Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×

Wednesday, July 17, 2013

Fatwa 08-1998_Tahiyat Awal Salat Sunat Empat Rakaat dan Kiri

SALAT TATAWWU’ EMPAT RAKAAT SESUDAH SALAT JUM’AT DAN SALAT MALAM EMPAT RAKAAT DI BULAN RAMADAN APAKAH MEMAKAI TAHIYAT AWAL ATAU TIDAK?
SALAT DAN PUASA YANG PAHALANYA UNTUK ORANG YANG TELAH MENINGGAL DUNIA

Pertanyaan Dari:
Zainal Choiri, No. KTAM 1129-3387-586583, Jl. Gunungkunci, Kartasura, Jawa Tengah 57167

Tanya:
1.      Pada HPT cet. 3, halaman 320 dan 351 perihal salat tatawwu’ empat rakaat sesudah salat Jum’at, mohon dijelaskan apakah memakai tahiyat awal atau tidak? Demikian juga apakah sekali salam atau dua kali salam?
2.      Pada SM No. 4/77/1992 dikemukakan bahwa salat malam di bulan Ramadan dapat dilakukan empat-empat rakaat. Mohon dijelaskan apakah memakai tahiyat awal atau tidak?
3.      Dalam Fiqhus Sunnah cet. 3 jilid 4 tahun 1991 halaman 189-191 terdapat uraian tentang salat, puasa yang pahalanya untuk orang yang telah meninggal dunia. Bagaimana Muhammadiyah menanggapinya?

Jawab:
Melihat tanggal yang tertera pada surat saudara, tampaknya pertanyaan ini sudah cukup lama menginap, mohon maaf apabila baru kali ini bisa dimuat.
Saudara Zainal Choiri, memang sehabis salat Jum’at Nabi saw biasa mengerjakan salat sunat sebanyak empat rakaat atau dua rakaat. Bahwa salat sunat itu empat rakaat, adalah seperti dalam hadis riwayat Jamaah dari Abu Hurairah yang artinya: “Bahwasanya Nabi saw bersabda: apabila salah seorang dari kamu telah selesai mengerjakan salat Jum’at maka hendaklah salat sunnat empat rakaat sesudahnya”. Demikian juga dalam hadis riwayat Muslim, Abu Dawud dan at-Tirmizi disebutkan bahwa salat sunnat ba’da Jum’at itu empat rakaat. Sedangkan dalam hadis riwayat Jama’ah dari Ibnu Umar, disebutkan bahwa Nabi saw sesudah salat Jum’at melakukan salat sunnat dua rakaat di rumahnya.
Dari beberapa riwayat ini dapat diketahui bahwa apabila Nabi saw salat sunnat ba’da Jum’at dilakukan di masjid, beliau mengerjakannya empat rakaat, sedangkan apabila dilakukan di rumah dikerjakan dua rakaat. Apakah yang empat rakaat itu memakai tahiyat awal atau tidak, juga sekali salam atau dua kali salam, kami belum memperoleh dalil yang menjelaskannya lebih lanjut. Hanya saja dari beberapa salat sunnat yang lain, kalau tidak disebutkan secara tegas bahwa empat rakaat itu dengan sekali salam seperti dalam salat tarawih, maka salat sunnat itu dilakukan dua rakaat-dua rakaat, atau empat rakaat dengan dua kali salam (selanjutnya silahkan baca Buku Tanya Jawab Agama, Jilid 4 halaman 121-123, terbitan PP Muhammadiyah Majlis Tarjih).
Untuk pertanyaan Saudara yang kedua, bahwa Salat Lail pada bulan Ramadan selain dilakukan dengan cara dua-dua rakaat, juga dapat dilakukan dengan empat-empat rakaat. Apabila dilakukan secara empat-empat rakaat, tidak memakai tahiyyat awal, melainkan empat rakaat tersebut dikerjakan secara langsung dan tahiyyatnya dilakukan setelah rakaat yang keempat lalu salam. Setelah itu berdiri lagi untuk mengerjakan empat rakaat berikutnya, lalu salam lagi. Selesai mengerjakan delapan rakaat lalu ditambah dengan mengerjakan tiga rakaat lagi. Mengenai shalat lail ini dalam Himpunan Putusan Majelis Tarjih (HPT) halaman 341 disebutkan: “Hendaklah engkau membiasakan shalat malam sesudah shalat Isya hingga menjelang terbit fajar, di dalam maupun di luar bulan Ramadan. Engkau kerjakan 11 rakaat, dua rakaat-dua rakaat atau empat rakaat-empat rakaat, dengan membaca Fatihah dan surat dari al-Qur’an pada tiap-tiap rakaat. Kemudian engkau akhiri tiga rakaat, dengan membaca surat al-A’la sesudah Fatihah pada rakaat pertama, surat al-Kafirun pada raka’at kedua dan surat al-Ikhlas pada rakaat ketiga …”.
Adapun yang dijadikan dasar hukumnya ialah seperti yang Saudara lampirkan dalam surat kepada kami (kutipan dari SM No. 4/77/1992) atau seperti yang dimuat di halaman 347 HPT, yaitu hadis riwayat al-Bukhari, Muslim dari Aisyah sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ حِينَ سُئِلَتْ عَنْ صَلاَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ketika ia ditanya tentang shalat Nabi di bulan Ramadan, Aisyah berkata: Pada bulan Ramadan maupun lainnya Nabi tidak pernah melakukan shalat lebih dari sebelas rakaat, Nabi kerjakan empat rakaat, jangan engkau tanyakan elok dan lamanya, kemudian Nabi kerjakan lagi empat rakaat dan jangan engkau tanyakan elok dan lamanya, lalu Nabi kerjakan lagi tiga rakaat.”
Dalam hadis di atas disebutkan bahwa Nabi mengerjakan shalat lail itu empat rakaat, empat rakaat dan terakhir tiga rakaat. Karena disebutkan empat rakaat-empat rakaat, dengan tidak disebutkan memakai tahiyyat awal, maka shalat lail yang empat rakaat-empat rakaat tersebut dikerjakan dengan tidak melakukan tahiyyat awal. Demikian halnya shalat witir yang tiga rakaat juga tidak memakai tahiyyat awal.
Pertanyaan Saudara yang nomor tiga, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan seperti pertanyaan Saudara ini dan persoalan ini merupakan persoalan klasik. Oleh Tim Fatwa Majlis Tarjih sudah diberikan jawabannya. Untuk itu bisa Saudara baca dalam buku Tanya Jawab Agama jilid II oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih dengan penerbit Suara Muhammadiyah, halaman 197 dan seterusnya. Memang di kalangan ulama sendiri terdapat perbedaan mengenai hal ini. Ada yang berpendapat bahwa menghadiahkan pahala kepada orang yang sudah mati, pahala itu akan sampai kepadanya dan kebanyakan ulama berpendapat bahwa hadiah pahala itu tidak akan sampai.
Dari beberapa jawaban yang dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan Tim Fatwa Majlis Tarjih rnenghadiahkan pahala kepada orang yang sudah meninggal dunia tidak ada dasar hukumnya. Seseorang manusia berdosa adalah karena ulah perbuaran sendiri, bukan karena menanggung dosa orang lain, kecuali kalau memang dia ikut andil dalam perbuatan dosa orang lain tersebut. Demikian sebaliknya bahwa seseorang manusia mendapat pahala dari hasil perbuatannya sendiri dan ia akan menerima pahala dari perbuatan baik orang lain kalau ia mempunyai andil dalam terwujudnya perbuatan baik orang lain tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah surat an-Najm ayat 38-39:
Artinya: “Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
Sejalan dengan ayat di atas ialah apa yang dikemukakan dalam hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu Dawud, at-Turmuzi dan yang lainnya, bahwa Nabi saw bersabda yang artinya: “Barangsiapa mengajak kepada petunjuk (kebaikan) maka ia akan mendapat pahala seperti pahala-pahala yang diberikan kepada orang-orang yang mengikuti ajakannya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala-pahala mereka, dan orang yang mengajak kepada kesesatan maka ia akan menerima dosa seperti dosa orang-orang yang mengikuti ajakannya tanpa mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka itu”.

Mengingat bahwa menghadiahkan pahala dari perbuatan yang kita lakukan untuk orang yang sudah meninggal dunia itu tidak ada landasannya, maka sebaiknya hal itu tidak dilakukan.

0 comments

Post a Comment