Al Yasa dalam disertasinya telah
menyebutkan beberapa pemikiran Hazairin terhadap Hadis. Untuk lebih memudahkan,
pemikiran beliau akan dibuat poin-poin sebagai berikut:
1. Hazairin berpendapat bahwa Rasulullah
saw telah diberikan hak interpretasi berupa memberikan penjelasan dengan
perkataan, perbuatan atau dengan yang lainnya. Kemudian beliau mengatakan bahwa
interpretasi ini adalah hadis yang selanjutnya merupakan suplement bagi
ketetapan Allah,[1] beliau telah menganggap hadis sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari Quran dan menjadi penjelas atau keterangan tambahan
untuknya.
2. Dalam fungsinya hadis tidak
boleh bertentangan dengan al-Quran, baik bertentangan dengan arti zahir maupun
dengan tafsir yang dihasilkan.[2]
3. Lebih dari itu, menurut
Hazairin, hadis mesti dibedakan antara yang bersifat umum dan bersifat
sementara, yaitu yang diberikan Rasulullah dalam ketiadaan atau menunggu
kedatangan wahyu. Tanda utama kesementaraan –disamping pernyataan yang ada
dalam hadis itu sendiri- adalah pertentangan dengan Quran dan hasil tafsirnya
tersebut. Hadis yang bersifat sementara bukanlah tafsir untuk Quran.[3]
4. Hazairin berpendapat terdapat
beberapa hadis yang perlu diabaikan karena ada beberapa hadis yang bertentangan
dengan Quran itu sendiri dan tafsir. Khusus untuk hadis-hadis tentang
kewarisan, beliau mengatakan bahwa hadis-hadis tentang kewarisan tidak ada yang
memenuhi syarat, sehingga tidak bisa diikutsertakan dalam menafsirkan Quran. Mungkin
hal inilah yang menyebabkan beliau memisahkan kajian hadis tentang kewarisan
dalam bukunya, yaitu untuk menunjukkan kesementaraanya atau pertentangannya
dengan Quran.[4]
5. Dalam mengkaji hadis, Hazairin
tidak pernah mempersoalkan sanad dari hadis yang dibicarakan dan juga tidak
memberikan alasannya. Al Yasa dalam disertasinya menyebutkan bahwa hal tersebut
mungkin dikarenakan 2 hal:
a. Keshahihan sanad
itu tidak penting, karena hadis itu sudah sering digunakan para ulama dalam
mengistinbāṭkan hukum. Hazairin hanya ingin
membuktikan bahwa kritik matan harus diberikan karena hadis-hadis tentang
kewarisan itu tidak sejalan dengan Quran.
b. Kekurangtahuan tentang
ilmu-ilmu hadis, khususnya tentang kritik sanad. Dalam buku Hukum Kewarisan
Bilateral Menurut al-Quran dan Hadis, Hazairin banyak mengutip dari kitab Misykāt al-Masābih dan Nail al-Auṭār.
Dalam buku yang terakhir ada uraian tentang sanad. Seandainya Hazairin
mengutip pendapat tentang nilai sanad itu, tentu akan membantu pembaca yang
mengetahui ilmu hadis.[5]
Ditulis Oleh: Fikri Noor Al Mubarok
Yogyakarta, 19 November 2013
(bagi para pembaca sekalian yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai referensi/rujukan harap menuliskan nama penulis)
[1]
Hazairin, Hukum Kewarisan bilateral menurut al-Quran dan Hadis, (Jakarta:
Tintamas, 1982), hlm 63.
[2] Ibid.
[3] Al
Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah : Kajian Perbandingan Terhadap
Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Madzhab, (Jakarta : INIS, 1998), hlm
206.
[4] Ibid.,
hlm 29.
[5] Ibid.,
hlm 67.