Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×

Wednesday, July 24, 2013

POLIGAMI MENURUT AMINA WADUD


Amina Wadud menganggap bahwa perkawinan yang ideal dan lebih disukai adalah monogami. Karena dalam poligami menurut Amina Wadud, mustahil untuk mencapai cita-cita al-Quran berkenaan dengan hubungan mutualis dan membangun di antara mereka rasa cinta dan kasih sayang, ketika suami yang merangkap bapak terbagi di antara lebih dari satu keluarga. Dari pendapat Amina Wadud ini bisa diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya Amina Wadud lebih memilih monogami daripada poligami dalam kehidupan perkawinan yang “norma”.
1.      Tentang ayat poligami
Seperti halnya muslim yang lain, menurut Amina Wadud, satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami adalah Q.S. an-Nisa (4): 3, yaitu
فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث و رباع
Ayat tersebut disayangkan oleh Amina Wadud, karena sering ditafsirkan secara tidak tepat oleh kebanyakan orang, bahkan disalahpahami, terutama oleh mereka yang mendukung poligami, sehingga seakan-akan seseorang dibolehkan begitu saja melakukan poligami tanpa memperhatikan bagaimana konteks ketika turunnya ayat.
Dalam al-Quran maupun keseharian Nabi saw, memelihara anak yatim atau anak yang terlantar selalu mendapatkan perhatian yang besar dan dianggap sangat penting. Perhatikan Q.S. al-Ma’un ayat 1-3 berikut ini:
أرئيت الذي يكذب بالدين  فذلك الذي يدع اليتيم ولا يحض علي طعام المسكين
Ayat diatas merupakan sindiran terhadap orang-orang yang tidak mau memperhatikan nasib dan hak-hak anak yatim dan orang miskin. Bahkan al-Quran menyebutkan mereka sebagai “pendusta agama”. Izin poligami dalam al-Quran, dalam pandangan Amina Wadud, sesungguhnya berkaitan erat dengan masalah ini.
Menurut Ibnu Katsir, sebab turunnya ayat tersebut adalah berkaitan dengan seseorang yang hendak menikahi perempuan yatim, tetapi ia khawatir tidak dapat berlaku adil. Ibnu Katsir mengutip hadis yang diuraikan ‘Aisyah ketika ditanya tentang sebab turunnya ayat an-nisa:3.[1]
أخبرني عروة بن الزبير أنه سأل عائشة عن قول الله تعالى { وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى } قالت: يا ابن أختي  هذه اليتيمة تكون في حجر وليها تَشْرَكه  في ماله ويعجبُه مالها وجمالها، فيريد وليها أن يتزوجها بغير أن يَقْسِط في صداقها فيعطيها مثل ما يعطيها غيره، فنهوا أن ينكحوهن إلا أن يقسطوا لهن، ويبلغُوا بهنَّ أعلى سُنتهنَّ في الصداق
‘Urwah bin az-Zubair mengabari aku bahwa ia pernah bertanya kepada kepada ‘Aisyah tentang ayat “wa in khiftum alla tuqsithu fi al-yatama”. Aisyah menjawab: “Wahai anak saudaraku, perempuan yatim yang berada dalam pengampuan wali ini bersyarikat hartanya, lalu wali itu takjub akan kekayaan dan kecantikannya, kemudian ia hendak menikahonya karena terpesona dengan harta dan kecantikannya dengan memberikan mahar tidak sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, mereka dilarang untuk menikahinya kecuali mampu berbuat adil dan menyempurnakan (melengkapi) maharnya.”
Menurut Amina Wadud, ayat di atas berbicara tentang perlakuan terhadap anak yatim. Sebagian wali laki-laki, yang bertanggung jawab mengelola kekayaan anak-anak yatim perempuan, tidak mampu mencegah dirinya dari ketidakadilan dalam mengelola harta anak yatim. Sesuai firman Allah swt:
وآتوا اليتامى أَموالهم ولا تتدلوا الخبيث بالطيب ولا تأكلوا أموالهم إلى أَموالكم إنه كان حوبا كبيرا[2]
Dengan demikian, menurut Amina Wadud, satu solusi yang dianjurkan untuk mencegah salah kelola adalah dengan mengawini anak yatim tersebut. Pada satu sisi, al-Quran membatasi jumlah istri yang dipoligami sampai empat perempuan. Di sisi lain, tanggung jawab ekonomi untuk menafkahi istri akan sejajar dengan akses ke harta perempuan yatim melalui tanggung jawab manajemen. Namun, kebanyakan pendukung poligami jarang membicarakan poligami dalam konteks merawat anak-anak yatim.
2.      Keadilan sebagai syarat poligami
Bagi para pendukung poligami, satu-satunya ukuran keadilan diantara istri-istri adalah materi. Dapatkah seorang laki-laki secara adil menafkahi lebih dari satu istri? Hal ini merupakan perpanjangan dari gagasan kuno tentang perkawinan untuk penundukan. Keadilan dalam perkawinan untuk penundukan pada masa turunya wahyu didasarkan pada kebutuhan perempuan untuk diberi nafkah materi oleh laki-laki. Laki-laki yang ideal untuk seorang anak perempuan adalah ayahnya, dan untuk anak perempuan dewasa adalah suaminya.
Menurut Amina Wadud, keadilan harus didasarkan pada kualitas waktu dan kesamaan dalam hal kasih sayang, atau pada dukungan spiritual, moral dan intelektual. Berbagai pengertian umum tentang keadilan sosial ini harus dipertimbangkan sebagai bagian dari perlakuan adil terhadap para istri. Jadi, Q.S. an-Nisa(4) ayat 3 berbicara tenntang poligami dengan penekanan syarat keadlian, yaitu berlaku adil, mengelola dana secara adil, adil kepada anak-anak yatim, adil kepada istri-istri dan sebagainya. Keadilan merupakan fokus dari mayoritas tafsir modern tentang poligami.
Dengan mengacu pada firman Allah swt:
ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء
Amina Wadud sepakat dengan banyak mufassir yang menegaskan bahwa monogami adalah tatanan perkawinan yang lebih disukai oleh al-Quran. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan sebagai syarat poligami, dalam pandangan Amina Wadud adalah sulit tercapai, bahkan mungkin mustahil untuk bisa dilaksanakan. Karena ayat diatas dengan tegas mengatakan bahwa manusia tidak akan mampu berbuat adil terhadap para istri, meskipun ia memiliki keinginan yang menggebu untuk berbuat adil.
3.      Tiga pembenaran umum dalam poligami
Berkaitan dengan tiga pembenaran yang selama ini dijadikan alasan untuk memperbolehkan melakukan poligami, menurut Amina Wadud tidak ada dukungan langsung dari al-Quran. Tiga pembenaran umum terhadap poligami tersebut adalah finansial, perempuan mandul dan pengendalian nafsu.
Pertama, alasan finansial. Dalam konteks problem ekonomi seperti pengangguran, seorang laki-laki yang mampu secara finansial harus membiayai lebih dari satu istri. Pola pikir ini mengasumsikan bahwa semua perempuan adalah beban finansial; pelaku reproduksi tapi bukan produsen. Di dunia zaman sekarang, banyak perempuan yang tidak mendapatkan maupun membutuhkan nafkah laki-laki.
Perlu diperhatikan, dewasa ini, asumsi bahwa hanya laki-laki yang bisa bekerja atau menjadi pekerja paling produktif di semua keadaan, sudah tidak bisa lagi diterima. Mengenai kerja diluar rumah, yaitu pekerjaan dengan sistem gaji, pasarnya adalah berdasarkan pada produktivitas, untuk selanjutnya didasarkan pada sejumlah faktor, dan jenis kelamin hanyalah salah satunya. Oleh karena itu, menurut Amina Wadud, poligami bukanlah solusi mudah bagi permasalahan perekonomian yang kompleks.
Kedua, alasan perempuan mandul. Dalam al-Quran tidak ada penjelasan tentang hal ini sebagai alasan untuk berpoligami, sedangkan hasrat untuk mempunyai anak memang hal alami. Jadi kemandulan laki-laki dan kemandulan perempuan seharusnya tidak menjadi halangan bagi mereka untuk menikah maupun untuk mengurus dan mendidik anak.
Amina Wadud mencoba memberikan solusi berkenaan dengan pasangan yang salah satu dari mereka atau kedua-duanya mandul sehingga pasangan ini tidak memiliki anak. Menurutnya, didunia yang sedang perang dan porak poranda, masih terdapat anak-anak yatim muslim (dan non-muslim) yang menantikan uluran cinta dan perawatan dari pasangan suami istri yang tidak memiliki anak. Barang kali, perawatan seluruh anak di dunia ini dapat menjadi agenda kaum muslim mengingat bencana dunia yang masih belum terselesaikan.hubungan darah sendiri memang penting, tapi mungkin menjadi tidak penting kalau dilihat dari segi penilaian akhir tentang kemampuan seseorang untuk merawat dan mengasuh anak.
Ketiga, pengendalian hawa nafsu. Menurut Amina Wadud, selain tidak mempunyai sandaran dalam al-Quran, juga jelas-jelas tidak Qurani karena berusaha menyetujui nafsu laki-laki yang tidak terkendali. Jika kebutuhan seksual seorang laki-laki tidak dapat terpuaskan oleh seorang istri, dia harus mempunyai dua. Jika nafsunya juga belum terpenuhi dengan dua istri, maka dia harus mempunyai tiga hingga empat istri. Baru setelah empat istri, prinsip al-Quran tentang pengendailan diri, kesederhanaan dan kesetiaan dijalankan.
Karena pengendalian diri dan kesetiaan sejak awal telah disyaratkan kepada istri, maka kebajikan-kebajikan moral ini juga penting bagi suami. Al-Quran tidak menekankan suatu tingkatan yang tinggi dan beradab kepada perempuan sembari membiarkan laki-laki berinteraksi dengan manusia lain pada tingkat yang paling rendah. Jika tidak demikian, maka tangung jawab bersama atas khilafah akan diserahkan kepada separuh umat manusia, sedangkan separuhnya lagi masih dekat dengan kondisi binatang.

Ditulis oleh: Fikri Noor Al Mubarok
Yogyakarta, 25 Juli 2013

(Bagi para pembaca yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai rujukan harap menyertakan nama penulis).

[1] Ibu fida’ al-hafiz ibnu katsir, tafsir al-qur’an al-‘adlim, (beirut: dar al-fikr, 1430 H/2009 M), I:407.
[2] Q.S. an-Nisa’(4):2.

0 comments

Post a Comment