Juli 2013

(Bagi para pembaca sekalian yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai rujukan harap sertakan nama penulis).



[1] Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam, (Djambatan, Jakarta, 1992), hlm 314-315.
[2] Ibid.
[3] Ensiklopedi Nasional, (Jakarta : PT. Cipta Adi Pustaka, 1989), VI : 374.
[4] Ibid. 
[5] Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: DEPAG, 1993), hlm 358-359.
[6]Ensiklopedi Nasional, (Jakarta : PT. Cipta Adi Pustaka, 1989), VI : 374.
[7] Ibid. 
[8]Konflik antara fikih kewarisan dan hukum adat masyarakat Indonesia, bukan semata-mata karena faktor “kesadaran hukum”. Campur tangan penguasa kolonial Belanda merupakan unsur penting yang tidak bisa dilepaskan. Sejak akhir abad kesembilan belas upaya pihak kolonial untuk merenggangkan umat Islam dari agamanya semakin digalakkan. Orientalis-orientalis Belanda berupaya menunjukkan bahwa hukum Islam berbeda dan terpisah dari hukum adat (dikenal dengan nama teori receptie). Mereka tidak mau mempertimbangkan bahwa fikih adalah aturan yang harus dilaksanakan umat Islam. Teori ini diambil alih menjadi politik hukum pemerintah kolonial Belanda melalui I.S. 1929: 221. Dalam pasal 134 ditemukan aturan yang maksudnya, fikih hanya diberlakukan oleh hakim agama Islam (pengadilan agama) sejauh dikehedaki oleh hukum adat masyarakat tersebut dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu peraturan. Sejak saat ini sengketa kewarisan antara umat Islam diselesaikan oleh pengadilan negeri berdasar hukum adat (baca: hukum yang bukan Islam). upaya untuk mengubah politik hukum ini telah diusahakan secara intensif oleh para ulama (organisasi umat islam), tetapi tidak berhasil sampai kemasa kemerdekaan. Lihat, Al Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, (Jakarta: INIS, 1998), hlm 32.
[9] Ibid. 
[10] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis (Jakarta : Tintamas, 1982), hlm 11.
[11] Ibid., hlm 315.