Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×

Monday, November 18, 2013

PEMIKIRAN HAZAIRIN TENTANG HADIS

Al Yasa dalam disertasinya telah menyebutkan beberapa pemikiran Hazairin terhadap Hadis. Untuk lebih memudahkan, pemikiran beliau akan dibuat poin-poin sebagai berikut:
        1.      Hazairin berpendapat bahwa Rasulullah saw telah diberikan hak interpretasi berupa memberikan penjelasan dengan perkataan, perbuatan atau dengan yang lainnya. Kemudian beliau mengatakan bahwa interpretasi ini adalah hadis yang selanjutnya merupakan suplement bagi ketetapan Allah,[1] beliau telah menganggap hadis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Quran dan menjadi penjelas atau keterangan tambahan untuknya.
         2.      Dalam fungsinya hadis tidak boleh bertentangan dengan al-Quran, baik bertentangan dengan arti zahir maupun dengan tafsir yang dihasilkan.[2]
3.      Lebih dari itu, menurut Hazairin, hadis mesti dibedakan antara yang bersifat umum dan bersifat sementara, yaitu yang diberikan Rasulullah dalam ketiadaan atau menunggu kedatangan wahyu. Tanda utama kesementaraan –disamping pernyataan yang ada dalam hadis itu sendiri- adalah pertentangan dengan Quran dan hasil tafsirnya tersebut. Hadis yang bersifat sementara bukanlah tafsir untuk Quran.[3]
4.      Hazairin berpendapat terdapat beberapa hadis yang perlu diabaikan karena ada beberapa hadis yang bertentangan dengan Quran itu sendiri dan tafsir. Khusus untuk hadis-hadis tentang kewarisan, beliau mengatakan bahwa hadis-hadis tentang kewarisan tidak ada yang memenuhi syarat, sehingga tidak bisa diikutsertakan dalam menafsirkan Quran. Mungkin hal inilah yang menyebabkan beliau memisahkan kajian hadis tentang kewarisan dalam bukunya, yaitu untuk menunjukkan kesementaraanya atau pertentangannya dengan Quran.[4]
5.      Dalam mengkaji hadis, Hazairin tidak pernah mempersoalkan sanad dari hadis yang dibicarakan dan juga tidak memberikan alasannya. Al Yasa dalam disertasinya menyebutkan bahwa hal tersebut mungkin dikarenakan 2 hal:
a.       Keshahihan sanad itu tidak penting, karena hadis itu sudah sering digunakan para ulama dalam mengistinbāṭkan hukum. Hazairin hanya ingin membuktikan bahwa kritik matan harus diberikan karena hadis-hadis tentang kewarisan itu tidak sejalan dengan Quran.
b.      Kekurangtahuan tentang ilmu-ilmu hadis, khususnya tentang kritik sanad. Dalam buku Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Quran dan Hadis, Hazairin banyak mengutip dari kitab Misykāt al-Masābih dan Nail al-Auṭār. Dalam buku yang terakhir ada uraian tentang sanad. Seandainya Hazairin mengutip pendapat tentang nilai sanad itu, tentu akan membantu pembaca yang mengetahui ilmu hadis.[5]


Ditulis Oleh: Fikri Noor Al Mubarok
Yogyakarta, 19 November 2013

(bagi para pembaca sekalian yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai referensi/rujukan harap menuliskan nama penulis)


[1] Hazairin, Hukum Kewarisan bilateral menurut al-Quran dan Hadis, (Jakarta: Tintamas, 1982), hlm 63.
[2] Ibid.
[3] Al Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah : Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Madzhab, (Jakarta : INIS, 1998), hlm 206.
[4] Ibid., hlm 29.
[5] Ibid., hlm 67.

Tuesday, November 5, 2013

BIOGRAFI SALAHUDDIN IBN AHMAD AL-ADLABI


Penulis telah mencari riwayat hidup beliau, mulai dari kelahiran, riwayat pendidikan dan karya-karya beliau, namun tidak banyak data atau informasi mengenai beliau. Hal ini menurut penulis, karena Salahuddin termasuk ulama yang kurang populer, karena Salahuddin lebih banyak berkonsentrasi pada hadis kaitannya dengan matan, yang dewasa ini, masih kalah perhatiannya dengan kajian sanad hadis.
Adapun informasi yang penulis dapat mengenai beliau, sedikit banyak terdapat pada majalah Ahmadiyah edisi ke-tiga. dalam majalah tersebut al-Adlabi memberikan ulasan mengenai permasalahan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat (Haml Yad al-Yumna ‘ala al-Yusra fi as-Shalah). Dalam tulisan itu dinyatakan bahwa al-Adlabi dengan nama lengkap Shalahuddin ibn Ahmad al-Adlabi adalah seorang dosen pada Fakultas Dirasah al-Islamiyah Wa al-Arabiyah Dubai, juga menjadi pengajar di Universitas Imam Muhammad Su’ud al-Islamyah, Riyadh. Juga mengajar di Fakultas al-Lughah al-‘Arabiyah di Marakisy. Al-Adlabi lahir di Madinah pada tahun 1367 H/ 1948 M. Beliau mendapatkan gelar doktor di bidang Ulum al-Islamiyah wa al-Hadis di Dar al-Hadis dengan predikat Hasan jiddan pada tahun 1401 H/ 1980 M)[1]. Al-Adlabi merupakan ulama yang banyak memberikan pandangan terhadap permasalahan-permasalahan agama ditinjau dari prespektif hadis. Al-Adlabi kemudian lebih dikenal sebagai ulama yang memberi kontribusi besar dalam hal kritik matan hadis.
Sejarah ulum al-Hadis menunjukkan bahwa metode kritik matan pertama kali ditulis dalam karya tersendiri oleh Ibn al-Qayyim (w. 751 H/ 1350 M) dalam bukunya al-Manar al-Munif. Jadi sekitar 400 tahun setelah ulum al-Hadis berkembang. Meski demikian terdapat juga kitab sebelumnya yang secara sepintas menaruh perhatian pada kritik matan, seperti  kitab al-Ilal karya guru Imam Bukhari, Ibn Al-Madani. Namun kitab ini ternyata lebih fokus terhadap kritik sanad. Setelah itu disusul oleh az-Zarkasyi dengan karyanya al-Ijabah fi Ma istadrakathu as-Sayyidah Aisyah Ala as-Shahabah yang lebih bersifat praktis. Namun kedua karya itu sangat terbatas isinya bila dikaitkan dengan kebutuhan praktek kritik studi matan. Kemudian muncullah karya al-Adlabi, Manhaj Naqd al-matan inda Ulama al-Hadis an-Nabawi  (1403 H/ 1983). Buku yang membahas secara mendetail tentang kritik matan dibanding buku-buku lainnya, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa karya ini merupakan penilitan pertama yang relatif lengkap tentang metode kritik matan[2].
Berdasarkan itu, maka diketahui bahwa Shalahuddin bin Ahmad al-Adlabi termasuk ulama khalaf dalam perkembangan ulama hadis, yaitu ulama pada abad ke 19 M. Namun pengaruh yang diberikan oleh karya beliau ternyata cukup signifikan. Besarnya pengaruh karya al-Adlabi ini antara lain bisa dilihat dari munculnya karya-karya dengan topik yang sama di kemudian hari. Misalnya, karya Dr, Musfir Azmullah ad-Damini yang berjudul Maqayis Naqd Mutun as-Sunnah (1404 H/ 1984 M) dan karya Dr. Muhammad Thahir al-Jawabi yang berjudul Juhud al-Muhadditsun Fi Naqd Matn al-Hadis an-Nabawi as-Syarif (1406 H/ 1986 M). bahkan ada kemungkinan disertasi M. Syuhudi Ismail juga terinspirasi oleh karya al-Adlabi itu[3]. Karena sebelum M. Syuhudi Ismail membandingkan antara kritik sanad dalam penelitian hadis dan kritik ekstern dalam penelitian sejarah, al-Adlabi sudah lebih dahulu menyimpulkan bahwa kritik matan yang menjadi objek bahasannya itu sepadan dengan kritik intern menurut para sejarawan[4]. Lebih dari itu, setelah bermunculannya konsep kritik matan karena pengaruh karya al-Adlabi tersebut, ternyata terus memunculkan karya-karya tentang dalalah hadis yang bertumpu pada kritik matan. Misalnya, karya Syaikh Muhammad al-Ghazali yang berjudul as-Sunnah an-Nabawiyah Bain Ahl Fiqh wa Ahl al-Hadis yang sempat menghebohkan itu[5]. Berdasarkan pengaruh yang besar itu, maka tidak salah jika penulis menyatakan bahwa Shalahuddin bin Ahmad al-Adlabi, dengan karyanya Manhaj Naqd al-Matan Inda Ulama al-Hadis an-Nabawi adalah bapak kritik matan yaitu orang yang pertama kali membahas kritik matan secara komperhensif dan lebih mendalam, sama dengan julukan bapak Maqashid as-Syari’ah yang diberikan kepada as-Syatibi dengan karyanya yang fenomenal dalam bidang ushul fiqh “al-Muwafaqat”[6]. Selain karya tersebut, al-Adlabi juga memiliki beberapa tulisan yang dimuat secara berkala dalam bentuk artikel-artikel atau tulisan lepas, di antaranya: Kasyf al-Ma’lum mimma summiya bi silsilah al-ahadits as-Shahih, Hadis la nikaha illa bi waliyyi riwayatan wa dirayatan, ‘Aqaida al-Asya’irah fi Hawari Hadi’I ma’a Syubhat al-Munawi’in, al-Bid’ah al-Mahmudah baina Syubhat al-Mani’in wa istidlalat al-Mujizin, wa tahdid al-Qiblah fi Syimal Amrika Radda bihi ‘ala al-Ahbasy, dan tulisan-tulisan lainnya[7].




[1] Majallah al-Ahmadiyah, Edisi ke-tiga, 1420 H, hlm. 95. Dalam tulisan lain terdapat tambahan berupa nama asli beliau Shalahuddin Ahmad al-Adlabi al-halabi. Beliau juga pernah mengunjungi kanada untuk daurah mengenai ulum al-hadis. Informasi lain menyatakan beliau bermazhab Syafi’iyah, namun beliau tidak fanatik terhadap mazhabnya, sehingga mazhabnya tidak mempengaruhi kajian hadis beliau. Guru yang berpengaruh atas keilmuan beliau adalah Syaikh Abd al-Fatah yaitu ulama yang terkenal sebagai orang yang membandingkan metode ulama mutaqaddimin dan ulama muta’akkhirin dalam penilitan kesahihan hadis. Informasi ini bisa dilihat di http://www.esnady.com/vb/showthread/
[2] Salahuddin Ibn Ahmad al-Adlabi, metode Kritik Matan Hadis, alih bahasa: Ahmad Musyafiq dkk, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2004), hlm. vi
[3] M. Syuhudi Ismail adalah pakar hadis yang memberikan kontribusi besar dalam perkembangan kritik sanad dan kritik intern untuk kritik matan di Indonesia, beberapa bukunya mengenai hadis menjadi pegangan hingga sekarang, dan buku yang menjadi master piece beliau adalah Kaedah Kesahehan Sanad Hadis : Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah.
[4] Salahuddin Ibn Ahmad al-Adlabi, metode Kritik Matan Hadis…, hlm, vii
[5] ibid
[6] Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas; Fiqh al-Aqaliyyât dan evolusi maqâshid as-Syarî'ah dari konsep ke pendekatan, cet. Ke-1 (Yogyakarta, LKIS, 2010), hlm. 200
[7] http://www.esnady.com/vb/showthread/ akses pada, 23:18, 04-01-2013