Jangan Lupa di Like Ya Sobat

×

Saturday, July 27, 2013

BIOGRAFI HAZAIRIN


Nama lengkapnya Prof. Dr. Hazairin Gelar Datuk Pengeran, S.H. Dilahirkan di Bukit Tinggi, Sumatra Barat pada tanggal 28 November 1906. Ayahnya Z. Buhari, berasal dari Bengkulu, dan kakeknya bernama A. Bakar, sedangkan ibunya bernama Rasidah berasal dari Minangkabau, etnis yang terkenal taat beragama.[1]
Ayah Hazairin adalah guru, sementara kakeknya A. Bakar adalah seorang mubalig dan tokoh agama terkenal pada zamannya, oleh karena itu, sejak kecil beliau tumbuh dalam lingkungan yang cinta kepada ilmu pengetahuan dan taat beragama, beliau tampil sebagai seorang ilmuan yang begitu intens terhadap nilai-nilai keagamaan.[2]
Awal pendidikan formalnya dimulai dari HIS (Hollands Inlandsche School) di Bengkulu dan tamat pada pada tahun 1920. Setelah tamat dari HIS, beliau kemudian melanjutkan ke MULO (Meer Uigebreid Loger Onderwijs) di Padang dan setelah itu melanjutkan ke AMS (Algement Middelbare School) di Bandung, dan tamat pada tahun 1927. Dari Bandung kemudian Hazairin pindah ke Batavia (Jakarta) dan melanjutkan pendidikannya di Rechts Hogheschool (Sekolah Tinggi Ilmu Hukum) dan meraih gelar sarjana pada tahun 1935. Pada 29 Mei 1936 beliau meraih gelar Doktor setelah berhasil mempertahankan desertasinya yang berjudul De Rejang, yaitu sebuah karya yang membahas adat istiadat Rejang di Bengkulu. Karya ini merupakan salah satu faktor yang mengantarkannya sebagai seorang ahli hukum adat.[3]
Namun di sisi lain, sebagai buah dari pendidikan agama yang beliau terima dari kakek dan ayahnya di waktu kecil, telah menimbulkan minat besar pada dirinya untuk mendalami ilmu agama, terutama dalam bidang ilmu fikih. Ketekunannya dalam melakukan telaah terhadap hukum Islam ini telah menghantarkannya menjadi seorang tokoh intelektual muslim, hal ini dibuktikannya dengan lahirnya beberapa karya dibidang ini, dan menjadi seorang ahli hukum Islam dan adat terkemuka di Indonesia.[4]
Dalam kehidupannya beliau memiliki karir pekerjaan diantaranya:
1.      Tahun 1935, menjadi asisten dari Prof. B. Teer Haar dalam bidang Hukum Adat dan Etnologi di UI.
2.      Tahun 1948-1942, menjadi PNS di Pengadilan Negeri Sidempuan dan Pegawai Penyidik Hukum Adat di Tapanuli Selatan.
3.      Tahun 1945-1946, menjadi ketua di Pengadilan Negeri Tapanuli Selatan, merangkap ketua Komite Nasional Indonesia.
4.      Tahun1946, menjadi asisten Residen Sibolga, kemudian dipindahkan menjadi wakil Gubernur Militer Sumatra Selatan.
5.      Tahun 1948, Hazairin memulai karir politiknya ketika ia bergabung kedalam Partai Indonesia Raya. Lewat partai ini pula Hazairin menduduki jabatan Menteri Dalam Negeri pada kabinet Ali Sostromidjojo.
6.      Tahun 1950-1953, Hazairin menjabat kepala bagian hukum sipil kemeterian kehakiman RIS.
7.      Tahun 1950, disamping menjabat sebagai kepala bagian kementerian kehakiman RIS beliau juga menjadi dosen di UI sesuai dengan keahliannya dan sekaligus sebagai dosen Hukum Islam pada tempat yang sama.
8.      Tahun 1951, Hazairin mendirikan Yayasan Wakaf Perguruan Tinggi Islam Jakarta (sekarang UI). Beliau dipercaya menjadi Rektor merangkap sebagai Dekan Fakultas Hukum di universitas tersebut sampai tahun 1968.
9.   Tahun 1952, Hazairin berhasil meraih puncak karirnya dalam dunia pendidikan dengan diangkatnya sebagai Guru Besar dalam bidang Hukum Adat dan Hukum Islam di UI.
10.  Tahun 1962-1975, Hazairin menjadi Ketua Majelis Ilmiah dan sekaligus anggota Dewan Kurator IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.[5]
Hazairin wafat pada tanggal 12 Desember 1975 di Jakarta dan dikebumikan dengan suatu upacara militer di taman makam pahlawan Kalibata, atas jasa-jasanya, pemerintah menganugerahkan kepadanya empat bintang diantaranya: Bintang Satya Kencana, Widya Sista, Bintang Gerilya dan Bhayangkara.[6]
Sebagai seorang pemikir muslim di Indonesia, Hazairin berpendapat bahwa negara dan bangsa Indonesia yang berfalsafat Pancasila dan berkonstitusi UUD 1945, hanya akan mencapai kebahagiaan, adil dan makmur apabila mendapatkan keridaan Tuhan yang Maha Esa. Keridaan Tuhan yang Maha Esa itu baru dapat diwujudkan bila hukum yang berlaku dan diperlakukan di Indonesia adalah syariat agama atau sekurang-kurangnya hukum yang tidak bertentangan dengan  syariat agama.[7]
Dari pemikiran di atas, Hazairin mengecam habis-habisan theorie receptie,[8] yang memandang bahwa hukum Islam yang berlaku di Indonesia adalah hukum Islam yang telah diterima oleh hukum adat, Hazairin menyebut teori ini sebagai “teori iblis”. Bahkan beliau dengan tegas menyatakan bahwa theorie receptie merupakan teori yang memusuhi berlakunya hukum Tuhan di bumi Indonesia.[9]
Berkaitan dengan upaya pembaruan hukum Islam di Indonesia, khususnya mengenai pembagian harta warisan, dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Sunnah, Hazairin berpendapat bahwa pada hakekatnya sistem kewarisan yang terkandung dalam al-Qur’an adalah sistem kewarisan yang bercorak bilateral yaitu sistem dimana setiap orang menghubungkan dirinya dalam hal keturunan kepada ibu dan ayah.[10] Teorinya itu, meskipun bersumber dari al-Qur’an dan terinspirasi atas fenomena bentuk kemasyarakatan yang ada di Indonesia yang berdampak pada pembagian harta warisan, belum banyak dikenal dikalangan masyarakat Indonesia yang umumnya menganut paham sunni, padahal teorinya ini merupakan sesuatu yang baru.
Sebagai seorang ilmuwan, Hazairin meninggalkan beberapa buku yang merupakan buah pemikirannya, di antaranya : Hadist Kewarisan dan Sistem Bilateral, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis, Hendak Kemana Hukum Islam, Demokrasi Pancasila, Indonesia Satu Masjid, Pergolakan Penyesuaian Adat kepada Hukum Islam, dan Hukum Islam dan Masyrakat.[11]

Ditulis oleh: Fikri Noor Al Mubarok
Yogyakarta, 28 Juli 2013

(Bagi para pembaca sekalian yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai rujukan harap sertakan nama penulis).



[1] Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam, (Djambatan, Jakarta, 1992), hlm 314-315.
[2] Ibid.
[3] Ensiklopedi Nasional, (Jakarta : PT. Cipta Adi Pustaka, 1989), VI : 374.
[4] Ibid. 
[5] Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: DEPAG, 1993), hlm 358-359.
[6]Ensiklopedi Nasional, (Jakarta : PT. Cipta Adi Pustaka, 1989), VI : 374.
[7] Ibid. 
[8]Konflik antara fikih kewarisan dan hukum adat masyarakat Indonesia, bukan semata-mata karena faktor “kesadaran hukum”. Campur tangan penguasa kolonial Belanda merupakan unsur penting yang tidak bisa dilepaskan. Sejak akhir abad kesembilan belas upaya pihak kolonial untuk merenggangkan umat Islam dari agamanya semakin digalakkan. Orientalis-orientalis Belanda berupaya menunjukkan bahwa hukum Islam berbeda dan terpisah dari hukum adat (dikenal dengan nama teori receptie). Mereka tidak mau mempertimbangkan bahwa fikih adalah aturan yang harus dilaksanakan umat Islam. Teori ini diambil alih menjadi politik hukum pemerintah kolonial Belanda melalui I.S. 1929: 221. Dalam pasal 134 ditemukan aturan yang maksudnya, fikih hanya diberlakukan oleh hakim agama Islam (pengadilan agama) sejauh dikehedaki oleh hukum adat masyarakat tersebut dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu peraturan. Sejak saat ini sengketa kewarisan antara umat Islam diselesaikan oleh pengadilan negeri berdasar hukum adat (baca: hukum yang bukan Islam). upaya untuk mengubah politik hukum ini telah diusahakan secara intensif oleh para ulama (organisasi umat islam), tetapi tidak berhasil sampai kemasa kemerdekaan. Lihat, Al Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, (Jakarta: INIS, 1998), hlm 32.
[9] Ibid. 
[10] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis (Jakarta : Tintamas, 1982), hlm 11.
[11] Ibid., hlm 315.

Wednesday, July 24, 2013

POLIGAMI MENURUT AMINA WADUD


Amina Wadud menganggap bahwa perkawinan yang ideal dan lebih disukai adalah monogami. Karena dalam poligami menurut Amina Wadud, mustahil untuk mencapai cita-cita al-Quran berkenaan dengan hubungan mutualis dan membangun di antara mereka rasa cinta dan kasih sayang, ketika suami yang merangkap bapak terbagi di antara lebih dari satu keluarga. Dari pendapat Amina Wadud ini bisa diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya Amina Wadud lebih memilih monogami daripada poligami dalam kehidupan perkawinan yang “norma”.
1.      Tentang ayat poligami
Seperti halnya muslim yang lain, menurut Amina Wadud, satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami adalah Q.S. an-Nisa (4): 3, yaitu
فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث و رباع
Ayat tersebut disayangkan oleh Amina Wadud, karena sering ditafsirkan secara tidak tepat oleh kebanyakan orang, bahkan disalahpahami, terutama oleh mereka yang mendukung poligami, sehingga seakan-akan seseorang dibolehkan begitu saja melakukan poligami tanpa memperhatikan bagaimana konteks ketika turunnya ayat.
Dalam al-Quran maupun keseharian Nabi saw, memelihara anak yatim atau anak yang terlantar selalu mendapatkan perhatian yang besar dan dianggap sangat penting. Perhatikan Q.S. al-Ma’un ayat 1-3 berikut ini:
أرئيت الذي يكذب بالدين  فذلك الذي يدع اليتيم ولا يحض علي طعام المسكين
Ayat diatas merupakan sindiran terhadap orang-orang yang tidak mau memperhatikan nasib dan hak-hak anak yatim dan orang miskin. Bahkan al-Quran menyebutkan mereka sebagai “pendusta agama”. Izin poligami dalam al-Quran, dalam pandangan Amina Wadud, sesungguhnya berkaitan erat dengan masalah ini.
Menurut Ibnu Katsir, sebab turunnya ayat tersebut adalah berkaitan dengan seseorang yang hendak menikahi perempuan yatim, tetapi ia khawatir tidak dapat berlaku adil. Ibnu Katsir mengutip hadis yang diuraikan ‘Aisyah ketika ditanya tentang sebab turunnya ayat an-nisa:3.[1]
أخبرني عروة بن الزبير أنه سأل عائشة عن قول الله تعالى { وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى } قالت: يا ابن أختي  هذه اليتيمة تكون في حجر وليها تَشْرَكه  في ماله ويعجبُه مالها وجمالها، فيريد وليها أن يتزوجها بغير أن يَقْسِط في صداقها فيعطيها مثل ما يعطيها غيره، فنهوا أن ينكحوهن إلا أن يقسطوا لهن، ويبلغُوا بهنَّ أعلى سُنتهنَّ في الصداق
‘Urwah bin az-Zubair mengabari aku bahwa ia pernah bertanya kepada kepada ‘Aisyah tentang ayat “wa in khiftum alla tuqsithu fi al-yatama”. Aisyah menjawab: “Wahai anak saudaraku, perempuan yatim yang berada dalam pengampuan wali ini bersyarikat hartanya, lalu wali itu takjub akan kekayaan dan kecantikannya, kemudian ia hendak menikahonya karena terpesona dengan harta dan kecantikannya dengan memberikan mahar tidak sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, mereka dilarang untuk menikahinya kecuali mampu berbuat adil dan menyempurnakan (melengkapi) maharnya.”
Menurut Amina Wadud, ayat di atas berbicara tentang perlakuan terhadap anak yatim. Sebagian wali laki-laki, yang bertanggung jawab mengelola kekayaan anak-anak yatim perempuan, tidak mampu mencegah dirinya dari ketidakadilan dalam mengelola harta anak yatim. Sesuai firman Allah swt:
وآتوا اليتامى أَموالهم ولا تتدلوا الخبيث بالطيب ولا تأكلوا أموالهم إلى أَموالكم إنه كان حوبا كبيرا[2]
Dengan demikian, menurut Amina Wadud, satu solusi yang dianjurkan untuk mencegah salah kelola adalah dengan mengawini anak yatim tersebut. Pada satu sisi, al-Quran membatasi jumlah istri yang dipoligami sampai empat perempuan. Di sisi lain, tanggung jawab ekonomi untuk menafkahi istri akan sejajar dengan akses ke harta perempuan yatim melalui tanggung jawab manajemen. Namun, kebanyakan pendukung poligami jarang membicarakan poligami dalam konteks merawat anak-anak yatim.
2.      Keadilan sebagai syarat poligami
Bagi para pendukung poligami, satu-satunya ukuran keadilan diantara istri-istri adalah materi. Dapatkah seorang laki-laki secara adil menafkahi lebih dari satu istri? Hal ini merupakan perpanjangan dari gagasan kuno tentang perkawinan untuk penundukan. Keadilan dalam perkawinan untuk penundukan pada masa turunya wahyu didasarkan pada kebutuhan perempuan untuk diberi nafkah materi oleh laki-laki. Laki-laki yang ideal untuk seorang anak perempuan adalah ayahnya, dan untuk anak perempuan dewasa adalah suaminya.
Menurut Amina Wadud, keadilan harus didasarkan pada kualitas waktu dan kesamaan dalam hal kasih sayang, atau pada dukungan spiritual, moral dan intelektual. Berbagai pengertian umum tentang keadilan sosial ini harus dipertimbangkan sebagai bagian dari perlakuan adil terhadap para istri. Jadi, Q.S. an-Nisa(4) ayat 3 berbicara tenntang poligami dengan penekanan syarat keadlian, yaitu berlaku adil, mengelola dana secara adil, adil kepada anak-anak yatim, adil kepada istri-istri dan sebagainya. Keadilan merupakan fokus dari mayoritas tafsir modern tentang poligami.
Dengan mengacu pada firman Allah swt:
ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء
Amina Wadud sepakat dengan banyak mufassir yang menegaskan bahwa monogami adalah tatanan perkawinan yang lebih disukai oleh al-Quran. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan sebagai syarat poligami, dalam pandangan Amina Wadud adalah sulit tercapai, bahkan mungkin mustahil untuk bisa dilaksanakan. Karena ayat diatas dengan tegas mengatakan bahwa manusia tidak akan mampu berbuat adil terhadap para istri, meskipun ia memiliki keinginan yang menggebu untuk berbuat adil.
3.      Tiga pembenaran umum dalam poligami
Berkaitan dengan tiga pembenaran yang selama ini dijadikan alasan untuk memperbolehkan melakukan poligami, menurut Amina Wadud tidak ada dukungan langsung dari al-Quran. Tiga pembenaran umum terhadap poligami tersebut adalah finansial, perempuan mandul dan pengendalian nafsu.
Pertama, alasan finansial. Dalam konteks problem ekonomi seperti pengangguran, seorang laki-laki yang mampu secara finansial harus membiayai lebih dari satu istri. Pola pikir ini mengasumsikan bahwa semua perempuan adalah beban finansial; pelaku reproduksi tapi bukan produsen. Di dunia zaman sekarang, banyak perempuan yang tidak mendapatkan maupun membutuhkan nafkah laki-laki.
Perlu diperhatikan, dewasa ini, asumsi bahwa hanya laki-laki yang bisa bekerja atau menjadi pekerja paling produktif di semua keadaan, sudah tidak bisa lagi diterima. Mengenai kerja diluar rumah, yaitu pekerjaan dengan sistem gaji, pasarnya adalah berdasarkan pada produktivitas, untuk selanjutnya didasarkan pada sejumlah faktor, dan jenis kelamin hanyalah salah satunya. Oleh karena itu, menurut Amina Wadud, poligami bukanlah solusi mudah bagi permasalahan perekonomian yang kompleks.
Kedua, alasan perempuan mandul. Dalam al-Quran tidak ada penjelasan tentang hal ini sebagai alasan untuk berpoligami, sedangkan hasrat untuk mempunyai anak memang hal alami. Jadi kemandulan laki-laki dan kemandulan perempuan seharusnya tidak menjadi halangan bagi mereka untuk menikah maupun untuk mengurus dan mendidik anak.
Amina Wadud mencoba memberikan solusi berkenaan dengan pasangan yang salah satu dari mereka atau kedua-duanya mandul sehingga pasangan ini tidak memiliki anak. Menurutnya, didunia yang sedang perang dan porak poranda, masih terdapat anak-anak yatim muslim (dan non-muslim) yang menantikan uluran cinta dan perawatan dari pasangan suami istri yang tidak memiliki anak. Barang kali, perawatan seluruh anak di dunia ini dapat menjadi agenda kaum muslim mengingat bencana dunia yang masih belum terselesaikan.hubungan darah sendiri memang penting, tapi mungkin menjadi tidak penting kalau dilihat dari segi penilaian akhir tentang kemampuan seseorang untuk merawat dan mengasuh anak.
Ketiga, pengendalian hawa nafsu. Menurut Amina Wadud, selain tidak mempunyai sandaran dalam al-Quran, juga jelas-jelas tidak Qurani karena berusaha menyetujui nafsu laki-laki yang tidak terkendali. Jika kebutuhan seksual seorang laki-laki tidak dapat terpuaskan oleh seorang istri, dia harus mempunyai dua. Jika nafsunya juga belum terpenuhi dengan dua istri, maka dia harus mempunyai tiga hingga empat istri. Baru setelah empat istri, prinsip al-Quran tentang pengendailan diri, kesederhanaan dan kesetiaan dijalankan.
Karena pengendalian diri dan kesetiaan sejak awal telah disyaratkan kepada istri, maka kebajikan-kebajikan moral ini juga penting bagi suami. Al-Quran tidak menekankan suatu tingkatan yang tinggi dan beradab kepada perempuan sembari membiarkan laki-laki berinteraksi dengan manusia lain pada tingkat yang paling rendah. Jika tidak demikian, maka tangung jawab bersama atas khilafah akan diserahkan kepada separuh umat manusia, sedangkan separuhnya lagi masih dekat dengan kondisi binatang.

Ditulis oleh: Fikri Noor Al Mubarok
Yogyakarta, 25 Juli 2013

(Bagi para pembaca yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai rujukan harap menyertakan nama penulis).

[1] Ibu fida’ al-hafiz ibnu katsir, tafsir al-qur’an al-‘adlim, (beirut: dar al-fikr, 1430 H/2009 M), I:407.
[2] Q.S. an-Nisa’(4):2.

Tuesday, July 23, 2013

BIOGRAFI AMINA WADUD



Siapa yang tidak kenal dengan Amina Wadud. seorang tokoh Feminis di abad 21 ini telah memberikan sumbangan pemikirannya yang sangat kontrofersial. Banyak pemikiran-pemikiran beliau yang bertentangan dengan apa yang telah ada dan diyakini oleh para umat muslim di dunia. Tanpa berpanjang lebar lagi, berikut akan dipaparkan BIOGRAFI AMINA WADUD serta alur perjalanan hidupnya. 
Belum ada penulis yang membahas biografi Amina Wadud secara lengkap. Biografinya hanya memuat sedikitnya karya-karya ilmiah beliau yang sampai di Indonesia. Berkaitan dengan tempat kelahirannya, juga masih terjadi ketidakjelasan. Charlez Kurzman mencatat bahwa Amina Wadud dilahirkan di Amerika Serikat pada tahun 1952. Berbeda dengan apa yang dicatat oleh Indun Fanani bahwa Amina Wadud dilahirkan di Malaysia pada tahun 1952. Sejak kecil, ia gemar membaca. Meskipun demikian, ia tidak terlalu terpesona dengan cerita-cerita yang bertemakan “gadis yang diselamatkan” dan “laki-laki pemberani”. Tetapi ia terpesona dengan kata-kata yang mampu memberikan makna dan dimensi, kata-kata yang mampu memberikan (mempengaruhi) tujuan terhadap kehidupan pribadinya.
Pendidikan dasar hingga perguruan tingginya diselesaikan di Malaysia dan memperoleh gelar sarjana di Universitas Antar Bangsa. Pada tahun 1986, Amina Wadud memulai studi masternya di Michigan University dan diselesaikan pada tahun 1989. Saat ini, Amina Wadud adalah seorang profesor di Universitas Commonwealth di Richmond, Virginia. Selain itu, ia menjadi seorang peneliti dan dosen tamu pada sekolah Divinity Harvard sehingga kehidupannya banyak diwarnai dengan riset-riset pada almamaternya.
Sebagai seorang teolog dan aktivis, Amina Wadud telah melakukan kunjungan secara ekstensif, yang meliputi kunjungan secara Nasional maupun Internasional dalam lingkungan  akademis dan keagamaan. Karyanya yang berjudul Quran And Women: Rereading The Sacres Text From A Woman’s Perspektif  telah mengantarkannya sebagai seorang intelektual muslimah yang dikenal secara Internasional.
Sejak muda, Amina Wadud dikenal sebagai tokoh yang aktif di Non Goverment Organization (NGO/LSM) yang peduli secara intensif memperjuangkan hak-hak wanita, baik berkaitan dengan pendidikan, pekerjaan, dan relasi-relasi yang lain. Keterlibatannya yang intensif dan keperduliannya yang jauh tersebut, telah membawa dampak pada dirinya sendiri, yaitu penokohan dan pembawa gerbong feminisme, karena ia penancap tembok bagi lahirnya feminisme baru di negaranya.
Amina Wadud juga aktif di organisasi ISTAC, sebuah organisasi yang bertujuan untuk menghidupkan kembali kajian Islam yang bersifat meta modern, yang dipimpin oleh Nuqaib Alatan. Organisasi ini kemudian dijadikan master plan oleh organisasi Konferensi Islam Alternatif (KIA). Selain itu ia juga menjabat sebagai anggota penasehat PMU (Progressive Muslim Union of North America) yang didanai oleh Kecia Ali, sebuah organisasi penelitian tentang program perempuan dalam kajian agama yang berada di Harvard Divinity School.
Sebagai seorang feminis yang berkecimpung dalam wacana pembahasan perempuan, Amina Wadud ingin mencoba mendobrak dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam segala hal. KeingInannya tersebut didasarkan atas asumsi bahwa al-Quran merupakan sumber nilai tertinggi yang secara adil mendudukkan laki-laki dan perempuan secara setara (equal).
Salah satu contoh adalah tindakan kontroversial yang dilakukan pada pertengahan maret 2005. Amina Wadud menjadi Imam sekaligus Khatib dalam shalat Jumat di Synod House at The Cathedral of St. John The Divine, salah satu gereja di Manhattan, New York, dan diakui oleh sekitar seratus orang jamaah laki-laki dan perempuan.
Adapun karya Amina Wadud yang merupakan master piecenya adalah Quran and Women: Rereading The Sacred Text From a Women’s Perspective. Karya monumentalnya ini merupakan satu-satunya karya yang menjelaskan pokok-pokok Pemikiran Amina Wadud tentang cara membaca (menafsirkan) ayat-ayat al-Quran, terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah perempuan serta contoh-contoh aplikatif terhadap metodologi dan pendekatan yang digunakannya dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran.
Menurut Charles Kurzman, penelitian Amina Wadud tentang perempuan dalam al-Quran tersebut merupakan hasil kombinasi bacaan-bacaan tentang gender di dalam al-Quran dengan pengalaman kaum perempuan Afrika-Amerika untuk berpendapat bahwa perintah-perintah Islam harus ditafsirkan dalam hubungannya dengan keadaan historis yang spesifik.
Amina Wadud menuturkan bahwa karyanya tersebut terwujud melalui dua tahap perkembangan. Pertama, ketika ia sedang menyelesaikan studi tingkat sarjana di Universitas Michigan antara tahun 1986-1989. Meskipun tidak mengalami banyak hambatan, namun proyek awal ini tidak mendapatkan dukungan antusias kecuali dukungan dari Dr. Alton Becker (Pete). Kedua, ketika ia datang ke Malaysia pada tahun 1989. Disini ia bertemu dengan Dr. Chandra Muzaffar yang kemudian banyak memberikan masukan-masukan kepadanya terhadap karyanya ini.
Selain telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia pada tahun 1992 dan 2001, buku tersebut telah diterjmahkan ke dalam Bahasa Turki pada tahun 1997 dan Bahasa Arab pada tahun 1996. Karya Amina Wadud ini dipakai sebagai buku rujukan pada mata kuliah yang berhubungan dengan gender dan Islam serta Islam dan modernitas di berbagai Universitas di Barat.
Selain karyanya tersebut, ada juga artikel-artikel lainnya, semisal Quran and Women yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul al-Quran dan Perempuan. Artikel ini merupakan entery point dari karya master piece diatas. Artikel lainnya adalah In Search of a Women’s Voice in Quranic Hermeneutics. Artikel ini ditulis Amina Wadud dengan dua tujuan, yaitu pertama, menghadapi tantangan mainstream yang selama ini digunakan dalam diskursus Islam yang selalu memarjinalkan atau menolak manfaat dan keuntungan dari pendapat perempuan. Kedua, untuk memperluas potensi pemahaman pribadi di antara orang-orang Islam.


Yogyakarta, 24 Juli 2013
Ditulis oleh: Fikri Noor Al Mubarok

(Bagi pembaca yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai rujukan silakan menyertakan nama penulis artikel berikut.)

BERBUKA PUASA KARENA MENJALANKAN UMRAH





 س: المسافر إذا وصل مكة صائماً فهل يفطر ليتقوى على أداء العمرة؟
Pertanyaan:

Seorang musafir ketika tiba di Mekkah dalam kondisi berpuasa, apakah dibolehkan berbuka untuk menguatkan stamina ketika menunaikan ibadah umrah?


فأجاب فضيلته بقوله: النبي صلى الله عليه وسلم دخل مكة عام الفتح في اليوم العشرين من رمضان، وكان صلى الله عليه وسلم مفطراً، وكان يصلي ركعتين في أهل مكة، ويقول لهم: «يا أهل مكة أتموا فإنا قوم سفر»،
Jawaban Syekh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin:
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk kota Mekkah pada tahun Penaklukan (Mekkah), itu terjadi pada hari kedua puluh Ramadhan. Beliau dalam kondisi berbuka puasa. Lalu beliau shalat dua rakaat menjadi imam bagi penduduk Mekkah, kemudian beliau bersabda: “Wahai penduduk Mekkah, sempurnakan (shalat anda semua) karena sesungguhnya kami adalah kaum yang sedang safar.”
وقد ذكر شيخ الإسلام ابن تيمية وابن كثير ـ رحمهما الله ـ أن النبي صلى الله عليه وسلم كان مفطراً في ذلك العام، أي أنه أفطر عشرة أيام في مكة في غزوة الفتح،
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu Katsir rahimahumallaah menyebutkan bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi berbuka pada tahun itu. Yakni beliau berbuka sepuluh hari di Mekkah dalam saat Penaklukan (Mekkah).
وفي صحيح البخاري عن ابن عباس ـ رضي الله عنهما ـ قال: «لم يزل مفطراً حتى انسلخ الشهر»
Dalam Shahih Bukhari, dari shahabat Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhuma, dia berkata, “Beliau terus berbuka sampai bulan berakhir.” (HR. al-Bukhari, no. 1944)


كما أنه بلا شك كان يصلي ركعتين في هذه المدة؛ لأنه كان مسافراً، فلا ينقطع سفر المعتمر بوصوله إلى مكة، فلا يلزمه الإمساك إذا قدم مفطراً، بل قد نقول له: الأفضل إذا كان ذلك أقوى على أداء العمرة أن لا تصوم، مادمت إذا أديت العمرة تعبت،
Juga tidak diragukan bahwa beliau shalat dua rakaat dalam rentang waktu tersebut karena beliau musafir. Safarnya orang yang melaksanakan umrah tidak terputus dengan tibanya dia di Mekkah. Maka dia tidak diharuskan menahan (makan dan minum serta berjima) jika datang dalam kondisi berbuka. Bahkan kami katakan kepadanya, yang lebih utama, jika berbuka lebih menguatkan dalam menunaikan umrah maka anda jangan berpuasa, selama jika anda menunaikan umrah (dalam keadaan puasa) merasa sangat letih. 
وقد يكون بعض الناس مستمرًّا على صيامه حتى في السفر، نظراً لأن الصيام في السفر في الوقت الحاضر ليس به مشقة، فيستمر في سفره صائماً، ثم يقدم مكة ويكون متعباً، فيقول في نفسه: هل أستمر على صيام، أو أؤجل أداء العمرة إلى ما بعد الفطر؟ أي إلى الليل، أو الأفضل أن أفطر لأجل أن أؤدي العمرة فور وصولي إلى مكة؟ نقول له في هذه الحال: الأفضل أن تفطر حتى لو كنت صائماً فأفطر لأجل أن تؤدي العمرة فور وصولك؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا دخل مكة وهو في النسك بادر إلى المسجد، حتى كان ينيخ راحلته صلى الله عليه وسلم عند المسجد، ويدخله حتى يؤدي النسك الذي كان متلبساً به صلى الله عليه وسلم،
Terkadang ada sebagian orang terus menunaikan puasa meskipun dalam safar. Karena puasa pada masa sekarang tidak merasakan kepayahan, maka dia meneruskan puasa dalam safarnya. Namun, ketika tiba di Mekkah dalam kondisi letih. Lalu dia bertanya-tanya kepada dirinya: “Apakah saya lanjutkan puasa dan menunda umrah setelah berbuka? Yakni sampai malam. Atau lebih utama saya berbuka agar dapat menunaikan umrah langsung setelah tiba di Mekkah?.” Kami katakan kepadanya, dalam kondisi seperti ini, lebih baik anda berbuka, meskipun anda sebelumnya berpuasa, maka berbukalah. Agar dapat menunaikan umrah langsung ketika anda tiba di Mekakah. Karena Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya kalau tiba di Mekkah dalam keadaan ibadah (umrah atau haji) beliau bersegera menuju masjid, dan menambatkan hewan tunggangannya di Masjid, lalu beliau memasuki masjid agar dapat menunaikan manasik yang sedang beliau sallallahu ‘alaihi wa sallam tunaikan.
فكونك تفطر لتؤدي العمرة بنشاط في النهار أفضل من كونك تبقى صائماً، ثم إذا أفطرت في الليل قضيت عمرتك
Jika anda berbuka dengan tujuan agar kuat dalam menunaikan umroh dengan semangat di waktu siang hari, lebih baik dibandingkan anda tetap berpuasa, kemudian sesudah berbuka waktu malam, baru anda menunaikan umrah anda.
وقد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم كان صائماً في سفره لغزوة الفتح، فجاء إليه أناس فقالوا: يا رسول الله إن الناس قد شق عليهم الصيام، وإنهم ينتظرون ماذا تفعل؟ وكان هذا بعد العصر، فدعا النبي صلى الله عليه وسلم بماء فشرب، والناس ينظرون، فأفطر صلى الله عليه وسلم في أثناء السفر، بل أفطر في آخر اليوم، كل هذا من أجل أن لا يشق الإنسان على نفسه بالصيام
Terdapat riwayat shahih dari Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau dalam kondisi berpuasa ketika safar saat penaklukan Mekkah. Kemudian orang-orang datang kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya orang-orang mengalami kepayahan dalam berpuasa, dan mereka menunggu apa yang akan anda lakukan?” Hal ini terjadi setelah Ashar. Kemudian Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam meminta air, lalu beliau meminumnya dengan disaksikan orang-orang. Beliau sallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka di tengah perjalanan, bahkan beliau berbuka pada penghujung hari. Semua ini beliau lakukan agar tidak membuat orang kepayahan karena melihat dirinya berpuasa.


وتكلف بعض الناس في الصوم في السفر مع المشقة لا شك أنه خلاف السنة، وإنه ينطبق عليهم قول النبي صلى الله عليه وسلم: “ليس من البر الصيام في السفر.”
Sebagian orang memaksakan berpuasa dalam safar walau kepayahan. Tidak diragukan lagi ini menyalahi sunnah, dan dia terkena sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Bukan merupakan suatu kebaikan berpuasa dalam safar.” 
(Lihat: Majmu Fatawa Syekh Muhammad bin Shalih Utsaimin, Fataawaa Shiyaam, hal. 138-139). 

(Tulisan berikut adalah tulisan dari ust Ridwan Hamidi yang saya dapatkan dari situs beliau).

Monday, July 22, 2013

MEMAHAMI HADIS TENTANG MENIKAH DENGAN SEORANG PERAWAN (1)

Hadist tentang Menikah dengan Seorang Perawan 
Kajian Sanad Hadis





حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً فَأَتَيْتُ النَّبِىَّ ص م فَقَالَ « أَتَزَوَّجْتَ يَا جَابِرُ ». فَقُلْتُ نَعَمْ. فَقَالَ « بِكْرًا أَمْ ثَيِّبًا ». فَقُلْتُ لاَ بَلْ ثَيِّبًا. فَقَالَ « هَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ ». فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَبْدَ اللَّهِ مَاتَ وَتَرَكَ سَبْعَ بَنَاتٍ أَوْ تِسْعًا فَجِئْتُ بِمَنْ يَقُومُ عَلَيْهِنَّ. قَالَ فَدَعَا لِى
(رواه الترمذي, 1106)[1]

A.    Jābir bin ‘Abdillah
1.      Sumber
Al-Hāfidz Jamāl ad-Dīn Abū Hajjāj Yūsuf al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl Fī ‘Asmā‘ ar-Rijāl,  (Beirut: Mu’assisah ar-Risālah, tth), 4: 443.
Nama lengkap
-          Jābir bin ‘Abdillāh bin ‘Amr bin Harām bin Tsa‘labah bin Ka‘ab bin Ghanm bin Ka’ab bin Salimah bin Sa’ad bin ‘Alī bin ‘Asad bin Sāridah bin Tazīd, bin Jusyam bin al-Khazraj al-Anshārī al-Khazrajī as-Salamī Abū ‘Abdillāh.
-          Abū ‘Abdirrahmān
-          Abū Muhammad al-Madanī.
Laqab/kunyah
-
Lahir/wafat/kurun hidup
Wafat 68/72/73/77/78/79/94 H
Guru-gurunya
Terdapat 20 guru. Antara lain: Nabi saw, Khālid bin al-Wālid, Thalhah bin ‘Ubaidillāh, ‘Abdullāh bin Unais, dll.
Murid-muridnya
Terdapat 103 murid. Antara lain: ‘Amr bin Dīnār, ‘Īsā bin Jāriyah al-Anshārī, al-Fadl bin Mubasysyar, dll.
Penilaian ulama
­­­-
2.      Sumber
Al-Hāfidz Syihāb ad-Dīn Ahmad bin ‘Alī Ibnu Hajar al-‘Asqalānī, Tahdzīb at-Tahdzīb, (Beirut: Mu’assisat ar-Risālah, tth), 1:281-282.
Nama lengkap
-          Jābir bin ‘Abdillāh bin ‘Amr bin Harām bin Tsa‘labah al-Khazrajī as-Salamī Abū ‘Abdillāh
-          Abū ‘Abdirrahmān
-          Abū Muhammad   
Laqab/kunyah
-
Lahir/wafat/kurun hidup
Wafat 73/77/93, dan 78[2]

Guru-gurunya
Terdapat 18 guru. Antara lain: Nabi saw, Abū Bakar, ‘Umar, ‘Alī, Abū ‘Ubaid, dll.
Murid-muridnya
Terapat 31 murid. Antara lain: Abū Zubair, ‘Amr bin Dīnār, Abū Ja’far al-Bāqir, dll.
Penilaian ulama
-
3.      Sumber
‘Abdul Ghaffār Sulaimān al-Bandārī, Mausū’ah Rijāl Kutub at-Tis’ah, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), 1:226-227.
Nama lengkap
Jābir bin ‘Abdillāh bin ‘Amr bin Harām bin Tsa’labah
Laqab/kunyah[3]           
Abū ‘Abdillāh, Abū ‘Abdirrahmān, Abū Muhammad, al-Jarāmī, al-Khazrajī, as-Salamī, al-Anshārī.  
Lahir/wafat/kurun hidup
73/77/78 H.
Guru-gurunya            
-
Murid-muridnya
-
Penilaian ulama
-
Analisis
Kitab Tahdzīb al-Kamāl Fī ‘Asmā‘ ar-Rijāl menyebutkan nama lengkap yang sangat detail dengan menyertakan 15 keturunan. Sedangkan kitab Tahdzīb at-Tahdzīb dan Mausū’ah Rijāl Kutub at-Tis’ah cenderung lebih ringkas dengan menyebutkan 4 keturunan saja.
Kitab Tahdzīb al-Kamāl Fī ‘Asmā‘ ar-Rijāl dan Tahdzīb at-Tahdzīb tidak menyebutkan laqab dan kunyah secara khusus. Berbeda dengan kitab Mausū’ah Rijāl Kutub at-Tis’ah yang menyebutkan laqab dan kunyah secara khusus. Tapi kitab pertama menyebutkan laqab dan kunyahnya ketika menyebutkan nama lengkap perawi tersebut.
Tentang permasalahan tahun wafat kitab Tahdzīb al-Kamāl memberikan tahun wafat yang lebih banyak dengan yang lainnya yang mayoritas menyebutkan 73/77/78 H. Kitab Tahdzīb at-Tahdzīb juga menyebutkan tahun wafat yang berbeda dengan yang lainnya (93 H). Dan dalam hal ini Ibnu Hajar al-‘Asqalānī memilih tahun 78 H.
Didalam kitab Mausū’ah Rijāl Kutub at-Tis’ah juga memiliki ciri khusus, yaitu tidak menyebutkan guru dan murid dari tiap-tiap perawi yang disebutkan.
Penulis juga berasumsi bahwa semua sahabat adalah adil (ash-shahābat kulluhum ‘udul) sehingga tidak perlu menyebutkan jarh dan ta’dīlnya.
B.     ‘Amr bin Dīnār
1.      Sumber
Al-Hāfidz Jamāl ad-Dīn Abū Hajjāj Yūsuf al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl Fī ‘Asmā‘ ar-Rijāl,  (Beirut: Mu’assisah ar-Risālah, tth), 22:5-12.
Nama lengkap
‘Amr bin Dīnār al-Makkī, Abū Muhammad al-Atsrām al-Jumahī  
Laqab/kunyah
-

Lahir/wafat/kurun hidup
Wafat 125/126/129 H.
Guru-gurunya
Terdapat dari 63 guru. Antara lain: Jābir bin ‘Abdillāh al-Anshārī, Dzakwān Abī Shālih as-Sammān, Sālim bin Syawwāl, dll.
Murid-muridnya
Terdapat dari 50 murid. Antara lain: Hammād bin Zaid, Hammād bin Salamah, Dāwud bin ‘Abdirrahmān al-‘Aththār, dll.
Penilaian ulama[4]
Abū Zar’ah, Abū Hātim dan an-Nasā’ī berkata: tsiqah; an-Nasā’ī menambahkan tsabit.
2.      Sumber
Al-Hāfidz Syihāb ad-Dīn Ahmad bin ‘Alī Ibnu Hajar al-‘Asqalānī, Tahdzīb at-Tahdzīb, (Beirut: Mu’assisat ar-Risālah, tth), 3:268-269
Nama lengkap
‘Amr bin Dīnār al-Makkī, Abū Muhammad al-Atsrām al-Jumahi.
Laqab/kunyah
-
Lahir/wafat/kurun hidup
Wafat 125/6 H
Guru-gurunya
Terdapat dari 36 guru. Antara lain: Ibnu ‘Abbās, Ibnu az-Zubair, Ibnu ‘Umar, Jābir bin ‘Abdullāh, dll.
Murid-muridnya
Terdapat dari 24 murid lebih.[5] Antara lain: Qatādah, Abū ‘Awānah, Manshūr bin Zādzān, al-Hammādān,[6] as-Sufyānān, dll.
Penilaian ulama
An-Nasā’ī mengatakan: tsiqah tsabit; Abū Zar’ah dan Abū Hātim mengatakan: tsiqah; Ibnu Hajar, Ibnu ‘Uyainah dan ‘Amr bin Jarīr berkata: tsiqah, tsabit, banyak hadisnya, shadūq, ‘ālim, dan beliau adalah salah satu muftī Mekkah pada zamannya; Ibnu Hibbān juga menyebutkannya dalam kitab ats-Tsiqāt
3.      Sumber
‘Abdul Ghaffār Sulaimān al-Bandārī, Mausū’ah Rijāl Kutub at-Tis’ah, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), 3:142.
Nama lengkap
‘Amr bin Dīnār
Laqab/kunyah
Abū Muhammad, al-Makī, al-‘Atsram, al-Jumahī, al-Yamanī
Lahir/wafat/kurun hidup
Wafat 125/126 H
Guru-gurunya
-
Murid-muridnya
-
Penilaian ulama
Tsiqah tsabit
Analisis
Kitab Tahdzīb al-Kamāl Fī ‘Asmā‘ ar-Rijāl dan Tahdzīb at-Tahdzīb menyebutkan nama lengkap beliau dengan nama yang sama, sedangkan kitab Mausū’ah Rijāl Kutub at-Tis’ah hanya menyebutkan nama beliau dengan singkat yang kemudian disertai laqab dan kunyahnya.  Kitab Tahdzīb at-Tahdzīb dan Mausū’ah Rijāl Kutub at-Tis’ah memberikan tahun wafat yang sama, yaitu antara 125/126 H, sedangkan kitab Tahdzīb al-Kamāl Fī ‘Asmā‘ ar-Rijāl juga sama namun memberikan tambahan tahun 129 H.
Dalam kitab Tahdzīb al-Kamāl Fī ‘Asmā‘ ar-Rijāl hanya menyebutkan dua pendapat ulama, kitab Tahdzīb at-Tahdzīb cenderung lebih banyak menyebutkan penilaian para ulama dengan menyebutkan tujuh pendapat termasuk pendapat dari pengarang kitab tersebut, sedangkan dalam kitab Mausū’ah Rijāl Kutub at-Tis’ah hanya memuat satu pendapat, tapi dalam kitab tersebut tidak disebutkan nama ulama yang memberikan penilaian tersebut dan ini juga terjadi dalam semua penilaian ulama terhadap rawi-rawi lain..
Dalam ketiga kitab tersebut mayoritas penilaian ulama termasuk dalam kategori peringkat ta’dīl yang kedua, sedangkan minoritas penilaian ulama termasuk dalam kategori peringkat ta’dīl yang ketiga.
C.     Hammād bin Zaid
1.      Sumber
Al-Hāfidz Jamāl ad-Dīn Abū Hajjāj Yūsuf al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl Fī ‘Asmā‘ ar-Rijāl,  (Beirut: Mu’assisah ar-Risālah, tth), 7:239-252.
Nama lengkap
Hammād bin Zaid bin Dirhām al-Azdī al-Jahdlamī, Abū Ismā’īl al-Bashrī al-Azraqī.
Laqab/kunyah            
-
Lahir/wafat/kurun hidup
-          Lahir pada zaman ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azīz
-          Lahir 98 H wafat 179 H
-          Wafat hari Jum’at 10 Ramadlan
-          Wafat hari Jum’at 19 Ramadlan
Guru-gurunya
Terdapat dari 98 guru. Antara lain: ‘Umar bin ‘Utsmān al-Makhzūmī, ‘Amr bin Dīnār al-Makkī, ‘Amr bin Dīnār al-Bashrī, Qahramān Āli az-Zubair, dll.
Murid-muridnya
Terdapat dari 104 murid. Antara lain: Qutaibah bin Sa’īd, Laits bin Hammād ash-Shaffār, Laits bin Khālid al-Bakhlī, dll.
Penilaian ulama
Dalam kitab ini tidak disebutkan jarh dan ta’dīl tentang beliau. Tapi dalam kitab ini beliau sering dibandingkan dengan Hammād bin Salamah. Dan Hammād bin Zaid lah yang lebih banyak dan lebih sahih  dalam periwayatan hadis. Selain itu  beliau juga dibandingkan dengan Ismā’īl bin ‘Ulayyah dan Sufyān bin ats-Tsaurī, dan beliau adalah orang yang lebih dipilih pendapatnya.
Informasi lain[7]
Beliau adalah orang yang buta. Beliau juga menjadi Imam di Bashrah pada zamannya; ‘Amr bin ‘Alī berkata: beliau adalah salah satu dari 4 Imam hadis pada zamannya.
2.      Sumber
Al-Hāfidz Syihāb ad-Dīn Ahmad bin ‘Alī Ibnu Hajar al-‘Asqalānī, Tahdzīb at-Tahdzīb, (Beirut: Mu’assisat ar-Risālah, tth), 1:480-481.
Nama lengkap
Hammād bin Zaid bin Dirhām al-Azdī al-Jahdlamī, Abū Ismā’īl al-Bashrī al-Azraqī.
Laqab/kunyah
-
Lahir/wafat/kurun hidup
Lahir 98 H dan wafat Ramadlan 179 H. (81 tahun).
Guru-gurunya
Terdapat dari 15 guru lebih. Antara lain: ‘Amr bin Dīnār, Hisyām bin ‘Urwah, ‘Ubaidillāh bin ‘Umar, dll.
Murid-muridnya
Terdapat dari 20 murid. Antara lain: Qutaibah, Muhammad bin Zubair al-Makkī, ‘Amr bin ‘Auf, dll.
Penilaian ulama
Muhammad bin Sa’d berkata: beliau itu tsiqah tsabit dan dapat dijadikan hujjah dalam hadis yang diriwayatkannya. Ibnu Hibbān menyebutkannya dalam kitab ats-Tsiqāt. al-Khalīlī berkata: tsiqah muttafaqalaih.
Informasi lain
Ibnu Manjawaih dan Ibnu Hibbān berkata: beliau adalah orang yang buta;  Rustah berkata: beliau adalah salah seorang Imam pada zamannya di Bashrah;  Ibnu Hajar berkata bahwa beliau adalah orang yang buta tapi kebutaan beliau terjadi di masa hidup beliau, tidak sejak dilahirkan.
3.      Sumber
‘Abdul Ghaffār Sulaimān al-Bandārī, Mausū’ah Rijāl Kutub at-Tis’ah, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), 1:385.
Nama lengkap
Hammād bin Zaid bin Dirhām (Ibn Abī Ziyād)
Laqab/kunyah
Abū Ismā’īl, al-Azdī, al-Jahdlamī al-Basharī, al-Azraqī.
Lahir/wafat/kurun hidup
Wafat 179 H (81 tahun)
Guru-gurunya
-
Murid-muridnya
-
Penilaian ulama
Tsiqah tsabit faqīh
Informasi lain
Beliau adalah orang yang buta tapi barang kali kebutaan beliau terjadi di masa hidup beliau, tidak sejak dilahirkan. Karena beliau dalam suatu riwayat dikatakan bahwa beliau pernah menulis.
Analisis
Ketiga kitab yang penulis ambil bersepakat dalam atau dengan memberikan masa hidup dan tahun wafat yang sama. Namun kitab Mausū’ah Rijāl Kutub at-Tis’ah tidak secara khusus menyebutkan tahun lahir beliau.
Kitab Tahdzīb al-Kamāl Fī ‘Asmā‘ ar-Rijāl tidak menyebutkan penilaian ulama mengenai beliau namun beliau menyebutkan riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa para kritikus hadis sangat mengutamakan beliau, dan dalam kitab ini juga disebutkan bahwa beliau adalah salah satu dari Imam hadis pada zamannya yang menunjukkan bahwa beliau adalah orang yang termasuk dalam kategori rawi yang di ta’dīl.
Dalam kitab Tahdzīb at-Tahdzīb telah disebutkan tiga penilaian ulama yang semuanya termasuk dalam kategori peringkat ta’dīl yang kedua, dan ini juga sama dengan yang disebutkan dalam kitab Mausū’ah Rijāl Kutub at-Tis’ah. Masalah kebutaan beliau telah dijawab dalam kitab Mausū’ah Rijāl Kutub at-Tis’ah bahwa dalam suatu riwayat ada yang menyebutkan bahwa beliau pernah menulis dan ini menunjukkan bahwa beliau pada saat itu bisa melihat. Kebutaan beliau itu tidaklah dari sejak lahir tapi terjadi pada masa hidupnya, tapi ketiga kitab tersebut tidak menyebutkan secara pasti sejak kapan beliau mengalami kebutaan.
D.    Qutaibah
1.      Sumber
Al-Hāfidz Jamāl ad-Dīn Abū Hajjāj Yūsuf al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl Fī ‘Asmā‘ ar-Rijāl,  (Beirut: Mu’assisah ar-Risālah, tth), 23:523-537
Nama lengkap
-          Qutaibah bin Sa’īd bin Jamīl bin Tharīf bin ‘Abdillāh ats-Tsaqafī, Abu Rajā‘ al-Balkhī al-Baghlānī.
-          Yahyā bin Sa’īd
-          ‘Alī
Laqab/kunyah
Qutaibah
Lahir/wafat/kurun hidup
-          Lahir 150 H dan wafat hari ke-2  Sya’ban 240 H (90 tahun)
-          Lahir 148 H dan wafat 240 H .
Guru-gurunya
Terdapat dari 112 guru. Antara lain: Hammād bin Zaid, Hammād bin Yahyā al-‘Abah, Humaid bin ‘Abdurrahmān ar-Ru’āsī, dll.
Murid-muridnya
Terdapat dari 47 guru. Antara lain: al-Jamā’ah[8] kecuali Ibnu Mājah, Ibrāhīm bin Ishāq al-Harbī, Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Sa’īd ad-Dārimī, dll.
Penilaian ulama
Ahmad bin Abī Khaitsamah, Yahyā bin Ma’īn, Abū Hātim dan an-Nasā’ī berkata: tsiqah; an-Nasa’i menambahkan: shadūq; Ibnu Khirās berkata: shadūq; al-Faharyānī berkata: Qutaibah adalah shadūq.
2.      Sumber
Al-Hāfidz Syihāb ad-Dīn Ahmad bin ‘Alī Ibnu Hajar al-‘Asqalānī, Tahdzīb at-Tahdzīb, (Beirut: Mu’assisat ar-Risālah, tth), 3:431.
Nama lengkap
-          Qutaibah bin Sa’īd bin Jamīl bin Tharīf bin ‘Abdillāh ats-Tsaqafī
-          Yahyā
-          ‘Alī
Laqab/kunyah
Qutaibah.
Lahir/wafat/kurun hidup
Lahir 150 H dan wafat 2 Sya’ban 240 H.[9] (90 tahun).
Guru-gurunya
Terdapat dari 43 guru. Antara lain: Hammād bin Zaid, ‘Abdullāh bin Zaid bin Aslam, ‘Abdul Wārits bin Sa’īd, dll.
Murid-muridnya
Terdapat dari 30 lebih. Antara lain: at-Tirmidzī, Ahmad bin Sa’īd ad-Dārimi, Abū Bakar bin Abī Syaibah, dll.
Penilaian ulama
Ibnu Mu’īn, Abū Hātim, an-Nasā’ī berkata: tsiqah; an-Nasā’ī menambahkan shadūq; al-Faharyānī berkata: Qutaibah adalah shadūq; al-Hākim berkata: tsiqah ma’mūn; Ibnu Hibbān menyebutkannya dalam kitab ats-Tsiqāt.
3.      Sumber
‘Abdul Ghaffār Sulaimān al-Bandārī, Mausū’ah Rijāl Kutub at-Tis’ah, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth),  3:269.
Nama lengkap 
-          Qutaibah bin Sa’īd bin Jamīl bin Tharīf bin ‘Abdillāh.
-          Yahyā
-          ‘Alī
-          Qabīshah bin Sa’īd bin Humaid
Laqab/kunyah
Abu Rajā‘, Ats-Tsaqafī, al-Balkhī, al-Buqāl.
Lahir/wafat/kurun hidup
240/241 H.
Guru-gurunya
-
Murid-muridnya
-
Penilaian ulama
Tsiqah tsabit
Analisis
Tiga kitab di atas menyebutkan nama lengkap dan nama lain Qutaibah secara sama. Tapi kitab Mausū’ah Rijāl Kutub at-Tis’ah menambahkan dengan nama lain Qabīshah bin Sa’īd bin Humaid.
Dalam memberikan laqab dan kunyah kitab pertama dan kedua saling bersepakat. Sedangkan kitab ketiga berselisih dengan tidak menganggap nama Qutaibah sebagai laqab/kunyah dan cenderung menyebutkan nama-nama lain sebagai  laqab/kunyah perawi di atas.
Mengenai tahun kelahiran kitab pertama dan kedua bersepakat menyebutkan tahun 150 H. Dan tanggal dan bulan wafat 2 Sya’ban.
Mayoritas ketiga kitab di atas juga menyebutkan tahun wafat yang sama, yaitu 240 H. Walaupun dalam kitab Mausū’ah Rijāl Kutub at-Tis’ah menambahkan dengan 241 H.
Kitab Tahdzīb al-Kamāl Fī ‘Asmā‘ ar-Rijāl menyebutkan enam pendapat ulama dengan empat penilaian ulama yang terkategori ta’dīl peringkat ketiga dan dua penilaian ulama yang terkategori ta’dīl peringkat keempat. Kitab Tahdzīb at-Tahdzīb juga menyebutkan enam pendapat ulama yang semuanya menta’dīl beliau dengan satu penilaian dalam peringkat kedua, empat penilaian dalam peringkat ketiga, dan satu penilaian dalam peringkat keempat. Sedangkan kitab  Mausū’ah Rijāl Kutub at-Tis’ah memasukkan beliau dalam kategori ta’dīl peringkat kedua.
E.     At-Tirmidzī
1.      Sumber
Al-Hāfidz Jamāl ad-Dīn Abū Hajjāj Yūsuf al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl Fī ‘Asmā‘ ar-Rijāl,  (Beirut: Mu’assisah ar-Risālah, tth), 26:250-252.
Nama lengkap
-          Muhammad bin ‘Īsā bin Saurah bin Mūsā bin adl-Dlahāk
-          Muhammad bin ‘Īsā bin Yazīd bin Saurah bin as-Sakan as-Sulamī, Abū ‘Īsā at-Tirmidzī adl-Dlarīri al-Hāfidz..
Laqab/kunyah
-
Lahir/wafat/kurun hidup
Wafat hari Senin malam 13 Rajab 279 H.
Guru-gurunya
-
Murid-muridnya
Terdapat dari 25 lebih. Antara lain: Ahmad bin Yūsuf an-Nasafī, Abū al-Hārits Asad bin Hamdawaih, al-Husain bin Yūsuf al-Farabrī, dll.
Penilaian ulama
Ibnu Hibbān menyebutkannya dalam kitab ats-Tsiqāt dan mengatakan bahwa beliau adalah orang yang mengumpulkan dan menyusun kitab hadis.
2.      Sumber
Al-Hāfidz Syihāb ad-Dīn Ahmad bin ‘Alī Ibnu Hajar al-‘Asqalānī, Tahdzīb at-Tahdzīb, (Beirut: Mu’assisat ar-Risālah, tth), 3:668-669.
Nama lengkap
Muhammad bin ‘Īsā bin Saurah bin Mūsā bin adl-Dlahāk Ibnu as-Sakan, as-Sulamī, Abū ‘Īsā at-Tirmidzī
Laqab/kunyah
-
Lahir/wafat/kurun hidup
Wafat bulan Rajab 279 H.
Guru-gurunya
-
Murid-muridnya
Terdapat dari 12 lebih. Antara lain: Ahmad bin Yūsuf an-Nasafī, Abū al-Hārits Asad bin Hamdawaih, Dāwud bin Nashr bin Suhail, dll.
Penilaian ulama
Ibnu Hibbān menyebutkannya dalam kitab ats-Tsiqāt; Ibnu Hajar dan al-Khalīlī berkata: tsiqah muttafaq ‘alaih.
3.      Sumber
‘Abdul Ghaffār Sulaimān al-Bandārī, Mausū’ah Rijāl Kutub at-Tis’ah, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth),  3:440-441.
Nama lengkap  
-          Muhammad bin ‘Īsā bin Saurah bin Mūsā bin adl-Dlahāk
-          Ibnu as-Sakan
Laqab/kunyah
Abū ‘Īsā, as-Salamī, at-Tirmidzī, adl-Dlarīri, al-Būgī
Lahir/wafat/kurun hidup
Wafat 275 atau 279 H
Guru-gurunya
-
Murid-muridnya
-
Penilaian ulama
Tsiqah Hāfidz dan salah satu Imam Kutub as-Sittah
Analisis
Tiga kitab di atas menyebutkan nama lengkap yang sama meskipun dalam dua kitab pertama memberikan nama lain yang berbeda. Mayoritas ketiga kitab tersebut juga menyebutkan tahun wafat yang sama meskipun juga dalam kitab Mausū’ah Rijāl Kutub at-Tis’ah menambahkan dengan 275 H.
Mengenai guru at-Tirmidzī semua kitab yang penulis ambil tidak satupun yang menyebutkan nama-nama guru beliau. Menurut hemat penulis, hal ini dikarenakan posisi beliau sebagai mukharrij yang telah mengeluarkan beribu-ribu hadis yang secara otomatis juga memiliki guru yang banyak juga sehingga dalam ketiga kitab ini tidak disebutkan guru-guru beliau.
Kitab Tahdzīb al-Kamāl Fī ‘Asmā‘ ar-Rijāl hanya menyebutkan satu penilaian ulama saja dengan kategori peringkat ta’dīl yang ketiga. Kitab Tahdzīb at-Tahdzīb menyebutkan tiga pendapat ulama termasuk pendapat pengarang kitab dengan satu pendapat dalam kategori peringkat ta’dīl ketiga dan dua dalam kategori peringkta ta’dīl yang kedua.  Sedangkan kitab Mausū’ah Rijāl Kutub at-Tis’ah memasukkan beliau dalam kategori ta’dīl tingkat kedua.
Kesimpulan : Dilihat dari tahun wafat dan masa hidup semua perawi maka dapat disimpulkan bahwa seluruh rawi yang terdapat dalam hadis di atas saling ada ketersambungan umur (mu’āsharah). Dan dapat disimpulkan juga dari data guru dan murid bahwa seluruh rawi pada hadis di atas saling liqā’. Dari sini juga dapat disimpulkan bahwa sanad hadis ini bersambung. Sedangkan jika dilihat dari jarh dan ta’dīlnya maka dapat disimpulkan bahwa seluruh rawi hadis ini adalah adil meskipun terjadi perbedaan tingkat keadilan dari tiap-tiap rawi.

Yogyakarta, 20 Januari 2013
Ditulis oleh: Fikri Noor Al Mubarok

(Bagi para pengunjung yang ingin menjadikan tulisan ini sebagai rujukan silakan sertakan nama penulis pada tulisan anda)




[1] At-Tirmidzī, Abū ‘Īsā Muhammad bin ‘Īsā, al-Jāmi‘ al-Kabīr, cet. I, (Beirut: Dār al-Gharb, 1996), 2:391.  
[2] Ibnu Hajar memilih umur yang terakhir.
[3] Penulis menyebutkan laqab dan kunyah menjadi satu bagian -yang sebenarnya menjadi bagian yang dipisahkan dalam kitab tersebut- karena mengikuti susunan atau urutan dari nomor satu dan dua sehingga menjadi lebih sistematis.
[4] Untuk menganalisis tingkatan lafal jarh dan ta’dīl penulis akan menggunakan peringkat-peringkat lafal yang telah dikemukakan oleh Ibn Hajar al-‘Asqalānī dalam buku Kaedah Keshahihan Sanad Hadis karangan M. Syuhudi Ismail.
[5] Penulis mencantunkan kata “lebih” dikarenakan pada kitab Tahdzīb al-Kamāl Fī ‘Asmā‘ ar-Rijāl, terdapat tambahan kata “Wa Ākharūn”.
[6] Yang dimaksud adalah Hammād bin Zaid bin Dirhām dan Hammād bin Salamah.
[7] Penulis menambahkan informasi lain dalam data perawi ini karena hal ini sangatlah penting mengingat perawi ini adalah seorang yang buta.
[8] Mereka adalah al-Bukhārī, Muslim, at-Tirmidzī, an-Nasā’ī, Abū Dāwud, dan Ibnu Mājah.
[9] Redaksi aslinya adalah “dua malam yang telah lewat dari bulan Sya’ban 240 H”