Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×

Saturday, July 20, 2013

RESENSI KITAB Kaifa Nata‘āmmal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyah

RINGKASAN KITAB Kaifa Nata‘āmmal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyah
Oleh: Fikri Noor Al Mubarok


                                         Pendahuluan
Sunah adalah wahyu yang kedua. Ialah penjelas bagi Quran dan sebagai sumber kedua dari penetapan hukum Islam. Oleh sebab itu mengamalkan sunah adalah kewajiban bagi setiap muslim. Namun pada zaman sekarang ini kaum muslimin agak melenceng dalam mengamalkan sunah. Sehingga Dr. Yusuf Qardawi atas permintaan dari al-Mah‘ad al-‘Alami Li al-Fikr al-Islāmī membuat buku yang berjudul Kaifa Nata‘āmmal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyah. Buku ini secara umum menjelaskan tentang prinsip-prinsip dasar dalam berinteraksi dengan sunah, baik dalam pandangan ahli fikih maupun ahli dakwah. Buku ini juga menjelaskan karakteristik serta peraturan umum dalam memahami sunah dengan pemahaman yang benar. Untuk lebih jelasnya disini akan dipaparkan garis besar pembahasan dari buku yang telah beliau tulis ini.

Pembahasan
Seperti dikemukakan diatas bahwa sunah adalah penafsir/penjelas bagi Quran dalam praktek atau penerapan ajaran Islam. oleh sebab itu, siapa saja yang ingin mengetahui tentang metodologi praktis (manhaj) Islam dengan segala karakteristiknya dan pokok-pokok ajarannya, maka hal itu dapat dipelajari secara rinci dan aktual dalam sunah nabawiyah, yakni ucapan, perbuatan, dan persetujuan Nabi saw.

Al-Qardawi mengatakan bahwa sunah Nabi adalah manhaj yang terperinci bagi kehidupan seorang muslim dan masyarakat muslim. Yaitu manhaj yang komperhensif, seimbang dan memudahkan. Adalah kewajiban seorang muslim untuk memahami manhaj nabawi yang terperinci ini, dengan semua ciri khasnya yang komperhensif, saling melengkapi, seimbang dan penuh kemudahan ini.

Beliau juga menyebutkan bahwa ada prinsip dasar dalam berinteraksi dengan sunah nabawiyah. Pertama, meneliti dengan seksama kesahihan hadis meliputi sanad dan matannya. Kedua, memahami nas yang berasal dari Nabi sesuai dengan pengertian bahasa arab dan dalam rangka konteks hadis tersebut turun (sabab al-wurūd). Ketiga, memastikan bahwa nas tersebut tidak bertentangan dengan nas yang lainnya yang lebih kuat kedudukannya, baik itu dari Quran atau dari hadis-hadis yang lebih kuat. Beliau memperingatkan kepada kita bahwa menerima hadis-hadis palsu adalah suatu perbuatan yang berbahaya, apalagi jika ada orang yang menolak suatu hadis sahih hanya karena semata-mata dorongan nafsu, keangkuhan diri ataupun perasaan lebih pintar. Beliau juga mengatakan bahwa kita harus benar-benar teliti dalam memahami suatu hadis. Kita tidak boleh tergesa-gesa memahami suatu hadis sehingga menyebabkan adanya pemahaman yang keliru bahkan terkadang jika makna tersebut tidak dapat diterima oleh akalnya, ia segera menolak hadis tersebut semata-mata karena mengandung makna yang tidak dapat diterimanya itu. Hal ini menurut beliau adalah suatu tindakan yang ngawur!!

Pada bab kedua, beliau menjelaskan beberapa ketentuan-ketentuan tertentu yang harus diketahui oleh para ahli fikih dan ahli dakwah.

Menurut beliau, para ahli fikih haruslah berpegang kepada sunah yang sahih, baik dari segi sanad maupun matan. Beliau mengatakan bahwa biasanya para ahli fikih kurang mengetahui secara mendalam hadis yang dikemukakannya. Terkadang terdapat hadis yang sebetulnya dianggap tidak dapat dijadikan hujah menurut ahli hadis tapi hadis tersebut justru dijadikan hujah para ahli fikih dalam menetapkan suatu hukum. Kemudian beliau memberikan anjuran kepada para ahli fikih agar lebih mendalami ilmu hadis dengan baik. Ini juga berlaku bagi ahli hadis yang kebanyakan dari mereka tidak cukup menguasai fikih dan usul fikih. Karenanya, barang siapa yang ingin mendalami ilmu fikih juga harus mendalami ilmu hadis sehingga kekurangan-kekurangan yang tersebut dapat tertutupi. Dan begitu pula sebaliknya.  

Dalam bidang dakwah, beliau mengatakan bahwa para da’i yang ingin menyampaikan suatu hadis hendaknya ia melihat/merujuk terlebih dahulu kitab-kitab hadis yang mutamad (dapat dijadikan pegangan). Yaitu kitab hadis yang sudah diakui oleh beberapa ulama berisikan hadis-hadis sahih yang dapat dijadikan hujah, seperti sahih al-Bukhāri, sahih muslim, sunan Abi Daud, dll. Al-Qardawi juga mengatakan bahwa seoarang da’i haruslah berhati-hati dalam berdalil dengan hadis.

Beliau memberikan komentar terhadap pendapat yang menyatakan bahwa menyampaikan hadis-hadis dhai’f itu boleh selama dalam hal fadhilah, targhib, tarhib, nasihat-nasihat dan tidak menyangkut masalah halal, haram, mubah, makruh, dan sunah. Beliau mengutip pendapat Ibnu Hajar bahwa untuk dapat diterimanya periwayatan hadis yang lemah ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama, kelemahan tersebut tidak keterlaluan. Kedua, makna hadis tersebut masih dapat digolongkan dalam suatu tema dasar umum yang diakui. Ketiga, pada saat penerapannya hendaknya hadis tersebut dipercayai dengan sikap hati-hati. Setelah itu beliau menambahkan lagi dua syarat yang beliau buat sendiri. Pertama, hadis tersebut tidak mengandung hal-hal yang amat dilebih-lebihkan sehingga ditolak akal, syariat atau bahasa. Kedua, hadis tersebut tidak bertentangan dengan suatu dalil syar’iu lainnya yang lebih kuat dari padanya.

Dalam bab ketiga, dijelaskan beberapa petunjuk dan ketentuan umum dalam memahami sunah dengan baik. Diantaranya adalah:
1.    Memahami sunah sesuai petunjuk Quran.
Untuk memahami sunah dengan pemahaman yang benar dan jauh dari penyimpangan, pemalsuan serta penafsiran yang buruk, maka seharusnya kita memahami sunah dengan petunjuk Quran. Beliau mengatakan bahwa tidak mungkin ada suatu hal yang berkedudukan sebagai penjelas (sunah) bertentangan dengan yang dijelaskan (Quran). Karena itu, tidak mungkin ada suatu hadis sahih yang kandungannya bertentangan dengan isi Quran yang muhkamat. Untuk itu, perlu adanya sebuah penelitian tentang keberlawanan suatu hadis dengan Quran.
2.    Menghimpun hadis-hadis yang memiliki satu tema yang sama.
3.    Al-Jam‘u Wa al-Tarjīh antara hadis-hadis yang nampak bertentangan.
Dalam hal ini beliau mengambil suatu kaidah “pengkompromian didahuluan dari pada pentarjihan”. Jadi apabila terjadi pertentangan antara satu hadis dengan hadis lainnya, maka pertentangan tersebut dapat diselesaikan dengan cara dikompromikan terlbih dahulu tanpa harus memaksakan penggabungan makna tersebut, sehingga kedua hadis tersebut dapat diamalkan. Dan jika cara ini masih belum menyelesaikan pertentangan itu baru pentarjihan itu dilakukan.
4.    Memahami hadis dengan mempertimbangkan asbāb al-wurūd (latar belakang, situasi dan kondisi ketika hadis itu diturunkan, serta tujuan diturunkannya suatu hadis).
Dalam ketentuan ini kita diharuskan untuk mengetahui asbāb al-wurūd dari suatu hadis. Dengan demikian kita dapat terhindar dari berbagai perkiraan yang menyimpang dan terhindar dari pengertian yang tidak sesuai dengan apa yang dikehendahi suatu hadis.
5.    Membedakan sarana yang senantiasa berubah-ubah dan tujuan (maqshad) yang tidak dapat berubah-ubah.
6.    Membedakan antara ungkapan yang bermakna hakīkī dan majāzī dalam memahami suatu hadis.

Kesimpulan

Dari paparan diatas dapat kita simpulkan bahwa ternyata sejak zaman dahulu sampai sekarang ini terdapat beberapa pemahaman yang keliru mengenai suatu hadis. Oleh karenanya al-Qaradhawi berusaha agar pemahaman ini dapat diselesaikan. Buku ini berisi petunjuk-petunjuk bagi setiap kaum muslim yang mendalami agama Islam agar terhidar dari kesalahan-kesalahan yang terjadi dimasa lalu bahkan sampai sekarangpun masih ada yang melakukan kesalahan tersebut. Buku ini juga disampaikan dengan bahasa yang ringan supaya dapat dikonsumsi oleh khalayak umum. Dengan demikian harapan dari al-Qardhawi inipun dapat tercapai kepada seluruh jajaran masyarakat. Disamping itu pula petunjuk-petunjuk yang beliau sampaikan sangatlah bagus, yaitu keharusan berhati-hati dan ketelitian dalam meniliti hadis sehingga kita mampu mendapatkan pemahaman yang benar.

Yogyakarta, 20 Juli 2013

(Bagi para pengunjung yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai rujukan silakan sertakan nama penulis pada tulisan anda) 

0 comments

Post a Comment