Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×

Saturday, July 20, 2013

TRADISI PEMBACAAN AL-QUR’AN DI PEMAKAMAN

 TRADISI PEMBACAAN AL-QUR’AN DI PEMAKAMAN

Studi Kasus Masyarakat Kp. Kalahang Masjid Kab. Pandeglang BANTEN


A.       Pendahuluan
Sejak masa penurunannya hingga kini, al-Qur’an ternyata telah menjadi sebuah kitab yang lebih dari sekedar himpunan pedoman dan ajaran agama. Al-qur’an dianggap sebagai ‘benda hidup’ dengan segala keistimewaannya. Selain itu secara langsung al-Qur’an juga memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu sentrifugal dan gerak sentripetal. Sentrifugal berarti daya dorong al-Qur’an bagi umat Islam untuk melakukan penafsiran dan pengembangan makna atas ayat-ayatnya. Sedangkan sentripetal adalah doronganuntuk merujukkan problematika hidup yang dijumpai umat Islam kepada al-Qur’an.

Kedua gerak yang dalam praksisnya tidak mungkin diurai secara terpisah tersebut menandakan adanya perbedaan atau pluralitas makna yang dikandung al-Qur’an termasuk variabel cara memperlakukannya dalam kehidupan masyarakat.

Kehidupan tidak akan pernah terlepas dengan adanya suatu komunitas. Sebab manusia, makhluk berakal, tidak mungkin bisa hidup tanpa berhubungan dengan makhluk sejenisnya (bermasyarakat) sebab ia berada di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Ia adalah bagian dari masyarakat di mana ia hidup. Maka ketika ia hidup dalam suatu komunitas, ia akan bergaul, bergumul, berselisih dan sebagainya dengan manusia lainnya. 

B.       Deskripsi Kegiatan
Tidak diketahui secara pasti tradisi membaca al-Qur’an pada makam baru ini dinamai dengan apa. Hal ini peneliti temui dalam beberapa wawancara yang penulis lakukan terhadap beberapa sumber. Namun demikian, tradisi ini dipraktekkan secara massive dibeberapa daerah sehingga dapat dipastikan kegiatan ini akan digelar setelah penguburan mayit di pemakaman.

1.    Asal-usul Kegiatan
Seperti namanya yang tidak diketahui secara pasti, asal-usul mengenai kemunculannya pun tidak diketahui secara pasti sejak kapan tepatnya kegiatan ini diadakan. Namun dari hasil wawancara dengan K.H. Muhammad, beliau menjelaskan bahwa tradisi ini memang sudah ada sejak dulu, berawal dari tradisi Hindu yang lebih dahulu masuk dan dianut oleh penduduk Nusantara. Kaitannya dengan tradisi Hindu tersebut, dikisahkan bahwa pada masa tersebut sudah menjadi tradisi setelah mayit dimakamkan maka orang-orang terdekat akan menggelar hal yang disukai mayit selama hidup. Jika si mayit senang berbuat judi, maka pada malam itu juga rekan-rekan dan sanak keluarganya akan mengadakan permainan judi di makam tersebut, apabila kegemaran si mayit semasa hidup menegak minuman keras maka kegiatan yang akan diselenggarakan adalah meminum minuman keras,  begitu juga dengan kegemaran-kegemaran lain yang sering dilakukan si mayit selama hidupnya.

Ketika Islam mulai masuk ke Nusantara, tradisi tersebut tidak berubah. Namun kemudian para da’i yang datang berusaha mengubah hal tersebut, bukan dengan kekerasan tetapi dengan kelembutan dan penuh penghormatan terhadap tradisi yang sudah lebih dulu berkembang. Dan jalan yang ditempuh pada waktu itu, adalah dengan mempertahankan tradisi yang ada, akan tetapi dengan menyisipkan muatan-muatan Islami sehingga para pelaku dan penganut sebelumnya tidak terlalu kaget dengan perubahan yang sedang diupayakan berlangsung terus, dan ibadah yang tepat dimasukkan dalam tradisi tersebut adalah al-Qur’an sehingga kegiatan-kegiatan yang tadinya diisi dengan kegiatan-kegiatan tersebut sedikit demi sedikit dirubah dengan tanpa menghilangkan bentuk asalnya agar masyarakat tidak kaget dengan perubahan yang terlalu drastis.[1]
Stategi dakwah kultural ini ternyata dapat diterima masyarakat karena perubahan yang dilakukan secara halus ini ternyata justru mampu menarik simpati masyarakat sehingga mempermudah proses penyebaran Islam.
2.    Pelaksanaan Kegiatan
Tradisi pembacaan al-Qur’an ini biasa dimulai pada malam setelah pemakaman mayit selesai dilaksanakan. Umumnya keluarga yang ditinggalkan langsung mendirikan tenda yang nantinya akan digunakan oleh orang yang akan menbacakan al-Qur’an, kemudian acara pembacaan diselenggarakan selama empat puluh hari kedepan secara berturut-turut. Pembaca yang ditunjuk pun pada dasarnya tidak ditentukan harus berasal dari golongan tertentu akan tetapi dapat dipastikan memiliki kemampuan cukup baik dalam membaca al-Qur’an, dan biasanya yang ditunjuk adalah para santri.

Prosesi pembacaan pun tidak diorientasikan untuk memperoleh capaian jumlah tertentu dalam mengkhatamkan al-Qur’an sehingga pelaksanaan dapat dilakukan tanpa tekanan. Pembaca yang ditunjuk pun biasanya berjumlah lebih dari enam sehingga pembacaan al-Qur’an dapat dilakukan secara bergantian. Adapun pihak keluarga yang menyelenggarakan hanya memberikan makanan dan minuman sekedarnya selama prosesi pembacaan berlangsung, dan terkait masalah etika, para pembaca tidak diperkenankan meminta imbalan.[2]

3.    Dasar Pelaksanaan
Mengenai hal ini, memang tidak ada perintah khusus yang berbicara mengenai hal pembacaan al-Qur’an pada makam. Akan tetapi sebenarnya permasalahan pokok yang seringkali menjadi perdebatan dalam hal ini adalah sampai-tidaknya pahala yang dihadiahkan kepada mayit. Dan jika dicermati sebenarnya ada beberapa amal yang dinilai mamiliki manfaat terhadap mayit, seperti; do’a dan istigfa>r untuk mayit, sedekah, puasa, haji, shalat, dan membaca al-Qur’an. Lima hal pertama memang disepakati oleh mayoritas ulama kaerna memang ada nas}s} yang berbicara mengenai hal tersebut, dan untuk amal ke enam di sini mulai terjadi perbedaan pendapat namun mayoriatas tetap menganggapnya sampai kepada mayit dengan catatan setelah membaca kemudian menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an tersebut kepada mayit (misalnya dengan membaca Alla>humma aus}il s\awa>ba ma> qara’tuhu ila> fula>n). Sehingga diharapkan dengan pembacaan tersebut, derita yang ditanggung mayit akan berkurang.

قراءة القرآن عند القبر :
اختلف الفقهاء في حكم قراءة القرآن عند القبر، فذهب إلى استحبابها الشافعي ومحمد بن الحسن لتحصيل للميت بركة المجاورة، ووافقهما القاضي عياض والقرافي من المالكية، ويرى أحمد: أنه لا بأس بها. وكرهها مالك وأبو حنيفة لانها لم ترد بها السنة.[3]
قراءة القرآن: وهذا رأي الجمهور من أهل السنة. قال النووي: المشهور من مذهب الشافعي: أنه لا يصل. وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل. فالاختيار أن يقول القارئ بعد فراغه: اللهم أوصل مثل ثواب ما قرأته إلى فلان. وفي المغني لابن قدامة: قال أحمد بن حنبل، الميت يصل إليه كل شئ من الخير، للنصوص الواردة فيه، ولان المسلمين يجتمعون في كل مصر ويقرءون ويهدون لموتاهم من غير نكير، فكان إجماعا.
والقائلون بوصول ثواب القراءة إلى الميت، يشترطون أن لا يأخذ القارئ على قراءته أجرا. فإن أخذ القارئ أجرا على قراءته حرم على المعطي والاخذ ولا ثواب له على قراءته، لما رواه أحمد والطبراني والبيهقي عن عبد الرحمن[4]
C.       Analisis
Dari deskripsi singkat di atas, pada dasarnya apa yang dilakukan oleh masyarakat dibangun atas kesadaran untuk memberikan bantuan kepada mayit dan keluarga yang ditinggalkan. Atas kesadaran tersebut, keluarga yang ditinggalkan justru akan merasa sedih jika sampai tidak ada yang membantu mereka. Namun dalam perjalanannya, tradisi ini sedikit demi mulai mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu.

Dalam pelaksanaannya harus diakui, masyarakat nampaknya tidak menyadari betul dasar-dasar yang digunakan dalam pelaksanaan tradisi ini. Masyarakat hanya memiliki keyakinan bahwa segala hal yang baik jika diperuntukkan kepada orang yang sudah meninggal maka hal tersebut akan membantu meringankan siksa yang ditanggung mayit dalam kubur. Adapun seputar pelaksanaan tradisi membaca al-Qur’an di pemakaman masyarakat hanya termotifasi dengan anggapan bahwa hal tersebut lebih mantap, marem.

Pandangan tersebut dalam kenyataannya masih dipegang oleh sebagian masyarakat, namun sebagian lain tampaknya mulai meninggalkan tradisi tersebut dengan cukup menggelar acara tahlil pada malam hari, beberapa di antaranya tetap menggelar acara pembacaan al-Qur’an tetapi tidak dilaksanakan di pemakaman melainkan di rumah saja dengan tata cara yang sama.

Pada gilirannya, penyelenggaraan tradisi membaca al-Qur’an di pemakaman ini ternyata turut berpengaruh terhadap status sosial keluarga mayit. Mereka yang melaksanakan seringkali dianggap sebagai orang yang memiliki status sosial lebih dan tentunya dan yang lebih pula. Akan tetapi pandangan semacam ini ternyata menjadi boomerang karena dengan munculnya stigma semacam ini orang-orang kemudian menjadi sungkan untuk menggelar tradisi ini, ada kekhawatiran pelaksanaan tradisi tersebut malah tersusupi dengan sikap riya> sehingga hal tersebut malah tidak berfaidah apa-apa bagi mayit sehingga dari hal ini mulai terjadi peralihan tata cara pelaksanaan dari tradisi yang semula dilaksanakan di makam menjadi di rumah namun tetap dengan kegiatan yang sama. Selain itu ada faktor lain yang muncul adalah adanya “mad}ara>t” yang dikhawatirkan terjadi jika pelaksanaan dilakukan di pemakaman.

Adapun konflik antar masyarakat seputar tradisi ini dapat dikatakan tidak ada. Masyarakat lebih cenderung bersikap netral, sehingga jika memang mereka merasa perlu untuk melaksanakan maka mereka akan melaksanakan, akan tetapi jika tidak maka mereka akan mencukupkan dengan tradisi tahlil yang dilaksanakan setiap malam selama empat puluh hari. Konflik justru terjadi di kalangan ulama yang memang tahu perbedaan pendapat seputar penbacaan al-Qur’an yang dihadiahkan kepada mayit.

D.    Kesimpulan dan Penutup
Tradisi pembacaan al-Qur’an pada masyarakat Kp. Kalahang di Kab. Pandeglang sebenarnya sudah berlangsung lama. Meski tidak diketahui secara pasti mengenai asal-usulnya namun tradisi ini dianggap sebagai hasil peranakan antara tradisi hindu dengan tradisi Islam yang datang kemudian.

Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa motif yang mendorong masyarakat untuk melakukan hal tersebut di antaranya adalah perasaan puas dan tentunya untuk meringankan siksa mayit dalam kubur. Tata cara pelaksanaan yang seyogyanya dilangsungkan di pemakaman pun mulai berubah meski secara substansi sama saja, mereka cenderung melaksanakannya di rumah atau cukup dengan acara tahlilan yang biasanya dilakukan selama empat puluh hari.

Kiranya demikian laporan yang dapat disampaikan, tentu tak lepas dari kerbagai kekurangan dan kealpaan, karenanya kritik dan saran konstruktif pembaca sangat diharapkan untuk perbaikan ke depan. Terima kasih.



[1] Wawancara dengan K.H. Muhammad pada tanggal 27 Nopember 2009.
[2] Wawancara dengan Hj. Muthi’ah pada tanggal 27 Nopember 2009
[3] Wawancara dengan K.H. Muhammad pada tanggal 27 Nopember 2009; Lihat juga, Sayyid Sa>biq, Fiqh Sunnah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1973), hlm. 472.
[4] Lihat juga, Sayyid Sa>biq, Fiqh Sunnah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1973), hlm. 479-481.

0 comments

Post a Comment