Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×

Friday, July 19, 2013

BIOGRAFI HAMKA

BIOGRAFI HAMKA
Oleh: Fikri Noor Al Mubarok



Namanya adalah Abdul Malik, ayahnya bernama Abdul Karim Amrullah. Dengan menggabungkan nama dirinya dan nama ayahnya, dia menyebut namanya sebagai Abdul Malik Karim Amrullah. Setelah dia pulang dari menunaikan ibadah haji tahun 1927, dia menambah gelar “Haji” didepan namanya, sehingga menjadi Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang kemudian disingkat sebagai Hamka. Dalam perjalanan hidupnya sejak pulang menunaikan ibadah haji sampai akhir hayatnya, nama singkatan Hamka itulah yang lebih populer dikenal masyarakat. Bahkan banyak warga masyarakat, di Indonesia maupun di tanah semenanjung melayu, yang mengenal Hamka secara personal ataupun lewat karya-karyanya, namun tidak mengetahui nama itu adalah akronim dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah.

Hamka dilahirkan pada tanggal 13 Muharram 1362 H, yang bertepatan dengan 16 Februari 1908 M, di kampung tanah sirah, termasuk daerah nagari (desa) sungai Batang, di tepi danau Maninjau yang permai.[1] Menurut pengakuan Hamka, berdasarkan cerita yang dia terima dari andung-nya (nenek), ketika dia lahir, ayahnya Syekh Abdul Karim Amrullah Berguman “sepuluh tahun”. Ketika ditanya apa makna sepuluh tahun itu, sang ayah menjawab: “sepuluh tahun dia akan dikirim ke mekkah, supaya dia kelak menjadi orang alim seperti aku pula, seperti neneknya, dan seperti nenek-neneknya yang dulu”.[2] Selama masa hidupnya, Hamka memiliki dua iklim yang mempengaruhi alam bahwa sadar beliau, yaitu tradisi keulamaan keluarganya dan gelora gerakan pembaharuan Islam di daerahnya.

Tahun-tahun ketika Hamka dilahirkan adalah tahun-tahun pergolakan agama di tanah minangkabau. Lahir suatu gerakan pembaruan Islam yang dikenal dengan gerakan Kaum Muda. Gerakan Kaum Muda ini kemudian membentuk organisasi Sumatra Thawalib yang dipelopori oleh empat serangkai: Syekh Taher Jalaluddin, Syekh Muhammad Jamil Jambek, H. Abdul Karim Amrullah, dan Haji Abdullah Ahmad.[3] Gerakan ini adalah gelombang gerakan kedua yang terdapat di Sumatera Barat setelah gerakan Padri.

Tahun 1914, Hamka mengawali belajarnya dengan belajar membaca al-Quran yang dibimbing oleh kakanya sendiri Fatimah. Tahun 1916, ayahnya memasukkan beliau ke sekolah desa yang masuk pagi, dan sekolah diniyah di pasar ujung padang panjang yang masuk sore. Pada malamnya Hamka diperintahkan ayahnya untuk belajar disurau bersama teman-temannya. Begitu masa kanak-kanak beliau yang membuatnya merasa terkekang dan akhirnya semasa kecilnya beliau dikenal sebagai anak yang nakal.[4] Pada tahun 1918, ayahnya memasukkan beliau ke sekolah Thawalib School dengan tujuan agar kelak ia bisa menjadi ulama seperti dirinya. Karena merasa tertekan oleh ayahnya beliau menjadi anak yang semakin nakal, dan puncak kenakalan beliau adalah ketika orang tuanya bercerai pada saat beliau berusia 12 tahun.[5] Akhirnya beliau memilih “lari” dari kehidupan ayahnya dengan merantau ke Jawa. Percobaan pelarian beliau yang pertama kali gagal karena beliau terserang penyakit cacar ditengah perjalanan. Barulah setelah pada tahun 1924, setelah mendapat restu dar ayahnya secara “terpaksa” dari ayahnya, Hamka berhasil mewujudkan niatnya.[6]

Selama masa mudanya Hamka merantau ke berbagai tempat, seperti Yogyakarta dan Pekalongan. Selain itu, ketika beliau merantau, beliau juga bertemu dengan para tokoh Islam, seperti Ja’far Amrullah , Ki Bagus Hadikusumo , H.O.S. Cokroaminoto, Suryapranoto, Haji Fachruddin, A.R. Sultan Mansyur (kaka ipar Hamka yang menikah dengan kakanya Fatimah), Usman Pujoutomo dan Iskandar Idris. Setelah lama merantau Hamka kembali ke tanah kelahirannya, namun kembalinya Hamka tidak direspon baik oleh ayah dan para masyarakatnya. Akhirnya pada tahun 1927, beliau ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu agama. Di sana Hamka bertemu dengan H. Agus Salim dan mendapat nasehat agar ia pulang ke tanah airnya. Seteleh itu, Hamka menuruti nasehat H. Agus salim dan kembali pulang ke tanah airnya.[7]

Selama hidup Hamka, beliau telah menghasilkan karya-karya yang sangat banyak. Diantaranya ada yang berupa artikel diberbagai majalah, surat kabar, dan buku-buku. Antara lain:
1.   Karya-karya beliau telah termaktub di beberapa majalah, seperti Pelita Andalas (terbit di Medan), Kemauan Zaman (Padang Panjang), Pembela Islam (Bandung), dan Suara Muhammadiyah (Yogyakarta).
2.      Tarikh Sayidina Abu Bakar (1929).
3.      Ringkasan Tarikh Islam (1929).
4.      Adat Minangkabau dan Agama Islam (1929).
5.  Tafsir al-Azhar. Tafsir al-azhar ini adalah tafsir bi al-ma’tsur. Tafsir ini disusun dengan menggunakan pola tahlili. Tafsir ini juga termasuk dalam tafsir corak tafsir adabi al-ijtima’i.
Perlu dicatat bahwa Hamka memiliki corak pemikiran yang khas. Pertama, sebagaimana sudah dijelaskan bahwa Hamka lahir dalam suatu keluarga dan dibesarkan dalam lingkungan yang menganut orientasi kegamaan yang berhaluan modernis. Kedua, dari karya-karya tulis bidang keagamaan terlihat bahwa minat utama Hamka adalah pada bidang akhlak-tasawwuf dan akidah, dia sangat sedikit memasuki wilayah pemikiran dalam bidang fiqh.

         Hamka menghembuskan nafas terakhirnya tepat pada pukul 10.41, hari Jumat tanggal 24 Juni 1981, dalam usia 73 tahun lima bulan.[8] Karya-karya beliau selama hidupnya telah menjadi saksi atas kapasitas beliau sebagai seorang ulama, ahli sastra, dan sejarawan. Dua bidang yang disebut pertama telah mendapat pengakuan resmi daria lembaga pendidikan tinggi di dunia Islam. Pada bulan Mei 1959, Majelis Tinggi Universitas Kairo memberikan gelar Doktor Honoris Causa (Ustadziyah Fakriyyah) kepada Hamka atas jasanya dalam pengembangan studi keIslaman. Kemudian pada tanggal 6 Juli 1974, Universitas Kebangsaan Malaysia memberikan gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang kesusastraaan kepada Hamka.[9] Dua gelar yang diterima tersebut diterima beliau ketika beliau tidak memiliki kedudukan politis apapun di negerinya.

Yogyakarta, 14 Mei 2013

(Bagi para pengunjung yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai rujukan silakan sertakan nama penulis pada tulisan anda)


[1] Hamka, Kenang-Kenangan Hidup, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), I:9.
[2] Ibid.
[3] Syekh Abdul Karim menyebutkan kata neneknya karena latar belakang kehidupan beliau yang sistem kekeluargaanya menggunakan sistem matrilinial (penarikan garis keturunan dari pihak si Ibu). Untuk informasi yang lebih luas tentang gerakan kaum muda dan Sumatra Thawalib lihat B.J.O. Schrieke, Pergolakan Agama Di Sumatera Barat: Sebuah Sumbangan Bibilografi, terj. Soegarda Poebakawatja, (Jakarta: Bharata, 1973), hlm 30 dst., Baharuddin Daya, Gerakan Pembaruan Islam: Kasus Sumatra Thawalib, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990).
[4] Hamka., Kenangan…, hlm 24.
[5] Ibid., hlm 44.
[6] Ibid., hlm 84-90.
[7] Rusdi Hamka, Pribadi Dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), hlm 3.
[8] Ibid., hlm 206.
[9] Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1977), hlm 8.

0 comments

Post a Comment